The Story Of Sofia Anastasia
Langkah kaki Sofia terayun santai menuruni anak tangga marmer satu per satu. Dentuman musik yang menggema dari halaman depan rumah keluarga besar itu sudah cukup membuat lantai bergetar. Kepalanya bergoyang pelan, menyelaraskan diri dengan irama lagu yang sedang viral. Bibirnya ikut menggumamkan lirik, menyambut seruan vokal penyanyi yang terdengar bombastis dari speaker raksasa.
Senyum puas tak lepas dari wajahnya. Hari itu bukan hari istimewanya, justru sepupunya yang setahun lebih muda sedang merayakan pernikahan, tapi aura bahagia Sofia tetap meluap-luap. Sofia, yang sudah berusia 21 tahun itu, sedang menikmati momen langka, yaitu reuni keluarga besar.
Perayaan ini mempertemukan hampir semua anggota keluarga. Wajah-wajah yang hanya ia lihat di grup chat keluarga kini nyata di hadapannya. Sapaan dan pelukan hangat mengalir deras. Tentu saja, seperti biasa, paket pertanyaan klise yang selalu jadi "menu wajib" tak terhindarkan.
"Kapan nyusul, Sof? Kartu keluarga kamu butuh pendamping, lho!"
"Pacar kamu mana? Disembunyiin, ya? Jangan pilih-pilih terus, nanti keduluan adek sepupu lagi!"
Ia hanya membalas serangan verbal itu dengan senyuman terbaiknya, senyum yang menyimpan seribu makna, antara "terima kasih atas perhatiannya" dan "bisakah kita bahas cuaca saja?". Dalam hati, ia masih betah melajang. Janji suci dan ikatan lahir batin? Next time, terima kasih. Ia masih sibuk dengan deadline dan fan-fiction yang harus dihindari.
"Nek, jangan jalan terus. Ini bukan lomba lari maraton, lho. Nanti lututnya ngambek kan bahaya," ujar Sofia lembut, meraih tangan sang nenek yang tampak lebih bersemangat dari para remaja yang sedang joget.
Nenek tertawa renyah. "Enggak apa-apa, Sayang. Kamu ini kelihatan cerah banget hari ini. Gimana ya, nanti kalau kamu yang nikah?" goda sang nenek membuatnya langsung auto-blushing.
"Nenek..." Sofia memeluk lengan neneknya erat.
Tepat saat itu, sebuah suara bariton yang cukup menggelegar memanggil dari belakang mereka.
"Nenek!"
Mereka menoleh serentak. Seorang pemuda, tinggi, kulit coklat, sorot mata yang tajam namun penuh kehangatan, melangkah gagah ke arah mereka. Aura wibawanya langsung terasa. Nenek langsung menyambutnya dengan senyum yang begitu tulus, seakan menahan luapan kerinduan.
"Haedar, kamu pulang juga akhirnya."
"Alhamdulillah, Nek. Gimana kabar Nenek?" Pemuda itu menyalami tangan sang nenek dengan takzim, sebuah gesture yang jarang ia lihat dari sepupu-sepupunya yang lain.
"Baik, Sayang. Alhamdulillah."
Lalu, mata pemuda itu beralih ke Sofia. Dia menyipit, wajahnya menampilkan ekspresi bingung total. Wajah itu asing, tapi ada memori samar yang berkelebat.
"Ini siapa, Nek?" tanyanya lugas.
Nenek terkekeh geli. "Kamu yakin nggak kenal lagi?"
Haedar menggeleng pelan. "Nggak nek. Apa dia sepupu baru?"
"Itu Sofia, anaknya Kak Aynur. Kamu ingat Sofia yang kalau ketemu kamu langsung nangis karena takut?"
Mata Haedar membelalak. "Sofia?" ulangnya, setengah berteriak.
Yang berdiri di hadapannya kini bukan lagi gadis kecil pemalu yang selalu bersembunyi di balik rok ibunya sambil menangis. Kini, Sofia telah menjelma menjadi perempuan muda yang, well, anggun dan menawan. Tatapan matanya yang tajam menunjukkan karakter yang kuat, jauh dari kesan cengeng masa kecil.
