Pagi datang perlahan, membawa cahaya keemasan yang menembus tirai tipis kamar Laras. Udara masih dingin sisa hujan semalam, menyisakan embun di jendela dan aroma tanah basah yang menyegarkan.
Laras membuka matanya perlahan. Ia menatap langit-langit sejenak, lalu duduk. Kepalanya masih terasa berat. Kegelisahan semalam belum juga pergi. Ia menoleh ke boneka beruangnya, mengelus kepalanya pelan.
“Uh... Hari ini ada kuis ekonomi lagi... terus makalah filsafat juga belum kelar,” gumamnya lirih. Rasanya dia tidak ingin melakukan apa-apa.
Ia memeluk lututnya, mencoba meredam gelisah yang sejak semalam membebani dadanya. Jantungnya masih berdebar tanpa alasan jelas. Dia belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.
Dengan enggan, ia pun bangkit dari tempat tidur. Kakinya menapaki lantai dingin, membuatnya meringis kecil. Ia berjalan menuju kamar mandi, membuka pintu sambil menghembuskan napas dalam-dalam.
“Ayo, Laras... Jangan lemah. Kamu harus semangat” Ucapnya, sembari menepuk kedua pipinya pelan. Mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Sementara itu di ruang makan utama, keluarga besar Wijaya sudah berkumpul. Ayah Laras duduk dengan sikap tegas, sementara Ratna di sampingnya, terlihat lebih tenang dibanding semalam.
Sebagian besar kerabat yang lain sudah tidak terlihat. Kebanyakan dari mereka tidak tinggal di rumah utama bahkan banyak dari mereka tinggal di luar kota. Hanya beberapa orang yang masih tinggal termasuk Tante Melati dan Tante Mira yang sejak semalam menunjukkan ketidak sukaan nya kepada Arka secara terang-terangan.
Laras turun perlahan dari tangga, mengenakan dress putih sederhana dan cardigan abu-abu yang menambah kesan hangat. Rambutnya diikat setengah, menyisakan beberapa helai yang jatuh lembut di pipi. Wajahnya polos tanpa riasan, Namun kecantikannya yang alami tidak hilang sedikit pun.
Sesampainya di lantai bawah, ia menarik napas dalam-dalam. Kepalanya masih terasa berat, tapi ia memaksakan diri untuk tersenyum.
“Pagi, Semua.” Sapanya pelan.
“Pagi, Sayang.” Jawab Ratna sambil tersenyum lembut.
Aditya hanya tersenyum hangat dan menganggukkan kepalanya.
Tante melati dan Tante Mira juga menjawab dengan sapaan manis. Namun tatapan dari keduanya terasa seperti jarum-jarum halus menusuk kulit Laras.
“Kamu nggak takut, Ras?” Celetuk Tante Mira dengan nada setengah mencemooh. “Tiba-tiba dijodohin sama laki-laki yang bahkan kita nggak tahu asal usulnya.”
“Dia bahkan bukan siapa-siapa, asal-usulnya aja gak jelas.” gumam Tante Mira, cukup keras untuk didengar semua orang. “Keluarga kita ini harusnya lebih selektif...”
“Aku juga gak nyangka banget, Kak Laras bakal tiba-tiba dijodohin begini. Apalagi dengan orang asing. Yah walau pun wajahnya emang tampan sih.” Rasta, sepupu Laras ikut menggoda. Dia merupakan anak kedua dari Melati. Umurnya hanya berjarak satu tahun dengan Laras.
Aditya yang sedari tadi hanya diam mengetuk meja pelan. “Cukup. Bukankah ini masih terlalu pagi buat perbincangan yang gak perlu?”
Seketika suasana hening. Tapi ketegangan masih terasa menggantung.
Tak lama kemudian, suara langkah pelan terdengar dari arah belakang. Semua kepala menoleh.
Arka masuk.
Ia mengenakan kaos putih polos dan celana hitam sederhana. Tidak ada merek mewah, tidak ada jam tangan mahal. Tapi caranya berjalan...tenang, tegap, dan penuh percaya diri. Membuat ruangan yang tadi ribut menjadi hening seketika.
Laras menahan napas. Ini pertama kalinya dia melihat Arka dari dekat di siang hari. Jantungnya kembali berdebar, tanpa alasan yang ia pahami.
Arka menghampiri kursi kosong di ujung meja, tanpa melihat siapa pun terlalu lama. Namun ketika pandangannya bertemu mata Laras, dia berhenti sejenak. Tatapannya penuh kehangatan. Berbeda dengan tatapan malam sebelumnya.
“Selamat pagi,” ucap Arka pelan. Suaranya tak meninggi, tapi cukup jelas terdengar ke seluruh ruangan.
