Awal Dari Penantian

Langkah kaki Arka terdengar pelan menyusuri koridor panjang yang menghubungkan ruang utama dengan ruang kerja Tuan Wijaya. Dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan tua dan foto-foto keluarga.

Arka melangkah masuk. Langkahnya tidak terburu-buru, tapi pasti. Begitu pelayan menutup pintu, suasana mendadak sunyi. Sunyi yang aneh.

Tuan Wijaya mempersilakan Arka duduk di kursi kulit cokelat di seberang meja besar dari kayu jati. Lampu gantung di atas mereka tidak terlalu terang, menciptakan suasana yang lebih tenang dan pribadi.

“Jujur aku masih tidak percaya...” Tuan Wijaya mengawali pembicaraan. Memecah keheningan di antara mereka. “Kenapa Laras? Kenapa Cucuku yang bahkan tidak tau siapa dirimu?” Ada sedikit kekhawatiran dalam suaranya. Kekhawatiran akan masa depan cucunya, juga keluarganya.

Dia tahu sosok seperti apa Arka. Seseorang yang bahkan keluarganya sendiri tidak bisa dibandingkan dengannya.

Sebelumnya Tuan Wijaya tidak pernah mengira akan ada hari dimana dia didatangi secara langsung oleh sosok yang sangat berpengaruh di dunia. Dan lebih dari itu, dia meminta laras, cucu kesayangannya untuk dijadikannya istri.

Tuan Wijaya menatap wajah Arka dalam-dalam. Tatapannya bukan lagi milik kepala keluarga Wijaya yang ditakuti banyak orang. Tapi seorang pria tua yang duduk di hadapan kekuatan yang jauh melebihi genggaman tangannya.

 Arka bersandar sedikit, kedua tangannya menyatu di atas paha. Sorot matanya tetap tenang, suaranya pelan tapi jelas, seperti suara air yang mengalir di antara batu-batu.

“Karena dia satu-satunya yang pernah melihatku sebagai manusia.”

Tuan Wijaya terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi mengandung luka. Atau mungkin… kenangan yang belum pernah ia bayangkan datang dari sosok seperti Arka.

“Waktu itu aku bukan siapa-siapa. Tidak punya nama, tidak punya rumah, bahkan tak pantas disebut anak manusia. Tapi dia…” Arka menunduk sesaat, lalu mengangkat kepala. “Dia datang membawa roti yang bahkan dia sendiri belum tentu kenyang kalau memakannya. Tapi dia memberikannya padaku.”

Tuan Wijaya menarik napas perlahan. “Dan kamu ingin membalasnya dengan pernikahan?”

“Tidak,” jawab Arka cepat. “Aku ingin melindunginya. Bukan karena dia lemah.” Arka sedikit memejamkan matanya, membiarkan kepalanya bersandar pada kursi. “Mungkin aku benar-benar ingin memilikinya.”

Ruangan kembali sunyi. Detik jam di dinding kembali terdengar.

“Baik, aku mengerti,” ujar Tuan Wijaya akhirnya, suaranya lebih dalam, nyaris seperti bisikan. “Tapi kau harus tahu, Arka… menyakiti cucuku bukan hal sepele. Aku rela melawan siapa pun demi dia, bahkan jika itu adalah kamu.”

Arka tersenyum tipis untuk pertama kalinya. Tapi senyumnya bukan senyum ramah. Ada kesedihan dan ironi di dalamnya.

“Aku sudah melawan seluruh dunia, Tuan Wijaya. Tapi kali ini… aku akan berdiri di sisinya. Bukan untuk berperang, tapi untuk tinggal.”

Tuan Wijaya mengangguk pelan. Sorot matanya berubah menjadi sayu. Entah karena kagum, takut, atau mungkin... lega.

“Kalau begitu, aku titipkan Laras padamu. Anggap rumah ini layaknya rumahmu sendiri.”

Arka menatap sekeliling ruangan. Dinding-dinding tua itu seolah menyimpan sejarah yang panjang.

“Terima kasih,” katanya pendek.

Sebuah percakapan pendek. Tapi dunia di antara mereka bergeser.

Dan di luar, malam semakin larut. Tapi bagi Arka, inilah awal dari semua penantian yang ia tunggu-tunggu  selama bertahun-tahun.

Sebuah awal untuk membayar utang… pada seorang gadis kecil dengan senyum paling tulus yang pernah ia lihat di dunia yang penuh kebencian.

______

Sementara itu, di lantai atas rumah besar keluarga Wijaya, Laras terbaring menyamping di atas ranjangnya yang luas. Selimut tipis menutupi kakinya, dan di pelukannya ada boneka beruang cokelat besar.

Laras memeluk boneka itu erat-erat, menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang putih bersih. Lampu gantung kecil menyala lembut, cukup untuk mengusir gelap, tapi tak mampu menghapus kekusutan pikirannya.

“Uhhhh, kenapa kakek tiba-tiba jodohin aku dengan orang asing sih.” Bagaimana pun laras berpikir dia tidak bisa menemukan jawabannya.

“Terus nanti aku harus ngomong apa ke temen-temen...” Laras mengacak-acak rambutnya. Dia benar-benar tidak habis pikir.

Dan sekarang, Laras tak bisa tidur. Dadanya terasa sesak oleh pertanyaan yang tak berjawab. Bukan karena dia marah, atau membenci keputusan itu. Hanya saja... semuanya terlalu cepat, terlalu sunyi, terlalu asing.

Matanya menatap keluar jendela. Di luar, malam telah larut. Hujan rintik-rintik mulai turun, membasahi kaca jendela dan memantulkan cahaya dari taman belakang.

“Aku bahkan belum tahu siapa dia,” ucapnya lagi, lirih.

Boneka beruang itu dipeluk lebih erat, seolah bisa memberinya jawaban.

Laras tak pernah menyangka hidupnya akan berubah seperti ini. Dia bukan gadis yang suka berpesta, bukan juga tipe yang haus popularitas. Di kampus pun dia cenderung diam, hanya memiliki beberapa teman dekat, dan lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan atau membantu kegiatan sosial kecil yang disukainya.

Dia tumbuh dalam keluarga terpandang, Namun hatinya selalu merindukan kesederhanaan. Dunia yang tidak penuh dengan aturan, tuntutan, dan sorotan.

Sementara pikirannya masih berkecamuk, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dua kali.

“Laras...” Suara lembut terdengar dari balik pintu. “Boleh Mamah masuk?”

Laras buru-buru duduk di atas ranjang. Ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan menyembunyikan kekalutan di wajahnya sebisa mungkin.

“Iya, Mah... Masuk aja,” jawabnya pelan.

Pintu terbuka perlahan. Ratna, melangkah masuk dengan gaun tidur panjang berwarna lembut, rambutnya terikat longgar. Wajahnya terlihat cemas, tapi tetap menyimpan kelembutan khas seorang ibu yang tahu anaknya sedang tidak baik-baik saja.

Ratna duduk di tepi ranjang, mengusap kepala Laras lembut.

“Kamu belum tidur?”

Laras hanya menggeleng. “Nggak bisa... terlalu banyak yang muter di kepala.”

Ratna menghela napas. “Mamah juga.” Tangan halusnya merapikan helai rambut di pipi laras.

“Maaf ya, Nak...” Ratna menggenggam tangan Laras. “Mamah benar-benar tidak tahu tentang rencana kakekmu. Sama sekali nggak dikasih kabar.”

Laras hanya bisa diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi genggaman ibunya membuatnya sedikit tenang. Meski tak ada jawaban pasti, setidaknya dia tidak sendirian.

“Apa Mamah... nggak setuju?” tanyanya akhirnya, pelan dan ragu.

Ratna menarik napas dalam. “Bukan masalah setuju atau nggak. Mamah Cuma... takut. Kamu masih muda, Laras. Masih banyak hal yang belum kamu alami. Dan tiba-tiba kamu harus menikah dengan seseorang yang bahkan kamu nggak kenal.” Matanya mulai berkaca-kaca, tapi Ratna menahannya.

“Tapi Mamah juga tahu... kalau Ayahmu tidak akan bisa melawan keputusan Kakek. Di keluarga ini, keputusan tertinggi Cuma satu.” Nada suaranya melemah.

Laras mengalihkan pandangan ke jendela. Hujan masih turun rintik-rintik. Di luar sana, lampu taman berkedip pelan tertutup kabut tipis.

“Mah... tadi aku lihat matanya...” ucap Laras tiba-tiba.

“Mata siapa?”

“Arka.”

Ratna diam.

Laras melanjutkan, suaranya pelan. “Entah kenapa... matanya dingin, tapi... aku ngerasa pernah lihat tatapan kayak gitu. Bukan persis orangnya. Tapi rasa di dalamnya kayak hangat... tapi dingin. Arghh aku juga bingung...”

Ratna memandangi anaknya dengan raut bingung. Tapi dia tidak menertawakan. Dia tahu firasat Laras bukan hal sepele. Sejak kecil anak itu memang peka terhadap sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.

“Mungkin itu sebabnya kamu nggak langsung menolak, ya?” tanya Ratna pelan.

Laras menggigit bibir bawahnya. “Aku... bingung, Mah. Aku takut, tapi juga penasaran.”

Ratna menghela napas, lalu mencium kening putrinya.

“Mamah tahu kamu gadis yang kuat, Laras. Nanti mamah coba ngomong lagi ama kakek yah.”

Laras mengangguk pelan.

“Mah... kalau suatu hari aku harus memilih... dan aku milih sendiri jalan hidupku... Mamah bakal marah?”

Ratna tersenyum lembut. “Mamah Cuma ingin kamu bahagia. Bukan hidup buat menyenangkan keluarga ini.”

Malam itu, Laras tidur dengan dada yang masih berat, tapi sedikit lebih hangat.

________

Dan di luar sana, di paviliun kecil di belakang rumah utama yang kini jadi tempat tinggal Arka, pemuda itu duduk sendiri di kursi kayu dekat jendela. Tangan kirinya memegang sebuah kalung kecil berbentuk bintang  hitam yang sudah sedikit berkarat.

Matanya menatap keluar, ke arah jendela kamar Laras yang samar terlihat dari kejauhan.

“Waktu itu... kamu satu-satunya cahaya,” bisiknya lirih. “Dan kali ini, aku akan pastikan tidak ada yang bisa meredupkan mu lagi.”

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!