NovelToon NovelToon

Pendekar Pedang Kelabu : Perang Kebangkitan

Babak Baru

Catatan: Cerita ini merupakan kelanjutan langsung dari serial Pendekar Pedang Kelabu musim pertama, kedua, dan ketiga. Dalam kisah sebelumnya, Zhang Wei, seorang pendekar muda dengan kekuatan pedang kelabu dan warisan dari sang Kaisar Agung terbaik dalam sejarah umat manusia, telah melewati berbagai cobaan: mulai dari konspirasi sekte, pertarungan dalam turnamen antar jenius muda, hingga puncaknya melawan lima kaisar dan tujuh raja besar yang bersekutu untuk menjatuhkannya. Kejadian tersebut mengubah keseimbangan Alam Dongtian. Kini, cerita memasuki musim keempat—dunia dalam bayang kehancuran, dan Zhang Wei berada di ambang takdirnya yang sebenarnya.

...****************...

Kabut menggulung pelan dari tanah yang retak, menari di antara tubuh-tubuh berserakan yang baru saja tumbang. Asap perang masih mengepul, bercampur bau darah dan besi panas. Di tengah medan luas yang hancur lebur, satu sosok berdiri tegak. Napasnya berat, langkahnya lambat namun pasti, dan sekeliling tubuhnya dipenuhi kabut kelabu yang berputar liar, seolah hidup.

Dari balik kabut, suara dentingan senjata kembali terdengar. Ratusan, lalu ribuan pasukan muncul dari segala penjuru. Formasi besar menyala di langit, membentuk pusaran cahaya yang memanggil kehendak langit. Artefak-artefak agung terangkat, meretakkan ruang dengan tiap denyut kekuatan.

Namun sosok itu tak bergeming. Ia menatap ke depan, matanya setenang dan sedingin tanah mati. Kabut di sekelilingnya memekat—tebal, dingin, tajam. Dalam sekejap, siluetnya lenyap di balik kabut, hanya meninggalkan suara langkah pelan dan desir angin aneh yang menusuk hingga ke sumsum.

Duaarrrr——!!

Ledakan qi menghantam sisi kiri medan perang. Pasukan pertama hancur seketika, tubuh-tubuh melayang tak bernyawa. Kabut menari lebih cepat, menyelimuti prajurit-prajurit itu sebelum tubuh mereka benar-benar menyentuh tanah.

"Formasi penjaga ketiga, aktifkan sekarang!!"

Teriakan dari langit kelima menggema, disambut cahaya suci yang membentuk penghalang pelindung. Tapi kabut tak berhenti. Ia merayap masuk seperti uap yang tak bisa ditahan, menyusup di antara celah pelindung, lalu meledak dari dalam.

Trakkk—!!!

Tiga jenderal terlempar ke udara, darah menyembur dari mulut mereka sebelum jatuh bagai karung kosong. Sosok dalam kabut itu bergerak maju, setiap langkahnya menimbulkan tekanan yang menenggelamkan pekik dan nyali.

Satu pedang panjang menyerupai bayangan muncul di tangannya—tak mengilap, tak memantulkan cahaya, seolah tak berasal dari dunia ini. Sekali tebasan, ribuan tubuh tumbang. Sekali hentakan kaki, tanah retak hingga beberapa li jauhnya.

Namun tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya.

Tak ada peringatan. Hanya diam… dan kehancuran.

Ledakan demi ledakan mengguncang langit, membentuk pusaran kehancuran yang meretakkan batas dimensi. Lalu dari barisan belakang, sekelompok kultivator agung bersatu, merapalkan satu serangan pemusnah terakhir.

Cahaya langit menumpuk. Formasi memadat. Dunia bergetar.

"SEKARANG!!"

Boommmmm——!!!

Sinar surgawi menghantam tanah seperti palu para dewa, membakar kabut dan memecah ruang.

Zhang Wei terbangun.