“Pagi,” jawab Aditya kaku.
Melati melipat tangan di dada. Matanya menelisik dengan tajam. Tampak tidak nyaman dengan kehadiran Arka. Menurutnya laki-laki itu terlalu tidak sopan dengan seenaknya bergabung bersama mereka.
Emangnya kamu siapa? Seenaknya duduk di sini! Pikirnya.
“Jadi, sekarang kamu tinggal di paviliun belakang? Enak banget yah bisa numpang gratis.” Celetuknya dengan nada sinis.
“Iya, semua berkat Tuan Wijaya.” Jawab Arka singkat. Sebenarnya dia terlalu malas untuk menjawab. Dia mengambil sepotong roti, mengolesinya dengan mentega. Berusaha tidak memperdulikan cemoohan yang diarahkan padanya.
“Namamu Arka kan? Kalau boleh tau keluarga kamu berasal dari mana?” Kali ini giliran Tante Mira yang bertanya. Dia juga sangat penasaran dengan asal-usul Arka.
Kali ini Arka terdiam cukup lama. Menatap sekitarnya, sebelum dengan tenang menjawab.
“Aku udah gak punya keluarga.”
“Apa? Gak punya Keluarga? Jadi asal-usul kamu gak jelas?” Kali ini Tante Melati tidak bisa menahan diri. Wajah kesalnya tidak lagi bisa disembunyikan. “Astaga... Apa sih yang ayah pikirkan dari orang seperti kamu?” Lanjutnya.
Sebelum Arka sempat membalas, Laras sudah terlebih dahulu berdiri.
“Tante, bukankah itu sudah berlebihan?”
Semua mata langsung tertuju pada Laras. Suaranya memang tidak keras, tapi nadanya cukup tegas, jauh dari sikap biasanya yang lembut dan penurut.
Laras sendiri terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia menggenggam ujung cardigan-nya erat-erat, mencoba menenangkan detak jantung yang makin tidak beraturan.
"Aku... aku cuma merasa ini nggak adil," lanjutnya, lebih pelan. "Baru satu hari, dan kalian semua sudah menilai dia seolah-olah tahu segalanya."
Ia mengalihkan pandangannya ke arah Arka yang masih duduk tenang, tanpa ekspresi. Tapi justru ketenangan itulah yang membuatnya makin tidak tenang. Ada sesuatu dalam tatapan Arka yang membuatnya ingin bicara. Entah apa. Ia tidak tahu.
"Aku juga belum mengenalnya," lanjut Laras. "Tapi bukan berarti kita bisa bicara seenaknya.”
Hening sesaat. Bahkan suara burung dari taman belakang pun terasa lebih nyaring daripada ruang makan itu sekarang.
Melati mendesah, tapi tidak berkata apa-apa.
Tante Mira mendecak pelan. “Laras, kamu terlalu lugu. Ini semua demi kebaikan kamu.”
Mendengar itu, Laras menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih. Lebih karena... marah. Pada dirinya sendiri yang tidak bisa memahami semua ini. Marah karena perasaannya campur aduk sejak semalam. Dan marah karena orang-orang terdekatnya membuat pagi itu terasa seperti medan perang yang dingin.
“Sudah, sudah. Tidak ada baiknya pagi-pagi ribut begini.” Aditya mencoba menenangkan. Dia sedari tadi hanya diam, karena bingung harus bersikap seperti apa.
Ratna menggenggam tangan laras lembut. Dia berusaha menenangkan anaknya. Mengajaknya duduk kembali melanjutkan sarapan.
Laras perlahan duduk kembali, tapi tubuhnya terasa kaku. Sendok di depan piringnya hanya disentuh sebentar lalu diletakkan lagi. Nafsu makannya hilang.
Arka masih tenang seperti semula, seolah cemoohan tadi hanya angin lalu. Tapi tanpa bicara pun, keberadaannya cukup membuat seluruh ruangan seperti dipenuhi pertanyaan siapa dia sebenarnya, dan kenapa dia rasanya tidak terusik sama sekali?
“Terima kasih, Laras,” ucap Arka tiba-tiba, pelan.
Laras menoleh, nyaris refleks. Tapi Arka tidak menatapnya. Ia hanya berkata sambil menyesap teh hangat di tangannya, dengan sikap biasa saja, seolah ucapan itu hanya untuk dirinya sendiri.
Dan entah kenapa... kalimat sederhana itu justru membuat dada Laras terasa makin penuh.
Ia tidak menjawab. Tapi diam-diam, genggaman di pangkuannya mengendur.
Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Laras merasa sesuatu dalam hidupnya sedang bergeser pelan-pelan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments