Pesan Makan Malam

Langit siang di kampus Mahardika bergulir tenang, menyisakan sisa-sisa panas dari matahari yang tak lagi terlalu menyengat. Di kantin semi terbuka, di bawah deretan pohon flamboyan yang tengah meranggas, tiga perempuan duduk mengelilingi meja kayu panjang.

"Gila sih ini bakwan, rasanya kayak kertas ulangan semester," cibir Vivi sambil menatap gorengan di piringnya.

"Tapi tetep dimakan tuh," Laras nyengir, menggigit bakwan yang sama sambil menyender malas ke bangku.

Di seberang mereka, seorang gadis dengan rambut dikuncir rapi dan kacamata bulat hanya tersenyum kecil. Namanya Ayu. Pendiam, pintar, namun terlalu sering jadi bahan omongan karena satu alasan sederhana, dia miskin.

Di kampus Mahardika yang terkenal elite, kebanyakan mahasiswa di sana berasal dari kalangan atas. Bukan tanpa alasan, karena memang biaya untuk satu semesternya saja setara beberapa bulan biaya hidup orang biasa. Hanya sedikit orang seperti Ayu yang bisa masuk ke sana lewat jalur akademis, dan mendapatkan beasiswa. Membuatnya seringkali diremehkan atau bahkan dibully.

"Ayu, kamu beneran nggak mau es teh? Aku bayarin deh," kata Vivi, menawarkan gelasnya.

Ayu menggeleng cepat. "Nggak usah. Masih ada air putih kok."

"Kamu itu, masih aja kikuk kayak gitu," sahut Laras. "Bukankah kita itu temen?" Laras mendengus kesal sembari menyilangkan tangannya di dada.

"Iya tuh Ras... Hati kecilku berasa tersakiti, huhu..." Vivi ikut menimpali, berlagak seperti orang yang nangis.

"Eh... Aku beneran nggak papa kok. Aku cuma lagi diet aja, hehe." Ayu tersenyum canggung, berusaha meyakinkan kedua sahabatnya.

"Diet? Lihat, badanmu aja udah tinggal tulangnya doang." Vivi nggak tahan dan mencubit pipi sahabatnya itu.

Tawa kecil pecah. Sekilas, mereka seperti tiga perempuan biasa yang tak punya beban. Seolah tak ada pertunangan mendadak, tak ada gosip, tak ada dunia yang memandang Ayu dari balik lensa kelas sosial.

Tapi kebersamaan mereka terusik. Sekelompok mahasiswi masuk ke area kantin. Terlihat mencolok dengan seragam semi formal, makeup mewah, dan aura yang menunjukkan bahwa mereka biasa hidup di atas awan.

Di antara mereka, satu yang paling mencolok, Clarissa. Putri dari pemilik showroom mobil mewah dan influencer kampus. Sepatu heels-nya berbunyi pelan saat melintasi lorong kantin, dan saat melihat meja tempat Ayu duduk...

Ia tersenyum miring.

"Aduh, ada yang numpang eksis lagi," katanya cukup keras. "Pinter doang tapi tiap makan harus nempel sama anak tajir. Nggak malu, ya?"

Gadis-gadis di belakangnya tertawa kecil. Sedangkan orang-orang di kantin mulai memperhatikan mereka.

Vivi spontan bangkit dari duduknya.

"Lo, mau gue sulap jadi gorengan juga, Clar?"

Ayu menunduk. Laras meletakkan sendoknya, lalu berdiri perlahan. Suaranya tidak tinggi. Tapi dingin.

"Kalian bisa nggak sih makan tanpa ngejek orang, atau mungkin kalian belum cukup kenyang sama perhatian di rumah?"

Clarissa mendongak sedikit. Tersenyum sinis. "Wow. Celetukannya naik level. Seorang Laras yang terkenal pendiam bisa kasar juga ternyata... Tapi ya udah deh, kita makan di tempat yang sesuai dengan kelas kita. Biar nggak ketularan miskinnya."

Mereka berlalu dengan aroma parfum mahal dan ketipak langkah sarkastik. Ayu meneguk air putihnya cepat, tangannya sedikit gemetar.

"Maaf ya. Aku..."

Laras segera memotong.

"Jangan pernah minta maaf. Permintaan maafmu tuh terlalu berharga untuk itu. Aku yang undang kamu duduk bareng. Dan aku yang bangga bisa duduk sama kamu."

Ayu tersenyum. Tipis, tapi matanya berkaca. Vivi menghela napas.

"Huh, liat aja... Lain kali, aku bakal siapin bakwan spesial buat dilempar ke mereka." Dengan nada khasnya yang penuh semangat, dia berusaha mencairkan suasana.

Tawa pun pecah.