Tubuhnya terangkat dari tempat tidur batu, napasnya memburu. Dada naik-turun cepat, keringat dingin menetes dari pelipis, dan matanya memandang kosong ke langit-langit batu di atasnya.

Angin asin berembus masuk dari jendela lengkung, membawa suara deburan ombak dari lautan utara. Lentera kristal qi bergetar pelan, seolah ikut terguncang oleh mimpi yang tak ingin melepaskan dirinya.

Di dalam pedang kelabunya, suara pelan menggema di dasar pikirannya—lembut dan teduh, tapi terasa menyelusup hingga ke dada.

“Mimpi buruk lagi?”

Zhang Wei tak menjawab. Ia hanya diam, tangannya perlahan meremas kain tempat tidurnya.

“Sudah berhari-hari kau seperti ini,” suara Lian Xuhuan kembali terdengar, tenang namun jelas, berbicara dari dalam pedangnya yang tersandar tak jauh dari tempat tidur.

“Setiap malam, mimpi yang sama. Kabut. Perang. Darah. Kau belum bicara satu pun tentangnya padaku.”

Zhang Wei menarik napas dalam.

“Karena aku tidak tahu harus bilang apa,” bisiknya.

“Apakah itu penglihatan masa depan? Atau ingatan masa lalu yang bukan milikku? Aku… melihat dari matanya, merasakan dari tubuhnya… Tapi aku bukan dia.”

Lian Xuhuan diam sejenak.

“Kadang, ada hal-hal dalam darah yang tidak bisa ditolak oleh kehendak. Entah kenangan, atau sesuatu yang lebih dalam dari itu. Mungkin suatu saat… semuanya akan menjelaskan dirinya sendiri.”

Zhang Wei menunduk, menatap lantai batu yang dingin.

Sudah dua minggu sejak peristiwa besar itu. Dunia belum tenang. Meski permukaan tampak damai, luka dalam masih berdarah.

Kaisar Zhaode telah musnah—terhapus dari sejarah oleh cahaya petir perak milik Ming Rui. Empat kaisar lainnya nyaris bernasib sama, jika Rong Fan tidak menghentikan tangannya. Demi keseimbangan, dan demi mencegah kekosongan kekuasaan yang bisa membawa bencana lebih besar.

Meski begitu, mereka tidak bebas. Hukuman tetap dijatuhkan. Kekuasaan mereka dicabut. Pengaruh mereka diremukkan. Dunia kini tahu, siapa yang berdiri di atas langit mereka. Dan nama Zhang Wei mulai tersebar seperti kabar angin yang menakutkan—sebuah kekuatan baru, dan juga teka-teki yang belum dipecahkan.

Namun di dalam dirinya, pertanyaan yang lebih besar mulai menggema: Siapa sebenarnya dia? Dan mengapa… setiap malam kabut itu terus memanggilnya kembali?

 

Cahaya pagi masih enggan menyentuh batas langit. Kabut dingin menyelimuti pelataran Istana Sayap Kebebasan, dan udara di dalam ruangan batu tempat Zhang Wei berdiri masih membawa sisa-sisa keheningan malam.

Mimpi itu masih membekas di belakang matanya. Perang, kabut, kehancuran. Napasnya perlahan menstabil, tapi dadanya terasa berat.

Lalu suara itu datang—tanpa kata, tanpa suara, langsung menyentuh inti kesadarannya.

“Zhang Wei. Kau sudah bangun?”

Suara Rong Fan. Dalam, stabil, dan membawa aura langit yang tegas.

“Kami menunggumu di aula.”

Zhang Wei tak menjawab. Ia hanya menggenggam gagang pedangnya dan menghilang dalam seberkas kilau kelabu. Ketika matanya terbuka kembali, dia telah berdiri di tengah aula utama Istana Sayap Kebebasan.