"Sofia... udah gede ya," gumam Haedar, suaranya terdengar seperti pengakuan dosa. "Dulu dia lebih cocok jadi maskot pemalu."
Sang nenek tertawa puas, lalu menepuk tangan Sofia. "Dia ini oom kamu, Haedar. Oom tertua setelah Pamanmu yang di jakarta."
Sofia nyaris tersedak ludah. Om? Paman? Padahal wajahnya dan penampilannya lebih cocok dipanggil Abang atau bahkan Mas Crush. Usia tak pernah berdusta, tapi genetik keluarga ini sepertinya curang.
"Serius, Nek? Oom?" tanya Sofia, memastikan.
"Iya, Oom," Haedar menimpali dengan senyum geli. "Salam kenal lagi, Keponakan. Umur itu cuma angka, ya kan?"
Tiba-tiba, suara ibunya yang familiar memanggil dari arah dapur. "Sofia! Cepat ke sini, Nak. Jangan asik nge-gibah sama Nenek terus!"
"Iya, Ma!" sahutnya. Ia lalu berpamitan pada nenek dan Haedar.
Ketika Sofia sampai di dapur, Ibunya, Bu Aynur, langsung memberinya misi. "Carikan Bang Aaryan, suruh ke dapur sebentar! Penting!"
"Bang Aaryan? Yang mana orangnya, Ma?" tanya Sofia, bingung. Ia sadar, silsilah keluarga besar ini lebih rumit daripada alur cerita novel thriller yang ia tulis.
Haedar, yang ternyata mengikutinya, terkekeh geli. Ia menyusul dan menjawab santai, "Gampang. Cari aja yang punya lesung pipi double, kiri-kanan. Terus gingsulnya juga double. Kulitnya juga lebih terang dari rata-rata. Intinya, dia yang paling glowing di antara kerumunan."
"Emangnya dia seganteng itu sampai deskripsinya sejelas itu?" Sofia bergumam, setengah menyindir Haedar, walaupun ia setengah penasaran.
Ia pun memulai pencarian "Si Glowing dengan Lesung Pipi Ganda". Ia menyusuri halaman, menelusuri kerumunan sanak saudara yang sibuk bergosip, berfoto, dan menari dengan riang yang entah sejak kapan menjadi bagian dari adat pernikahan. Tapi tak satu pun wajah yang match dengan deskripsi Haedar muncul. Ia sempat berpikir untuk menggunakan mikrofon dan mengumumkan, "Kepada Saudara Aaryan, mohon segera melapor ke dapur. Ada panggilan tugas dari Bu Aynur."
Lalu, pandangannya menangkap sosok yang familiar tapi ia tak ingat namanya. Pemuda itu berdiri di dekat Zayn, satu-satunya Paman yang paling sering ia lihat, meski interaksi mereka minim.
"Om Zayn!" panggilnya, menghampiri.
Zayn menoleh. "Kenapa, Aya sayang?"
"Aku disuruh cari Bang Aaryan. Om tahu dia di mana?"
Zayn dan pemuda di sebelahnya saling berpandangan sejenak. Lalu, keduanya tertawa keras. Tawa yang, sungguh, terdengar sedikit menyebalkan.
"Emangnya kamu nggak kenal sama dia?" tanya Zayn, tawanya masih tersisa.
Sofia menggeleng polos. "Jujur sih, nggak memang."
Zayn menunjuk ke sebelahnya, ke arah pria yang sedang tertawa. "Nah, ini dia. Makhluk yang tengah membuat gadis cantik kita pusing tujuh keliling."
Sofia menatap pria itu. Dan damn it, Haedar benar. Lesung pipinya dalam, gingsulnya mencuat manis saat ia tersenyum, dan kulitnya bersih terang. Persis seperti deskripsi yang menjengkelkan itu.
"Serius, dia?" tanya Sofia, kaget.