Percakapan mereka kembali mengalir ke topik-topik receh lainnya, tentang dosen pengganti yang terlalu tampan, tentang sepatu baru Vivi yang ternyata bikin lecet, sampai gosip kalau Reynald, si putra mahkota Mahardika Group, bakal ikut seminar di gedung rektorat minggu depan.

"Kalo Reynald dateng, kampus bisa-bisa disulap jadi runway deh. Semua anak jurusan pasti keluarin baju terbaiknya," ujar Vivi dramatis.

"Termasuk kamu?" tanya Ayu datar.

"Aku? Ya jelas. Aku bakal pake blazer, heels, sama senyum palsu. Demi masa depan ekonomi keluarga."

Laras tertawa pelan. Tapi tawanya terhenti saat ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah notifikasi dari nomor asing muncul.

Nomor tidak dikenal.

Laras. Ini Arka. Kalau kamu tidak keberatan… malam ini, bisakah kita makan malam bersama?

Jantung Laras berdetak tak karuan. Ia menatap layar ponselnya lama. Vivi langsung menyadari perubahan ekspresi sahabatnya.

“Siapa tuh? Kok mukamu kayak abis ditodong pake bunga mawar.”

“Nggak... nomor asing aja.”

“Ah masa sih? Hayoloo... Ngaku... Coba sini liat!” Vivi mencoba meraih ponsel Laras. Tapi Laras dengan sigap menghindarinya.

Vivi dan Ayu saling bertatapan. Tanpa aba-aba keduanya menggoda secara bersamaan.

“Cieeeee... Ada yang lagi kasmaran nggak bilang-bilang.”

“Ihh... Apaan sih!”

Laras semakin salah tingkah. Berusaha mengalihkan pembicaraan. Sayangnya sudah terlambat! Kedua sahabatnya justru semakin menggodanya.

Meski dengan keras Laras berusaha menyangkal kedua temannya. Tapi di dalam hatinya, ada pusaran rasa aneh yang baru pertama kali muncul. Undangan makan malam dari pria yang belum genap sehari, diperkenalkan padanya sebagai tunangan. Membuat perasaan Laras dagdigdug nggak karuan.

Akhirnya tanpa terasa sore pun menjelang. Langit menguning pelan.

Laras berdiri di gerbang timur kampus, memeluk tasnya. Sepi. Mahasiswa mulai bubar. Sementara gejolak perasaannya semakin tak menentu.

“Uhh... Aku sebenarnya kenapa sih.”

Lalu suara klakson kecil membuyarkan lamunannya.

Skuter matic berwarna hitam berhenti di depannya. Di atasnya, Arka. Tidak dengan mobil, tidak dengan jas resmi. Hanya hoodie abu-abu dan helm cadangan di tangan. Membuat Laras tertegun sejenak.

Dia tidak pernah menyangka akan dijemput dengan skuter matic. Ini adalah pertama kali buatnya.

“Hei...” Arka menyapa dengan senyum kecil. Matanya tetap tajam, namun hangat.

“Hei...” Laras membalas seadanya dengan perasaan gugup.

“Naik?” tanya Arka pendek.

Laras menelan gugupnya. Ia mengangguk. Helm disambar, lalu dengan canggung naik perlahan. Astaga, bahkan ini adalah pertama kalinya dia naik skuter matic!

Arka tersenyum kecil.

“Pegangan.”

Begitu Laras sadar tangannya harus memegang pinggang Arka, tubuhnya membeku.

Pegang. Atau jatuh.

Arggh... Pikirannya kosong.

Akhirnya, dengan jari yang gemetar malu, Laras menyentuh kain tipis di pinggang Arka. Tidak erat. Tapi cukup.

Sementara itu tanpa mereka sadari, beberapa pasang mata telah memperhatikan mereka tidak jauh dari tempat itu.

Rasta, sepupu Laras, yang kebetulan sedang menunggu jemputan, tidak sengaja melihat adegan itu. Matanya menyipit, memastikan dia tidak salah dengan apa yang dilihatnya.

Di tempat yang berbeda, di belakang pohon halaman kampus. Vivi dan Ayu sudah bersembunyi cukup lama di tempat itu. Keduanya saling pandang, sama-sama tidak percaya apa yang dilihatnya. Tapi kemudian, seringai jahat terbentuk di wajah mereka bersamaan.

Dan terakhir, Reynald. Dia yang baru saja hendak menaiki mobilnya tanpa sengaja melihat kejadian itu juga. Matanya tak berhenti menatap Arka. Sementara di dalam pikirannya hanya ada satu pertanyaan.

“Siapa laki-laki itu?”

Semenjak kejadian itu, rumor akan perjodohan Laras menyebar dengan cepat. Bagaikan api yang melahap kapas.

Dan sebelum malam benar-benar jatuh, sosok Arka sudah jadi buah bibir di seluruh penjuru kampus Mahardika.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!