Lingkungan sekolah yang semula ramai itu perlahan sepi. Anak-anak mulai tidak terlihat di area parkir, lambat laun menghilang di balik pagar besi. Arkana meregangkan kedua tangannya keatas sembari menyusuri koridor yang lebih lapang. Ia hendak melesat menyeberangi lapangan menuju area parkir untuk pulang. Ketika ekor matanya menangkap seorang anak lelaki yang berjalan di ujung koridor.
Arkana mungkin tidak akan terlalu peduli, jika saja ia tidak mengenali punggung itu. Yang terlihat berjalan dengan tergopoh-gopoh. Kemudian menghilang menuju area belakang gedung sekolah. Salah satu tempat yang tidak terjamah.
Ia mengikuti langkah lelaki itu sebelumnya, menyusuri belakang sekolah itu. Matanya mencari sosok yang dicari, ketika suara keras menggema disana. Membuat Arkan menghentikan langkahnya demi mendengar suara itu.
"Lo apain, Lea. Br*ngs*k!" Suara itu terdengar familiar.
"Gua cuma menyambut kebaikannya, Lea."
"Lo ngerusak, Lea. Bego!"
"Lea yang bego! Nyerahin tubuhnya dengan suka rela ke, gua. Jalang, emang!" Ucap lelaki itu disertai kekehan. Dan–
Bugh!
Bugh!
–Arkana tidak mendengar suara familiar itu lagi selain suara pukulan yang terdengar bertubi tubi itu.
Membuatnya dengan cepat melangkah kan kakinya. Dan pandangan didepan sana membuatnya terperangah.
"ALAM BANTHALA!!" Teriak Arkan menghentikan Alam.
Terlihat Alam yang menoleh kearahnya. Lelaki itu sudah siap memukuli temannya dengan sepotong balok kayu.
Wajah keduanya sama-sama lebam. Arkan bisa melihat darah yang mengalir dari sudut bibir, Alam.
Namun, panggilan nya ternyata hanya mampu membuat Alam berhenti sejenak. Lelaki itu kembali mengayunkan balok kayu ditangan nya. Nyaris saja menghantam kepala lelaki yang terkulai itu, andai Arkan tidak segera merampas balok kayu itu dan membuang nya asal.
Alam tidak berhenti disitu, ia justru menarik kerah seragam lelaki itu. Kembali melayang kan pukulannya.
"ALAM! HENTIKAN!"
Arkan menarik tubuh Alam, membiarkan lelaki itu meronta dalam kukungannya.
"An*ing! Lepasin gua, Bang!" Berontak Alam, ia masih berusaha melepaskan diri dari kukungan Pria yang ia panggil Abang setelah lepas dari jam sekolah itu.
Lelaki yang berkelahi dengan Alam itu bangkit, meski dengan langkah tertatih. Meninggalkan Alam dengan amarahnya. Mereka pun sama-sama tahu bahwa lelaki itu masih bisa memperlihatkan seringai nya.
Membuat Alam semakin marah, mengeluarkan
berbagai sumpah serapah.
"Br*ngs*k! Anj*ng! Lo, Keinan!"
Keinan tertawa pelan,"Lo yang salah. Karna ngga bisa jagain temen lo, sendiri." Lanjutnya dengan nada mencemoh, lalu berlalu pergi dengan langkah tertatih.
"Aarggh!"
Alam meninju tembok didekat nya usai Arkan melepas nya. Ia marah, sangat.
Ia marah pada Arkan yang menghalangi nya. Merasa kecewa pada Lea yang menyerahkan dirinya pada cowok itu. Juga benci pada Keinan yang memanfaatkan Lea. Dan lebih dari itu, mungkin ia lebih marah, kecewa dan juga benci. Pada dirinya sendiri. Keinan benar. Ia lah penyebab perempuan itu menyerahkan tubuhnya.
"Seharusnya, Abang. Jangan menghalangi gue. Jam sekolah sudah berakhir, jadi ngga ada alasan buat Abang ikut campur, urusan gue." Ucap Alam penuh emosi, napasnya memburu membuat dadanya ikut naik turun.
Arkan menghela napasnya, "Ini masih lingkungan sekolah, Alam." Ujarnya tenang, yang membuat Alam mendengkus.
"Saya biarkan kalian kali ini. Saya tidak akan meminta pihak sekolah menindaklanjuti. Lebih baik kamu pikirkan caramu menghadapi orang tua mu, Setelah ini?"
Alam tertegun, matanya menyiratkan kekhawatiran "Abang mau kasih tau, papa?"
"Om Galang ngga mungkin ngga tau, Lam. Wajahmu babak belur, begitu."
Alam menyentuh sudut bibirnya, ia terdiam saat kekhawatiran itu mencuat ke permukaan. Ia melupakan ini sebelumnya, saat amarah mengambil alih kesadaran nya.
"Bantuin gue, Bang?" Ucap Alam setelahnya."Tolong jelasin ke, Papa."
"Saya ngga bisa bantu apa-apa, Lam."
"Cukup temanin gue, Bang"
Saat ayahnya berpulang, saat itu Arkan masih menduduki bangku SMA. Saat itu pula ia tidak pernah lagi menapakan kakinya pada bangunan minimalis didepan sana. Karena semenjak itu, kesibukannya seolah menjadi berkali-kali lipat.
Ia seakan tidak punya waktu untuk sekedar ber tamu pada pemilik rumah yang dulunya sudah ia anggap seperti ayah keduanya.
Hingga ketika kali ini ia kemari, ia merasa sedikit canggung.
Arkan ingin mengucapkan salam saat wanita paruh baya disana menghampiri nya diteras depan dengan raut terkejut. Mungkin merasa heran dengan kedatangan nya.
"Masuklah, Nak. Kenapa baru kem–"
"Ya ampun, Alam! Kenapa wajahmu babak belur, begitu?" Tante Amy membekap mulutnya, terlihat begitu syok saat menengok ke belakang punggung Arkan.
Detik itu juga, Arkan bisa mendengar suara lantang dari dalam ruang tengah.
"Berkelahi dengan siapa, kamu?"
"Mau jadi anak berandalan, sekarang?" Tanya Om Galang. Ekspresi nya terlihat datar bertanya pada Alam yang hanya menundukkan kepalanya.
Arkana memilih diam, bahkan saat matanya menangkap kehadiran seorang wanita yang menatap khawatir ke arah Alam.
Kimi berdiri tidak jauh dari sana, ia masih bisa melihat wajah lebam Alam meski dari balik punggung papa.
Papa hendak kembali buka suara ketika mama menyentuh punggung Papa, dan berucap pelan.
"Kita bahas didalam, Pa."
Galang mengangguk dan meminta Arkan untuk duduk di kursi yang didalam ruang tengah.
"Buatkan minum untuk Arkan, Kim."ujar Galang pada putrinya yang masih menatap khawatir pada kondisi Alam. Lalu berlalu ke dapur setelah ia menyadari kehadiran Arkan disana.
Samar, perbincangan di ruang tengah terdengar di telinga Kimi saat ia melangkah kan kakinya mendekat, seraya membawa segelas teh hangat.
"Saya tidak bisa menjelaskan, Om. Biarkan Alam saja yang bicara." Jawab Arkan. Ketika Papa bertanya pada Arkan.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Alam?"
"Aku cuma memukuli cowok br\*ngs\*k, disana. Pa." Jawab Arkan dengan wajah tertunduk, sementara emosi masih bermain di kedua mata elang nya.
"Apa alasan kamu melakukannya?"
"Karena aku benci dia, Pa." Alam tahu jawabannya hanya membuat papa marah. Mungkin, bila sekarang tidak ada Arkan. Papa pasti akan melayangkan pukulan padanya yang tidak memberi penjelasan dengan jelas. Papa adalah cerminan dari kata tegas itu sendiri.
Namun, papa hanya diam. Dan kembali bersuara saat Kimi meletakkan segelas teh hangat di atas meja.
"Arkan suka minum kopi, Kimi." Ucap Papa yang membuat Kimi terkesiap.
Mama yang yang duduk disamping Alam, berucap. "Buatkan lagi, kopi. Kimi!" Perintah Mama mutlak.
Mama dan Papa sudah seperti belahan jiwa yang saling melengkapi satu sama lain. Menyenangkan jika saja tidak menyangkut tentang pria yang kini membuka mulutnya itu.
"Tidak perlu Tante. Teh hangat juga nikmat." ucap Arkan dengan segera meminum nya, meski dengan situasi canggung yang memenuhi ruangan.
Galang kembali diam. Namun, ucapannya setelahnya membuat Arkan termangu.
"Terima kasih, Arkan. Om senang, kamu mau mampir kemari." Ucap Galang lagi, ia menatap Arkan lekat. Seperti mencari sosok sahabat nya pada wajah teduh milik Arkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Asrar Atma
mungkin sudah seharusnya Ar, tinggal disitu saja. biar bapa kimi lupa sama masalah Alam.
2025-06-23
0
Kesini
Arkan sama aku ja.
2025-06-22
0