"Iya lah, Sofia. Masa sepupu sendiri nggak kenal? Owh ya, Kita terakhir ketemu itu udah lama banget ya," jawab Aaryan, matanya menyipit karena geli.
Sofia hanya bisa menggaruk kepala yang tidak gatal. "Maaf, Bang. Aku jarang keluar dari goa penulisan novel." Dalam hati, ia bersumpah akan membuat diagram silsilah keluarga ini lengkap dengan foto dan resume singkat setelah pesta.
"Eh, disuruh ngapain sama Mama tadi?" tanya Aaryan, sambil tersenyum menenangkan.
"Nggak tahu. Katanya suruh ke dapur aja. Tanya langsung, deh, ke mama," jawab Sofia.
Zayn ikut menimpali sambil nyengir, "Jangan-jangan disuruh nyuci piring tuh. Hukumannya karena telat datang."
Aaryan tertawa. "Kalau Bunda Aynur yang nyuruh, pasrah aja. Kita kan anak baik."
Setelahnya, Zayn menarik tangan Sofia. "Ayo, makan dulu. Om lapar nih. Energi buat ngobrol udah habis."
"Mau makan di mana? Di sana rame banget," kata Sofia, menunjuk area prasmanan yang sudah diserbu ratusan orang.
"Di dekat makam Kakek aja. Di sana sepi, sound system nggak nyampe. Kita bisa makan sambil healing sebentar," usul Zayn.
Sofia tak menolak. Ia memang lebih menyukai tempat yang tenang. Beberapa menit kemudian, Zayn kembali dengan dua piring nasi dan lauk lengkap. Di belakangnya, Aaryan dan Haedar, si "Om yang sedikit ngeselin itu", ikut membawa makanan dan kursi plastik.
"Gak jadi cuci piring, Bang Aaryan?" tanya Sofia, usil.
"Enggak. Cuma disuruh angkat rendang yang baru matang. Katanya, tanganku lebih kuat daripada otot kamu," jawab Aaryan sambil duduk.
Mereka berempat mulai makan dengan lahap, sambil mengobrol santai dengan volume suara normal, sebuah kesempatan yang jarang terjadi di tengah pesta.
"Kerja di mana sekarang, Ay?" tanya Aaryan.
"Nggak di mana-mana. Cuma jadi penulis novel full-time aja," jawab Sofia singkat.
Zayn mengangguk kagum. "Mantap itu. Jadi penulis zaman sekarang itu agak susah ya kan. Bisa dapat berapa biasanya per proyek?"
Sofia tersenyum samar. Ia memilih untuk tidak bercerita tentang hal yang sesungguhnya. "Tergantung. Kadang lumayan. Lima puluh juta per judul, kalau lagi laris."
"Buset. Keren. Lama nggak nulis satu novel?" tanya Haedar, matanya berbinar.
"Kalau fokus, dua sampai tiga bulan kelar."
Mereka mengangguk-angguk, terkesan. Tapi Sofia tidak hanya itu saja. Ia memang penulis yang sedang naik daun, beberapa karyanya sedang dalam proses adaptasi ke layar lebar, dan seorang pengusaha muda yang naik daun juga. Namun ia memilih untuk tak membeberkan semua keberhasilannya.
Sofia tidak ingin dikenal karena nominal penghasilannya. Ia ingin tetap menjadi bagian dari keluarga tanpa jarak, tanpa embel-embel kekaguman yang berbasis materi. Bagi Sofia, cinta dan penghargaan sejati bukan diukur dari berapa banyak yang ia punya, tapi seberapa tulus ia hadir dalam kebersamaan ini.
Dan hari itu, di tengah suasana hangat keluarga, di balik tawa dan canda ringan yang mengalir alami, Sofia tahu satu hal pasti, ia telah pulang. Bukan hanya secara fisik, tapi juga batin. Di pelukan keluarganya, ia menemukan bagian dari dirinya yang selama ini sempat ia lupakan.
Rumah bukan soal pondasi bangunan, tapi tentang tangan yang menyambutmu, dan senyum yang tak pernah menuntut apa-apa, kecuali kehadiranmu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments