Aroma Pelataran dan Batu Nisan (revisi)

Langit sore di atas kampung ini bukan lagi kanvas polos tempat Sofia melukis masa kecil. Kini, ia seperti kain sutra tua yang lusuh, memancarkan cahaya jingga kelabu yang berat. Di bawahnya, Sofia berdiri, menjejakkan kaki untuk pertama kali setelah belasan tahun.

Dinding batu yang dulu ia kenal sebagai batas aman kini terasa asing dan angkuh. Aroma tanah basah yang bercampur dengan getah pohon mangga tua menyergap indra, persis seperti yang tersimpan di memori. Namun, kehangatan yang dulu mengikat aroma itu kini hilang, digantikan oleh kebekuan formalitas.

Sofia menarik napas panjang. Udara di sini terasa padat, mengandung debu ingatan yang nyaris menenggelamkannya. Ia telah kembali. Bukan sebagai Aya si gadis kecil yang pipinya selalu gembil, melainkan sebagai Sofia, perempuan dua puluh satu tahun yang tubuhnya sudah terbalut baju besi ketidak pedulian agar luka di dalamnya tak lagi berdarah.

Dulu, hidup adalah hamparan hijau tak bertepi. Hingga badai itu datang, badai yang meruntuhkan tiang penyangga keluarga, perceraian orang tua dan badai ekonomi yang menyeret mereka hingga nyaris tenggelam. Saat Ibu memilih pergi, meninggalkan rumah ini dan segala janji yang tergantung di dindingnya, Sofia merasa dirinya terbelah. Di sisa-sisa kehancuran, ia belajar satu hal, tidak ada tempat yang lebih menyakitkan daripada rumah yang seharusnya menjadi pelabuhan.

Ia menoleh ke pelataran, tempat rindang di bawah pohon beringin tua. Di sana, di antara gulma dan lumut yang tumbuh liar, bersemayam batu nisan kakek buyutnya. Tiga sosok lelaki sudah menunggunya.

“Aya, sini duduk. Anggap saja rumah sendiri,” ujar Haedar, pamannya. Wajahnya keras namun mata di baliknya tampak menyimpan kehangatan yang tak ia ingat.

Di sampingnya duduk Aaryan, sepupu yang wajahnya lebih ramah, dan Zayn, yang postur tegapnya jelas menunjukkan disiplin militer. Pria muda yang ia kenal hanya melalui potongan foto post-graduation SPN di Instagram.

Sofia berjalan perlahan, seolah takut menginjak sesuatu yang rapuh. Ia memilih duduk tak jauh dari batu nisan, punggungnya menghadap ke makam, namun energinya seolah terhisap oleh tempat peristirahatan terakhir itu.

“Kenapa kamu bisa kenal sama Zayn, tapi sama kita berdua enggak?” tanya Haedar, nadanya setengah menggoda.

Sofia tersenyum, senyum tipis yang

tak mencapai matanya. “Hanya kebetulan, Om. Sering lihat di Instagram, itu pun sejak Om Zayn lulus dari pendidikan. Aura kedinasannya kuat sekali, jadi mudah dikenali.”

Aaryan tergelak. “Oalah… rupanya pengagum marmut satu ini,” candanya, menepuk bahu Zayn.

Zayn mencibir, namun matanya menatap Sofia dengan rasa ingin tahu yang besar.

“Jadi rencananya mau kuliah di mana, Ay?” Aaryan bertanya, mengubah topik menjadi lebih serius.

Mata Sofia kini benar-benar fokus. Di sinilah satu-satunya cara ia bisa memperbaiki kehancuran masa lalunya, pendidikan. “Belum pasti, Bang. Kemungkinan aya mau ambil kuliah di luar negeri. Inggris atau Polandia. Sekarang lagi intensif bahasa Inggris.”

Haedar menyimak, alisnya sedikit terangkat. “Polandia? Kenapa jauh-jauh ke sana?”

“Sektor pertanian mereka maju, Om. Aya tertarik sekali. Kalau di Indonesia, aya juga akan tetap ambil jurusan pertanian. Aya ingin belajar bagaimana menumbuhkan sesuatu yang kuat dari tanah yang tandus. Mungkin seperti mencoba menumbuhkan kembali mimpi yang sempat mati,” jawab Sofia, tanpa sadar menyentuh subteks pribadinya.

