Suatu pagi tanpa matahari, Asanami Kenshi berdiri di mulut gua.
Bau tanah basah menusuk hidungnya, bersama bisikan angin yang membawa kabar dunia yang telah lama ia tinggalkan.
Kenshi menarik napas panjang.
Setiap udara yang ia hirup terasa asing, dunia di luar telah bergerak tanpa dirinya, namun luka di dadanya tetap membusuk.
Dibalut pakaian robek dan lapuk, dengan sebilah katana di pinggang, Kenshi melangkah ke dunia yang membutakannya.
Mata tertutup kain merah yang ia robek dari bendera pengkhianatan, simbol penghinaan yang kini ia ubah menjadi tanda perang.
Langkah kakinya perlahan, namun setiap tapak meninggalkan jejak berat yaitu
jejak orang yang sudah mati, namun berjalan hanya untuk membunuh.
Ia menuju desa Kagaru. Tempat salah satu nama yang membakar di lidahnya dan pernah bersembunyi disana, Hirata Genzou.
Seorang pejabat kecil klan Asanami, licik, pengecut, dan yang pertama berlutut di depan klan utama saat pengkhianatan terjadi.
Kenshi tidak butuh mata untuk menemukannya.
Kebencian menuntunnya lebih tajam dari pandangan apa pun.
Senja pertama.
Desa Kagaru sunyi.
Terlalu sunyi.
Anak-anak bersembunyi.
Orang dewasa menutup pintu-pintu rapat.
Bahkan anjing-anjing berhenti menggonggong.
Mereka semua tahu kalau Kematian berjalan di jalanan.
Kenshi berdiri di tengah tanah desa yang retak, mendengarkan.
Dentingan palu pandai besi.
Suara gemeretak pintu kayu.
Bisik-bisik ketakutan di balik dinding. Dan
suara napas pendek, tergesa, berat, dari rumah besar di tepi bukit.
Tempat Hirata bersembunyi.
Aku datang.
Kenshi mendekat.
Tidak ada gertakan.
Tidak ada ancaman.
Hanya keheningan, seperti bayangan maut.
Saat ia mengetuk pintu dengan ujung sarung pedangnya, tak ada jawaban.
Hanya getaran kecil di udara, ketakutan.
Dengan satu gerakan kasar, Kenshi mendorong pintu.
Kayu lapuk itu patah seperti tulang rapuh.
Di dalam, aroma ketakutan begitu pekat.
"Hirata Genzou," kata Kenshi perlahan, suaranya parau seperti batu yang bergesekan.
"Keluar."
Tidak ada jawaban.
Kenshi mengangkat kepala, mendengarkan dengan saksama.
Napas itu...
Bersembunyi di bawah lantai.
Licik, seperti biasa.
Dengan langkah mantap, ia menusukkan katana ke lantai kayu,
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Teriakan pecah di bawah lantai.
Teriakan ketakutan.
Teriakan hidup yang hendak dicabut.
Kenshi membelah lantai dengan satu ayunan penuh kebencian.
Serpihan kayu beterbangan, dan dari bawah lantai yang gelap, tubuh Hirata terseret keluar, memohon, gemetar.
"Ken... Kenshi-sama! Ampun... aku hanya... aku disuruh!"
Hirata merangkak, mukanya berlumur tanah dan keringat.
Kenshi menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya ke Hirata.
Suaranya seperti bisikan setan,"Semua orang punya pilihan."
Lalu, tanpa ragu, tanpa belas kasihan
katana itu mengoyak tenggorokan Hirata dalam satu tebasan bersih.
Darah muncrat, panas dan liar, membasahi tangan Kenshi.
Hirata menggeliat seperti ikan yang terlempar ke darat, tangan-tangannya menggapai kosong, mencoba mencengkeram udara.
Kenshi berdiri di sana, diam, mendengarkan napas itu melemah, lalu berhenti sepenuhnya.
Satu nama terhapus.
Tapi hatinya tetap hampa.
Tidak ada rasa lega.
Tidak ada rasa puas.
Balas dendam bukan obat.
Balas dendam adalah kutukan yang harus dituntaskan.
Kenshi mengangkat pedangnya, membiarkan darah menetes ke lantai yang sudah basah.
Masih banyak nama.
Masih banyak jiwa yang harus dicabut.
Dengan langkah pelan, ia meninggalkan rumah itu, meninggalkan bangkai pertama dari perjalanannya.
Malam turun, menutupi dunia dengan kegelapan.
Dan di dalam kegelapan itu, Kenshi berjalan.
Tanpa mata.
Tanpa ampun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments