Setelah sarapan yang tegang itu, Laras tak banyak bicara. Ia hanya mengangguk pelan pada ibunya sebelum berpamitan. Arka masih duduk tenang di meja makan, dan meski tak ada percakapan lebih lanjut, Laras tahu… pagi itu akan terus membekas dalam pikirannya.
Langkahnya ringan menuruni tangga depan rumah, disambut udara yang mulai menghangat dan semilir angin yang membuat helai-helai rambutnya menari. Sopir keluarga sudah menunggu dengan mobil hitam elegan yang biasa mengantarnya ke kampus.
Kampus Laras, Universitas Mahardika, adalah salah satu kampus bergengsi di kotanya.Tempat anak pejabat, konglomerat, dan anak-anak muda dari keluarga terpandang mengukir masa depan.
Perjalanan menuju kampus memakan waktu kurang dari tiga puluh menit dari rumahnya. Cuaca sudah mulai menghangat, dan langit tampak cerah, seolah ingin memberi jeda dari beban yang menumpuk di rumah.
Di sepanjang perjalanan, Laras hanya menatap ke luar jendela. Hatinya masih penuh oleh percakapan tadi pagi. Kata-kata Arka… “Terima kasih, Laras,” terus terngiang. Ucapan itu sederhana, tapi terasa begitu... nyata.
Tak lama, mobil berhenti di depan gerbang megah Universitas Mahardika. Laras menarik napas dalam, merapikan rambutnya sekilas.
Saat turun dari mobil, suara akrab menyapa dari kejauhan.
“LARAASS!”
Seorang gadis seumuran Laras melambaikan tangan. rambutnya panjang terurai rapi, berponi tipis, dan gaya santai tapi tetap anggun. Senyumnya lebar, seperti biasa, dan langkahnya cepat menghampiri.
Dia adalah Vivi, sahabat laras semenjak SMA.
Laras tersenyum kecil, langkahnya lebih ringan sekarang. Ia menghampiri temannya yang sudah setengah lari menyambut.
“Aduh... kamu itu bisa-bisanya udah teriak pagi-pagi gini,” ucap Laras, kali ini sambil tertawa kecil.
“Harus dong! Soalnya kamu mulai langka. Kemarin-kemarin nggak nongol, sekarang pun wajah kamu kayak belum disetrika.”
Laras mencubit lengan Vivi pelan. “Aku nggak separah itu, woy.”
“Jujur deh, kamu lagi ada masalah?” Vivi menghentikan langkahnya.
Laras diam sejenak, lalu tersenyum. “Yah ada sedikit masalah keluarga sih... tapi aku masih baik-baik aja, kok.”
Vivi memelototkan mata, tapi tidak mendesak. “Yakin? Tapi kalo butuh pelukan Vivi, diskon kok hari ini.”
“Hahaha, bodo!” Laras tertawa lagi, kali ini lebih lepas dari sebelumnya.
Mereka berjalan beriringan menuju kelas. Beberapa mahasiswa lain menyapa Laras, ada yang mengangguk sopan, ada juga yang tersenyum diam-diam. Di antara mereka, Laras memang dikenal kalem, tidak terlalu menonjol, tapi selalu menyenangkan.
Di tengah ramainya kampus, Laras merasa... hidup. Meski hanya sementara, tempat ini seperti dunia yang tidak menghakimi. Dan meski hatinya masih penuh pertanyaan tentang Arka dan segala hal di rumah, setidaknya pagi itu, ia bisa sedikit tersenyum tanpa beban.
“Eh,” Vivi tiba-tiba, mendekat. “Itu yang barusan duduk di deket taman Reynald buka sih?” bisiknya.
Laras menoleh pelan. Benar. Seorang pria berseragam rapi dengan rambut klimis dan ekspresi tenang berdiri di dekat pohon besar yang menjadi spot favorit mahasiswa untuk duduk santai. Posturnya tegap, gaya bicaranya selalu terukur, dan cara berpakaiannya... sedikit lebih rapi dari mahasiswa pada umumnya.