Haedar dan Aaryan bertukar pandang. Mereka melihat determinasi baja yang tak pernah mereka duga ada pada gadis kecil yang mereka tinggalkan.

***

Malam itu, di ruang tamu rumah nenek, Sofia duduk sendirian. Ibunya sudah pulang, dan ketiadaan wanita itu menyisakan lubang dingin di perutnya. Ia bahkan harus mengenakan kaos Haedar yang kebesaran, pakaian dinas berwarna gelap yang jatuh di bahunya, seolah menenggelamkan dirinya.

Haedar datang membawa nampan berisi jus alpukat kental dan sepiring makanan ringan.

“Udah nggak papa, pakai aja dulu. Aaryan udah keluar beli baju buat kamu. Jangan sungkan,” katanya.

Perhatian itu menghangatkan Sofia, mencairkan sedikit beku di hatinya.

Tak lama, Aaryan kembali membawa bungkusan plastik. “Daster lowo, Ay. Kata abangnya, ini cocok buat anak gadis.”

Saat Sofia kembali dari kamar Haedar, mengenakan daster yang anggun menjuntai, suasana hening sesaat. Daster itu tidak hanya pas, tetapi juga menonjolkan keindahan alami yang selama ini ia sembunyikan di balik sikap dingin. Haedar terpaku. Ia melihat bukan lagi keponakannya yang kaku, melainkan seorang perempuan yang memancarkan pesona lembut.

Tepat saat mereka berkumpul, seorang wanita bertubuh gempal, Bu Linda, tetangga lama, datang dan langsung bergabung.

“Oalah… ini si Aya, anak Aynur,” sapa Bu Linda, menunjuk Sofia dengan dagunya. “Tapi kok sekarang sombong, ya? Datang nggak permisi ke rumah tetangga.”

Sofia tersenyum sopan. “Maaf, Bu. Baru sampai pagi tadi.”

“Lebih tua dari Dinda berarti kan?” tanya Bu Linda , membandingkannya dengan si pengantin baru.

“Iya, Buk. Saya dua puluh satu,” jawab Sofia.

“Lho? Udah punya anak berapa?”

Pertanyaan itu meluncur tanpa filter, menusuk ruang tamu yang semula nyaman.

Sofia menggeleng, berusaha mempertahankan senyumnya. “Belum menikah, Buk.”

Wajah Bu Linda langsung memanjang. “Ya ampun! Dinda aja udah nikah. Anak saya malah udah punya anak satu. Nikah sama PNS, gajinya enam juta loh per bulan. Kamu ini kapan nikahnya, Ay? Nanti keselak tua!”

Dinding pertahanan Sofia, yang telah ia bangun selama bertahun-tahun, bergetar.

Hinaan itu, ‘perawan tua’, bukan hal baru. Namun, di rumah ini, di depan keluarga yang baru saja ia temukan kembali, rasanya berbeda. Sebuah rasa sesak merayap naik, ia menelan pahit.

Haedar, yang sedari tadi diam, seketika menegang. Matanya yang gelap menatap Bu Mida dengan intensitas yang menakutkan.

“Buk Linda, setiap orang punya waktu dan jalan hidupnya masing-masing,” suara Haedar terdengar rendah, namun setiap kata dipahat dengan ketegasan. “Aya ini perempuan pintar. Dia sedang menyiapkan masa depan di luar negeri. Soal jodoh, itu bukan perlombaan lari, apalagi dengan iming-iming gaji enam juta. Biar dia yang menentukan jalannya.”

Hening.

Bu Linda terdiam, tersentak oleh nada bicara Haedar yang belum pernah ia dengar.

Sofia menutup matanya. Ia tidak menangis. Ia hanya merasakan gelombang rasa syukur yang dingin dan tak terduga. Ia terbiasa melawan omongan pedas itu sendirian, dengan kepala tegak, dan hati yang remuk. Tapi malam ini, di tengah kegelapan yang menyesakkan, ada tangan yang tak terlihat yang memegangi bahunya.

Ia membuka mata dan menatap Haedar. Bukan sebagai paman, melainkan sebagai pelindung tak terduga.

Malam itu, Sofia tahu. Pulang bukan hanya soal kembali ke aroma tanah basah. Pulang adalah saat kamu menemukan siapa yang berdiri di sisimu, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk membela, bahkan hanya dengan sepasang mata tajam dan nada bicara yang tegas. Itu adalah pertahanan paling nyata yang ia temukan setelah sekian lama mengembara.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!