Ruang itu luas dan sunyi, namun tak terasa kosong. Di depannya, berdiri dua sosok yang saat ini nyaris menjadi pilar dunia: Ming Rui, Kaisar Agung Langit Perak, dan Rong Fan, Kaisar Agung Badai Merah.

Keduanya memancarkan aura yang dalam dan mapan, bukan hanya karena kekuatan mereka yang menjulang, tetapi juga karena ikatan mereka dengan masa lalu—ikatan yang tak banyak diketahui dunia.

Mereka… adalah anak angkat dari Hua Baimei.

Dan Hua Baimei adalah saudara seperguruan Lian Xuhuan, sang legenda abadi yang kini hanya dikenal dalam kitab-kitab sejarah. Maka secara garis silsilah, keduanya adalah keponakan dari Lian Xuhuan.

Namun hanya mereka bertiga yang tahu bahwa jiwa sang pendekar agung belum lenyap.

Bahwa ia masih hidup, terikat dalam pedang kelabu yang kini berada di sisi pinggang Zhang Wei.

“Sepertinya kau sudah lebih baik,” ujar Rong Fan dengan nada singkat namun hangat.

“Kami berhasil mendapatkan material yang dibutuhkan,” tambah Ming Rui, lalu melepaskan sebuah wadah kristal dari cincin penyimpanannya.

Begitu dibuka, dua cahaya terpancar dari dalamnya. Satu bersinar lembut seperti embun matahari pagi, hangat dan menggugah kehidupan. Yang satunya bergetar tenang, namun dingin bagaikan es purba dari langit utara.

“Esensi Yang Murni dan Esensi Yin Murni,” ujar Ming Rui. “Kami dapatkannya setelah bertempur dengan dua makhluk roh kekacauan.”

“Keduanya tidak menyerah tanpa perlawanan,” timpal Rong Fan. “Tapi ini bagian dari rencana kita. Kami akan mempercayakan bahan-bahan itu ke tanganmu.”

Zhang Wei menerima wadah tersebut dengan anggukan perlahan. Energi murni yang memancar dari dalamnya langsung menyatu dengan aura spiritualnya, seperti menyadari tujuan keberadaannya.

Ming Rui kemudian melemparkan dua benda lain—sehelai rumput hijau yang tampak tak tersentuh waktu dan sebuah kristal transparan yang berputar ringan.

“Rumput Abadi dan Kristal Mata Angin,” katanya. “Jiang Taishang juga menitipkan ucapan maaf dan terimakasih padamu.”

Zhang Wei menyimpannya tanpa banyak bicara. Ia tahu, semua ini adalah langkah-langkah yang mengarah pada satu tujuan akhir.

Rong Fan kemudian menyampaikan inti dari pertemuan ini.

“Dengan semua itu, kita telah mengumpulkan sembilan dari sepuluh bahan utama. Satu-satunya yang tersisa…”

“Lumpur Ajaib Laut Dalam,” jawab Zhang Wei, mata menatap jauh ke depan.

Rong Fan mengangguk, lalu melangkah ke arah meja batu besar yang memuat peta rinci alam rahasia Qianlong.

“Masalahnya, tempat itu bukan lokasi biasa. Lumpur itu hanya ada di Laut Tak Berangin, wilayah kekuasaan Gurita Pemakan Jiwa.”

Ming Rui berdiri di sampingnya.

“Salah satu dari Empat Makhluk Kolosal yang menguasai Alam Rahasia Qianlong. Bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga memiliki kemampuan spiritual memakan kesadaran dan jiwa seseorang.”

“Lebih buruk lagi,” lanjut Rong Fan, “Kondisi alam rahasia qianlong sepertinya semakin tidak stabil setiap kali terbuka, berhati-hatilah.”

Zhang Wei terdiam sejenak. Tangannya menyentuh gagang pedang kelabu di pinggangnya, seolah berbicara diam-diam dengan jiwa yang tertidur di dalamnya.

“Tidak masalah, aku bisa melakukannya sendiri” ucapnya pelan.

Rong Fan menggeleng.

“Kau tidak akan sendirian. Kami sudah menyiapkan satu tim inti untuk masuk bersamamu—semuanya pilihan kami. Mereka tak akan menghalangi, hanya melindungi dan memastikan kau bisa fokus pada tujuanmu.”

Ming Rui menambahkan, “Satu hal lagi, Zhang Wei. Sejak insiden besar itu… namamu telah tersebar ke seluruh Benua Tengah. Bukan hanya sebagai pendekar muda berbakat… tapi sebagai sosok yang mungkin mengguncang dunia.”

“Tapi alasan mengapa kau mengumpulkan bahan-bahan ini… dan siapa yang sedang kau bangkitkan… akan tetap menjadi rahasia kita bertiga.”

Zhang Wei mengangguk. Diam, tapi mantap.

Di dalam pedangnya, aura lembut bergetar—seolah menyetujui keputusan ini. Seolah tahu bahwa langkah besar berikutnya telah diambil.

Rekan Baru

Waktu telah berlalu sejak langit Benua Tengah diguncang oleh pertempuran yang menggema di seluruh penjuru dunia. Hari di mana lima kaisar dan tujuh raja besar bersatu, membentuk formasi surgawi untuk membinasakan satu pemuda… namun justru tersungkur di hadapan dua Kaisar Agung yang turun langsung dari langit utara.

Hari itu menjadi batas antara dunia lama dan dunia yang sedang berubah.

Setelah kematian Kaisar Zhongwen Zhaode oleh tangan Ming Rui, Kekaisaran Zhongwen dilanda krisis. Perpecahan dalam keluarga kekaisaran segera terjadi. Putra mahkota, Zhongwen Kai, yang masih berusia 47 tahun, segera mendeklarasikan hak atas takhta, namun dua pangeran yang lebih tua—masing-masing telah mencapai usia lanjut dan memiliki faksi kuat di wilayah barat dan selatan kekaisaran—menolak menyerah.

Konflik politik pun berubah menjadi pertempuran terbuka. Perwira kekaisaran saling menjatuhkan di lorong-lorong istana, kultivator dari fraksi yang berbeda saling serang di tempat ibadah. Kekaisaran Zhongwen, yang selama berabad-abad menjadi pilar dunia, kini terbelah dan kehilangan pengaruhnya di mata dunia luar.

Sementara itu, keempat kekaisaran lain yang juga terlibat dalam insiden itu—Han, Tianwu, Meng, dan Xuantian—tak luput dari dampaknya. Rong Fan, Kaisar Agung Badai Merah, menjatuhkan sanksi politik dan spiritual. Dukungan dari Pagoda Api Emas dihentikan. Jalur perdagangan energi spiritual diputus. Penjagaan gerbang teleportasi utama diperketat. Setiap gerakan para kaisar kini diawasi oleh utusan langsung dari Sayap Kebebasan.

Tujuh raja besar yang menjadi bagian dalam formasi Penjara Langit Beku juga tak luput dari hukuman. Dalam waktu singkat, mereka semua dilengserkan dari wilayah masing-masing. Beberapa menghilang secara misterius. Beberapa lainnya dikabarkan menyerahkan kekuasaan mereka secara diam-diam demi menghindari kejaran utusan Sayap Kebebasan dan Pagoda Api Emas.

Namun di balik semua itu, ada satu perubahan yang lebih dalam dari sekadar politik atau strategi: nama Zhang Wei kini menjadi pusat perhatian seluruh dunia.

Bukan lagi sekadar nama pendekar muda dari wilayah timur. Bukan lagi pemuda misterius yang tak dikenal asal-usulnya. Ia kini disebut sebagai sosok yang memaksa lima kaisar dan tujuh raja untuk bertekuk lutut. Sebagai pemuda yang bertahan di tengah tekanan formasi surgawi dan tetap berdiri, meski darahnya mengalir tanpa henti.

Seluruh dunia kini mengenal namanya. Para tetua sekte kuno membicarakannya dalam doa-doa mereka. Para pelatih dari sekte-sekte kecil menggunakan namanya untuk mendidik murid mereka tentang tekad. Dan para bangsawan mulai menggoyahkan aliansi lama mereka karena satu nama: Zhang Wei.

Namun, di balik keagungannya yang kini tak lagi diperdebatkan, satu hal tetap tersembunyi dari mata dunia.

Tujuan sejatinya.

Alasan kenapa ia mengumpulkan sembilan bahan langka yang mengguncang dunia spiritual. Tujuan dari perjalanan yang ia tempuh dengan nyawa di ujung pedang. Dan yang paling penting—siapa yang tertidur di dalam pedang kelabu itu, yang bisikannya hanya bisa didengar oleh Zhang Wei dan dua Kaisar Agung yang kini menjadi pelindungnya.

Dunia hanya melihat permukaan.

Tapi di balik permukaan itu, badai yang jauh lebih besar tengah mengumpulkan dirinya… perlahan.

***

ZRAAAAKKK——!!!

Dentuman berat mengguncang pelataran giok ungu Istana Sayap Kebebasan. Tanah retak dalam pola melingkar seolah dilanda hantaman petir surgawi. Angin laut tersayat oleh desingan serangan qi, menciptakan suara melengking yang menyayat gendang telinga.

Satu sosok berdiri di tengah pusaran itu, tak bergerak sedikit pun sejak awal dimulainya pertarungan.

Zhang Wei. Mata kelabunya seakan membekukan ruang dan waktu, seolah semua gerakan di sekelilingnya telah dibaca bahkan sebelum dipikirkan.

WUUUUMMM——!!

Sebuah bayangan meluncur dari sisi kiri, nyaris tanpa suara. Bayangan itu mengayunkan pedang ramping yang diselubungi aura hitam kebiruan. Tapi sebelum ujung bilah itu menyentuh pakaian Zhang Wei, ia sudah mengangkat tangan kirinya.

TAK!

Pukulan ringan seperti menepis dedaunan, namun suara ledakannya justru seperti dua logam bertabrakan. Bayangan itu terpental mundur, terhuyung, tapi tidak jatuh.

“Ilusimu hanya bekerja pada lawan yang ragu,” ucap Zhang Wei tanpa melihat ke belakang.

Satu kilatan emas kemudian meluncur dari atas—dua cakram berputar yang meledakkan udara di sepanjang lintasannya, membelah langit seperti bulan sabit ganda. Suara putarannya mencicit tinggi.

Sret—clangg!

Zhang Wei menoleh sedikit. Cakram pertama dibelokkan oleh tekanan qi kelabu di sekeliling tubuhnya. Cakram kedua tertangkap dengan dua jari, terhenti total.

“Jika kau menunggu setengah tarikan napas lebih lama, mereka akan masuk ke dalam titik buta,” katanya pelan. “Tapi kau tergesa.”

BRAAAKKK——!!!

Serangan berikutnya datang dari bawah. Tanah meledak saat sosok besar menerobos lantai, tinjunya menghantam ke arah perut Zhang Wei seperti meteor.

Kekuatan itu cukup untuk meruntuhkan seluruh menara pertahanan biasa.

Namun—

TAP!

Zhang Wei menggeser satu kaki ke samping. Tinju itu meleset seujung rambut, dan sebelum sosok besar itu bisa menariknya kembali, satu siku menghantam tulang dadanya dengan cepat.

BOOM!!

Tubuh besar itu terpental ke belakang sejauh lima tombak dan menghantam dinding pelataran.

Zhang Wei berbalik, namun belum sempat berbicara—

Suiiinnnggg——!!!

Empat belas panah spiritual meluncur dari berbagai sudut, membentuk formasi penutup yang menargetkan titik vital dari seluruh tubuhnya. Panah-panah itu berdesing, membawa tekanan yang menusuk kesadaran.

Zhang Wei menatap ke langit.

“Serangan kejutan yang bagus… tapi—terlalu banyak keraguan.”

WUUUUSSSHHHH——!!

Aura kelabu meledak ke luar seperti pusaran raksasa, memutar angin, membelokkan semua panah, lalu menghancurkannya di udara menjadi hujan cahaya.

Hening.

Asap tipis menyelimuti pelataran yang penuh retakan.

Empat sosok berdiri terpisah, tubuh mereka menunjukkan tanda-tanda kelelahan dan luka kecil, namun mata mereka penuh hormat.

Zhang Wei melangkah maju.

“Nona Ruo,” ucapnya menatap sosok wanita berkerudung yang baru saja menyerang pertama kali. “Kau mengandalkan ilusi bayangan. Tapi refleksmu masih tergantung pada persepsi musuh. Belajarlah dari arah seranganmu sendiri, bukan arah tatapannya.”

Wanita itu menunduk. Usianya tiga puluh tiga, kultivasi Martial Ancestor bintang satu. Pembunuh bayangan yang dulu dikenal di kalangan bawah dunia hitam, kini berdiri sebagai salah satu ujung tombak Sayap Kebebasan.

“Fei Yuan,” lanjut Zhang Wei, menatap pria bertubuh ramping dengan mata tajam dan rambut perak yang diikat ke belakang. “Kau terlalu cepat melepas cakrammu. Padahal angin ada di pihakmu.”

Fei Yuan tersenyum masam. “Aku tidak menyangka, bahkan arah udara pun bisa kau kendalikan.”

Usianya tiga puluh empat, kultivasi Martial Ancestor bintang tiga, pakar teknik angin dan ruang. Dulu pernah melawan seluruh anggota istana bayangan hanya untuk menyelamatkan satu bocah biasa. Kini… ia berdiri di bawah panji Zhang Wei.

“Shen Dou,” ucapnya, memutar tubuh ke arah pria berotot besar dengan bekas memar di dada. “Tenagamu luar biasa. Tapi kau melupakan satu hal.”

Pria itu mengangkat alis. “Apa?”

“Tubuhmu terlalu keras… hingga setiap langkahmu bersuara seperti lonceng perang. Aku sudah tahu seranganmu datang bahkan sebelum tanah retak.”

Shen Dou tertawa kecil, lalu membungkuk. Usianya tiga puluh lima, Martial Ancestor bintang satu, ahli tinju logam dan elemen bumi. Dikenal sebagai "Tembok Hidup" dari utara.

Terakhir, Zhang Wei menatap ke langit.

“Yan Zhuan. Kau ahli panah spiritual… tapi terlalu banyak mempertimbangkan faktor eksternal. Jika panahmu ragu, maka jiwamu belum lurus.”

Pria bersenjata busur panjang itu menghela napas. “Tuan Muda, suatu hari aku ingin mengalahkanmu dengan satu panah.”

“Kurasa kau butuh sepuluh ribu tahun sampai hari itu tiba,” canda Zhang Wei.

Yan Zhuan, usia tiga puluh enam, Martial Ancestor bintang lima. Mantan penegak langit dari wilayah timur yang memilih keluar demi prinsip. Ia adalah mata tajam pasukan inti ini.

Zhang Wei menoleh ke seluruh pelataran. Kabut kelabu mulai surut, dan angin laut menyapu sisa panas dari latihan brutal itu.

“Mulai besok, latihan akan disesuaikan dengan ritme yang lebih teratur. Tidak akan ada lagi percobaan… hanya kesiapan.”

Keempatnya menunduk.

“Tuan Muda… kami siap.”

Zhang Wei mengangguk sekali. Langkahnya kemudian meninggalkan pelataran, menyisakan empat bayangan yang menatap punggungnya seperti menyaksikan arah mata angin.

Dan di kejauhan, laut tak berangin yang gelap seperti kedalaman pikiran manusia… masih menanti tanpa suara.

Rindu dan Akar Bencana

Jauh di bawah permukaan bumi, di tempat yang tidak pernah disentuh cahaya matahari maupun sinar bulan, terdengar gemuruh samar seperti napas raksasa yang tertahan. Aroma lembap bercampur darah tua memenuhi ruang gua yang dikelilingi dinding batu hitam berurat merah. Reruntuhan fosil binatang kuno tergantung di langit-langit, menggantung seperti peringatan bisu akan zaman yang telah hilang.

Di tengah kehampaan itu, tujuh sosok berjubah hijau tua berdiri melingkar. Wajah mereka tersembunyi oleh kerudung yang menjuntai hingga dada, namun dari setiap gerak tubuh mereka terpancar kekuatan yang belum terasah sempurna—liar, haus, dan penuh tekad.

Mereka adalah para siluman muda, pewaris darah kegelapan dari barat yang dikutuk dunia. Misi mereka bukan lagi sekadar balas dendam. Kali ini, dunia harus dibakar hingga fondasinya.

Uap hitam merayap dari tengah lingkaran. Di atas altar batu yang memancarkan cahaya kehijauan, selembar gulungan kulit binatang purba terbuka, menampilkan peta samar dengan garis-garis merah yang mencabik benua tengah seperti luka menganga. Formasi-formasi itu telah ditanam, tersembunyi di bawah akar dan bayangan.

Satu suara terdengar, berat dan dingin.

“Empat hutan besar… termasuk Hutan Purba, semuanya sudah siap. Begitu mereka aktif, binatang roh akan menggila. Dunia akan sibuk memadamkan api.”

Sosok lain menyeringai dari balik kerudung.

“Saat itu… kita akan masuk ke Qianlong. Buah bencana akan diambil, dan segel purba akan dihancurkan. Tidak akan ada yang bisa menghentikan kita kali ini.”

Desisan panjang bergema. Salah satu dari mereka mengangkat kepalanya sedikit, memperlihatkan mata bersisik dan lidah bercabang yang menjulur perlahan.

Sanca Iblis.

Nafasnya terdengar lebih berat daripada yang lain. Dendamnya pada satu nama mengendap seperti racun.

“Bocah itu... Ternyata adalah Martial Sovereign sejati...”

Suara itu seolah memanggil roh kegelapan dari lapisan terdalam tanah.

“Waktu itu, jika kita muncul… kita semua sudah pasti akan musnah. Tapi sekarang…”

Ia mengepalkan tinjunya, menimbulkan suara retakan halus dari tulangnya sendiri.

“Sekarang, dia takkan sempat menoleh ketika bencana ini dimulai.”

Salah satu dari mereka, bertubuh ramping namun seluruh kulitnya ditutupi sisik tipis, menimpali dengan tenang.

“Gerbang Qianlong akan terbuka dalam hitungan hari. Kita tidak boleh gagal kali ini. Buah bencana itu… diinginkan oleh Raja. Dan segel kuno itu… jika berhasil dihancurkan, bukan hanya Qianlong yang runtuh. Dunia akan retak.”

Tujuh pasang mata menyala samar di kegelapan.

Tidak ada rasa takut.

Tidak ada keraguan.

Hanya kehendak dingin yang terpatri di dalam dada mereka—bahwa dunia ini telah menolak mereka terlalu lama, dan sekarang… mereka akan membalas dengan kehancuran yang tidak bisa dihindari.

Desiran angin dingin berhembus melewati lorong-lorong batu, membawa serta gema tawa rendah yang tak menyerupai suara makhluk hidup.

Dan dari kedalaman itu, sesuatu yang lama tersegel… perlahan mulai membuka mata.