Reynald, anak dari salah satu keluarga besar yang terafiliasi dengan 9 Naga—kelompok keluarga elite yang namanya menggetarkan ruang bisnis dan politik negara ini. Ia dikenal akan ketampanannya, serta memiliki kepribadian pintar, sopan, dan aktif di berbagai organisasi kampus. Semua orang menganggapnya sebagai pangeran dari negeri dongeng.
Tapi Laras... tidak pernah benar-benar nyaman di dekatnya.
“Eh, dia jalan ke sini dong,” bisik Vivi lagi, nada suaranya menggoda.
Laras sudah ingin menarik lengan Vivi agar cepat-cepat pergi ke kelas, tapi terlambat.
“Laras,” suara Reynald terdengar lembut namun penuh kendali. “Pagi. Kamu masuk juga akhirnya.”
Laras menoleh pelan, berusaha tersenyum. “Iya… pagi, Rey.”
“Kamu nggak kelihatan dua hari ini. Nggak apa-apa kan? Aku sempat khawatir,” lanjutnya. Sorot matanya tajam tapi senyumnya masih manis. Bahkan terkadang terasa ‘terlalu manis'.
Laras mengangguk cepat. “Aku... Cuma ada urusan keluarga aja kok.”
Reynald mengangguk, tapi tatapannya tak lepas dari wajah Laras. “Kalau kamu butuh bantuan atau teman cerita, bilang aja, ya?”
“Iya, makasih.” Laras menunduk sedikit, berharap obrolan cepat selesai.
Tapi Reynald justru melirik Vivi. “Hai, Vivi. Tetap semangat kayak biasa ya.”
“Iya, Mas Rey. Semangat terus dong. Dunia ini keras, tapi wajah kita harus tetap glowing,” jawab Vivi sambil tersenyum santai.
Reynald tertawa kecil. Lalu kembali menatap Laras, seolah ingin mengatakan lebih banyak, namun ia hanya mengangguk. “Sampai ketemu nanti, Laras.”
“Iya...”
Begitu Reynald berlalu, Laras langsung menghembuskan napas yang bahkan tak sadar ia tahan sejak tadi.
Vivi menoleh sambil nyengir. “Lo tuh kalau sama Reynald, kayak kucing ketemu cucian basah. Grogi amat sih.”
“Aku gak grogi,” elak Laras cepat, lalu mempercepat langkah. “Aku cuma... gak terlalu nyaman aja. Aku juga gak ngerti.”
“Heh... Dasar aneh?” Vivi menyikut Laras pelan, sambil menahan tawa.
“Udah Ah. Cepet, nanti kita telat. Kamu tau kan sekarang kelasnya Pak Harto!” Laras menarik lengan vivi. Berusaha menghindari pembahasan.
Mereka sampai di depan kelas. Beberapa mahasiswa sudah duduk di dalam, dan untungnya dosen belum datang.
Laras duduk di pojok dekat jendela, tempat favoritnya. Vivi duduk di sebelahnya, meletakkan tas sambil masih menahan tawa kecilnya.
“Kamu tuh aneh ya. Ada cowok ganteng, pinter, baik, yang lo rasain malah pengen kabur.”
Laras menghela napas. “Aku tuh nggak butuh cowok sempurna. Aku Cuma butuh yang jujur.”
Vivi diam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa. “Pftt... Dalem amat, Bu.”
Laras ikut tertawa kecil, menatap ke luar jendela. Angin pagi masih bertiup pelan. Tapi pikirannya mulai kembali pada rumah... dan pada sosok pria asing yang tiba-tiba akan jadi suaminya.
Laras memejamkan mata sejenak, membiarkan embusan angin menyentuh pipinya. Ada perasaan yang tak bisa ia uraikan, campuran lelah, bingung, dan sedikit... penasaran.
Ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan pernikahan mendadak ini. Ia tak tahu siapa sebenarnya pria itu, Arka. Tapi satu hal yang ia tahu dengan pasti...
Mulai hari ini, hidupnya takkan pernah sama lagi.
Bel masuk berbunyi, memecah lamunan. Laras menarik napas, lalu menatap Vivi yang masih sibuk membuka catatan.
Hari itu baru saja dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments