Pedang dalam Senyum (revisi)

Sofia menarik napas panjang dan menghembuskannya, mencoba menenangkan arus panas yang mendidih di dadanya. Sebuah kalimat bergetar di gendang telinganya, dingin dan menusuk.

“Dijual pun udah gak laku.”

Ia menatap Bu Linda, wanita bertubuh gempal yang baru saja mengucapkan kalimat kejam itu. Pertanyaan batin Sofia terasa menggigit lidahnya, Apakah aku ini barang, yang memiliki harga jual di pasar?

Ia tidak akan membiarkan api amarahnya terlihat. Ia harus melawan dengan air, bukan minyak. Bibirnya ditarik menjadi senyum tipis, namun matanya memancarkan ketajaman yang tak bisa dibohongi.

“Memangnya saya barang yang bisa dijual, Bu?” tanya Sofia, suaranya tenang, namun mengandung timbre yang tajam.

Dinda, yang duduk di sampingnya, tampak melongo. Ia tahu, di balik ketenangan itu, ada badai yang siap meletus.

“Perempuan umur dua puluh satu belum nikah, ya pasti karena terlalu banyak milih, jadi gak laku-laku,” kata Bu Linda lagi, nadanya meremehkan.

Sofia mengangguk pelan, seolah mengakui. “Aya memang memilih, Bu. Sangat memilih. Dan itu bukan karena takut tidak laku. Itu karena Aya tidak mau salah pilih dan malah mendapat... sampah masyarakat.”

Ruangan mendadak hening. Haedar, Aaryan, dan Zayn saling bertukar pandang, merasakan atmosfer yang mematikan.

“Kalau Aya menikah, Aya melihat bibit, bebet, dan bobot. Saya cicit Bu Haji, Bu. Masa dikawinkan dengan orang yang hanya bermodal gelar tanpa etika?” Sofia bicara lantang. “Aya berencana menikah di usia matang. Saat ini, fokus Aya adalah kuliah, dan bentar lagi akan melanjutkan studi ke luar negeri.”

Ia menatap langsung ke mata Bu Linda. Matanya tak goyah.

“Dan, dengan segala hormat, Bu. Saya tidak mau menurunkan standar hidup saya. Enam juta mungkin besar, tapi bagi saya, itu bahkan belum cukup untuk biaya perawatan diri saya selama sebulan. Untuk apa terburu-buru mendapatkan suami yang malah jadi beban finansial atau emosional?”

Bu Linda terdiam. Serangannya yang biasa mematikan kini memantul kembali padanya. Wajahnya memerah, bukan karena marah, tapi karena malu.

“Sombong banget kamu, Ay,” sela Tiara, tetangga lain dan merupakan anak dari Bu Linda.

“Saya hanya jujur, Kak Tiara. Tidak ada untungnya saya munafik. Saya punya rencana, saya punya penghasilan sendiri. Untuk apa saya mencari jodoh karena tekanan? Jodoh itu tak pernah datang karena dipaksa. Ia akan datang karena waktunya tiba, saat kita sudah selesai membangun diri kita sendiri.”

Sofia menyapu pandangan ke sekeliling ruangan, menatap semua mata yang menonton.

“Usia bukanlah patokan menikah. Di luar sana, banyak wanita karier yang menikah saat mereka sudah matang secara emosi dan finansial. Yang buru-buru menikah, biasanya bukan karena kesiapan hati, tapi karena keterpaksaan status.”

Kata-kata Sofia bukan lagi sekadar balasan, melainkan manifes seorang perempuan mandiri. Bu Linda dan Tiara tak sanggup berlama-lama di sana. Mereka beranjak, tubuh gempal Bu Linda bergerak kaku, meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, seolah tenggelam dalam rasa malu yang tak terucapkan.

Saat pintu tertutup, bahu Sofia ambruk. Ia kembali menjadi perempuan rapuh, meski hanya sepersekian detik.

Aaryan segera mendekat, menyodorkan segelas air. “Minum dulu, Ay. Tenang.”

Sofia menenggak air itu hingga tandas. Rasa panas di dadanya belum sepenuhnya padam. Zayn datang membawakan kipas. Sementara Haedar, tanpa berkata apa-apa, mendekat dari belakang dan mengikat rambut Sofia yang tergerai, membantu meredakan gerahnya.

“Kalau bukan karena dia orang tua, sudah kubuat jadi sambal tadi,” gerutu Sofia, mendengus.

Dinda tertawa kecil. “Udahlah, Kak. Mulutnya emang gitu. Anak sendiri dikira malaikat.”

Tak lama setelah ketegangan mereda, suasana rumah kembali riuh oleh tawa. Sofia mulai membuka kado-kado Dinda. Tiba-tiba, ia mengangkat sehelai pakaian tipis yang hampir transparan dari kotak.

“Din! Ini baju haram!” seru Sofia dengan keterus terangan yang polos.

Dinda langsung merebut pakaian itu, pipinya memerah padam. Aaryan dan Zayn terbahak-bahak. Haedar, yang tadinya hanya tersenyum tipis, kini tertawa renyah. Reaksi jujur Sofia adalah pemantik keakraban yang mereka butuhkan.

“Ay, sudah… tenangkan dirimu,” ujar Haedar sambil menepuk bahu Sofia.

“Makanya cepat nikah, Ay, biar gak syok lagi!” goda Aaryan.

PLETAK!

Aaryan mengaduh, mengelus dahinya yang dijitak Sofia.

“Dasar orang tua gak sadar diri! Umur udah mau kepala tiga, badan udah separuh ke liang kubur, tapi masih sibuk menyudutkan orang lain!”

Skakmat.

Aaryan bungkam, melotot kesal. Haedar dan Zayn mengacungkan jempol pada Sofia, tertawa geli, menikmati pemandangan kekalahan Aaryan.

Di tengah keceriaan itu, suara sang Nenek , yang sedari tadi menyimak, terdengar.

“Haedar, kamu sendiri kapan nikah?”

Haedar tersenyum, sempat melirik Sofia sekilas—lirikan singkat yang cepat ditarik. “Belum tahu, Nek. Tunggu yang cocok. Yang tulus.”

“Zayn?”

“Tiga puluhan, Nek. Fokus karier dulu,” jawab Zayn.

“Aaryan?”

“Cari yang cocok dulu, Nek,” jawab Aaryan, masih menggerutu.

Sang nenek menatap lembut pada Sofia. “Kamu, Ay?”

“Aya tunggu selesai S1 dulu, Nek. Mungkin enam tahun lagi. Mungkin, setelah dari Inggris, Aya siap menikah. Calonnya… Aya serahkan pada keluarga. Aya ikut saja.”

Semua terdiam. Keputusan Sofia untuk "menyerahkan" urusan jodoh kepada keluarga, terutama setelah demonstrasi kemandiriannya yang begitu tegas, terasa kontradiktif. Sebuah ironi yang hanya bisa dimengerti oleh perempuan yang lelah memilih dan terluka.

Sang nenek tersenyum haru. “Kalau begitu, tugas mencari calon sekarang menjadi tanggung jawab tiga pemuda ini. Untuk kalian carilah perempuan yang tulus, beretika, dan punya rasa hormat pada keluarga. Jangan hanya mengejar gelar atau kecantikan.”

Haedar, Aaryan, dan Zayn mengangguk serempak.

Haedar memandang Sofia, tatapannya sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Bukan lagi tatapan paman kepada keponakan. Itu adalah tatapan seorang pria dewasa yang diam-diam, tanpa disadari oleh Sofia, mulai merasa bertanggung jawab atas masa depannya. Di mata Haedar, ada janji yang tak terucapkan, Pulangmu ini, Ay, tidak akan sia-sia.

Terpopuler

Comments

aratanihanan

aratanihanan

Keren banget nih cerita, authornya jago banget!

2025-10-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!