***

Angin laut berhembus pelan, membelai rambut hitam Zhang Wei yang menjuntai lepas di bawah sinar rembulan. Di puncak menara tertinggi Istana Sayap Kebebasan—bangunan yang menggantung angkuh di atas samudera utara—ia duduk bersila di atas batu giok yang dingin, memandangi ujung dunia yang jauh, tempat Benua Utara terbentang dalam keheningan beku.

Sinar bulan memantul lembut di permukaan pedang kelabu yang tergeletak di sampingnya, seolah ikut mendengarkan gumaman hatinya.

“…kira-kira apa yang sedang mereka lakukan sekarang?”

Suara itu lirih, hampir seperti bisikan. Zhang Wei menyandarkan dagunya pada lutut, mata kelabunya menerawang jauh menembus batas cakrawala, seakan mencari siluet kota para elf yang pernah ia lindungi dengan sepenuh jiwa.

“Rania… dia pasti masih suka berlari-lari di sekitar pohon-pohon raksasa itu, ya?”

Ia tersenyum tipis, mata tak berkedip.

“Kaelen mungkin sedang mengganggu para tetua lagi, atau mungkin bersembunyi dari Liora karena dihukum. Liora… dia pasti masih menjaga semuanya dengan tenang seperti biasa.”

Tangannya menggenggam pedang di sampingnya, dan untuk sesaat, hawa kelabu tipis melingkar di sekeliling tubuhnya. Tapi itu bukan aura bertarung. Itu rasa rindu. Kabut kelabu, tak bertepi.

“Mereka menganggapku keluarga… padahal aku bukan elf. Aku bahkan bukan dari dunia mereka. Tapi saat bersamamu, Master… dan saat bersama mereka… aku merasa seperti tidak sendiri.”

Suara lembut terdengar di dalam pikirannya, seperti gema dari ruang lain, hadir di balik kesunyian.

“…kau tidak pernah sendiri, muridku. Kau hanya belum menyadari tempatmu sebenarnya.”

Zhang Wei tersenyum kecil.

“Master… menurutmu, apakah janji seperti ini masih penting di tengah dunia yang hampir runtuh?”

“Janji yang lahir dari hati tidak akan pernah runtuh, bahkan jika seluruh langit pecah. Kau tidak harus kembali karena janji. Tapi karena hatimu tidak pernah benar-benar pergi dari sana.”

Zhang Wei menatap langit. Matanya yang dingin berubah teduh.

“Ramalan leluhur elf… tentang bocah dari luar yang akan melepaskan belenggu mereka. Sampai sekarang aku tak tahu kenapa aku. Bahkan para tetua elf pun menyebutku Saint, sesuatu yang bahkan aku tak mengerti sampai sekarang.”

Lian Xuhuan terdiam sejenak sebelum menjawab.

“Karena mereka melihat sesuatu di dalam dirimu yang bahkan kau sendiri belum sepenuhnya pahami. Kadang, takdir datang bukan karena siapa dirimu… tapi karena apa yang akan kau lakukan.”

Zhang Wei memejamkan mata. Hening sesaat, lalu…

“Aku akan kembali, Master. Tapi setelah semua ini selesai. Setelah tubuhmu kubentuk ulang. Setelah semua bahan kukumpulkan. Setelah lautan itu kulewati, dan semua segel kutemukan.”

“…dan jika kau tidak bisa kembali?”

Zhang Wei membuka mata, pandangannya kembali tajam, membelah rembulan.

“Kalau aku tidak bisa kembali… aku akan hancurkan dunia yang menghalangiku.”

Angin laut mendadak berubah arah. Ombak menghantam lapisan pertahanan istana dengan suara berat.

Kabut kelabu menyebar pelan dari bawah kakinya, menyelimuti atap istana.

Zhang Wei masih menatap ke utara.

“…tunggu aku. Aku akan pulang.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!