NovelToon NovelToon

Jawaban Untuk Kimi

01. Perjodohan Untuk Kimi

"Keluarga Fatma siap kemari, Kim. Kapan kamu siap lamaran?"

Kimi tertegun ketika papa menanyakan sesuatu yang membingungan baginya.

Lamaran?

Kimi tidak ingin menebak-nebak, ia memberanikan diri bertanya langsung. "Lamaran apa maksud, papa?"

"Tentang perjodohan kamu dengan putra Fatma," jawab papa dengan santai.

Kimi merasa bingung, ia menatap mama yang menambahkan nasi pada piring papa. Ia berharap mama memberinya penjelasan.

"Segini udah, pa?" Tanya mama. Papa mengangguk, kemudian melanjutkan ucapannya. Setelah menyadari Kimi yang kebingungan.

"Begini Kimi, papa ingin menikah kan kamu dengan Arkana, putra Fatma. Papa harap kamu tidak menolaknya. Perjodohan ini sudah papa rencanakan dari jauh-jauh hari,"

Perjodohan? Dengan Arkana?

"Aku ngga bisa!"jawab Kimi. Ia merasa kesal saat kata perjodohan itu tiba-tiba saja muncul sebagai topik utama di meja makan.

Papa nampak tertegun, begitu juga dengan yang lainnya.

Kakaknya Yana segera berucap ketika menyadari papa yang menatap Kimi dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kenapa kamu buru-buru nolak, sih. Kim? Kalian aja belum pendekatan, " Ucap Yana tertawa kecil, berusaha mengurangi kecanggungan yang ada.

"Ngga perlu pendekatan, kak. Kalau aku bilang ngga yah engga,"Sahutnya dengan geram.

"Kecil kan suara mu, Kimi. Dimana sopan santun mu?" Peringatan mama membuat Kimi melengus.

Kimi tau siapa itu Arkana Savero yang hendak di nikahkan dengannya. Seorang guru yang kebetulan menjadi wali kelas nya Alam, adik bungsu nya.

"Usia kami beda jauh. Lagipula Arkan itu wali kelas nya, Alam,"

"Kalau wali kelasnya Alam, memangnya kenapa? Kamu ada masalah apa, hah?" Tanya papa dengan keangkuhannya.

Keangkuhan yang selalu membuat Kimi menjaga jarak, membangun tembok tinggi yang tanpa sadar telah berdiri kokoh diantara ikatan yang semestinya ada.

"Masalahnya... Aku ngga suka dipaksa kaya gini," Ujar Kimi lagi. Mencoba mengabaikan tatapan dingin papa.

Makan malam yang seharusnya berjalan seperti biasa itu terasa begitu menjengkelkan. Matanya bahkan menangkap perubahan raut pada wajah papa yang seketika saja mengeras. Juga mama yang terus menerus menghela napas seakan begitu lelah dengan ketidakpatuhanya. Bahkan Mas Raka, suaminya Kak Yana itu selalu saja tertawa pelan yang terdengar begitu memuakkan. Tawanya seakan mengejek sekaligus meremehkan keputusan Kimi.

"Jangan terlalu ngotot begitu, Kimi.

Kalau nantinya kamu nyesal bagaimana?"

Mas Raka terkekeh, sembari menyuapi putrinya, Rania yang berada dipangkuannya. Kakak iparnya itu terlihat begitu santai, seolah tidak terpengaruh pada ketegangan yang terasa mencekik leher.

Papa kembali diam. Namun, Kimi tahu dibalik diam nya papa tersimpan bom waktu yang mungkin bisa meledak kapan saja.

"Pak Kana itu baik loh Kak. Aku aja respek." Komentar Alam yang membuat Kimi semakin kesal. Mengapa mereka menyudutkannya. Ini adalah hidupnya, ia yang menjalaninya. Bukan Papa, Mama, Kak Yana atau Mas Raka. Apalagi Alam yang belum berumur delapan belas tahun itu. Namun tidak kalah cerewet nya mencampuri kehidupan Kimi.

Ini adalah hidup Kimi, ia yang lebih berhak dalam menentukan.

Kimi segera menegakkan pandangan nya, tanganya bergerak pelan mendorong piring yang tidak tersentuh sedikit pun makanan nya. Nafsu makannya mendadak hilang. Ini semua karena perjodohan tidak masuk akal ini.

"Maaf, tapi aku beneran ngga bisa.

Aku ngga suka hidup ku diatur orang lain," putusnya.

Papa terlihat menghentikan suapan nya, demi menatap Kimi dengan tatapan yang sulit diartikan. Kimi siap jika papa marah padanya, atau paling tidak mengutuk nya sebagai anak durhaka. Namun, papa hanya diam. Bahkan ketika mama ikut buka suara.

"Siapa yang kamu sebut sebagai orang lain, Kimi?"

"Kamu bahkan tidak akan ada didunia ini tanpa keinginan Papa dan Mama!."

"Bukanya berterima kasih, kamu justru semakin memberontak"

Lagi!

Kalimat itulah yang selalu diucapkan kepadanya, layaknya sebuah kenyataan yang tidak boleh ia abaikan. Kimi mendengkus, padahal ini bukanlah kali pertamanya ia diingatkan tentang keberadaan nya didunia yang tidak luput dari kemurahan hati orang tuanya. Namun, mengapa Kimi masih merasakan sakit. Rasanya seperti saat dulu ia jatuh dari sepeda, atau mungkin lebih sakit lagi. Karena yang tergores bukan lagi lutut maupun sikunya.

"Kenapa dulu aku ngga dibuang aja? Padahal... aku ngga pernah minta papa dan mama buat lahirin aku."

"Dari pada harus repot membesarkan anak yang tidak tau berterima kasih. Lebih baik dilenyapkan saja dari dulu." Jerit Kimi. Kedua tangannya kini meremas rok selutut yang belum sempat ia ganti dari siang.

Hal pertama yang dikomentari mama ketika ia baru tiba dimeja makan.

"Jadi anak gadis kenapa tidak disiplin, sih, Kim? Lihat kakak mu, loh. Selalu rapi. Bikin suami senang. lah... kamu, masih gadis saja sudah tidak keurus, begini."

Hal sederhana yang Kimi balas dengan senyum tipis. Ia pikir tidaklah menjadi masalah, sebab ia sudah terbiasa. Tapi, kali ini cukup melelahkan untuk Kimi.

Dan semakin melelahkan saat mama kembali buka suara.

"Ini loh Kim, yang jadi bedanya kamu sama kaka mu. Yana itu anaknya nurut, tau caranya berbakti sama orang tua."

"Sedangkan kamu itu banyaknya melawan. Orang tua aja, kamu ajak debat. Apa kurang baktinya Yana sebagai contoh buat kamu?" Ucap mama lagi.

Dan tidak ada yang lebih sakit dibandingkan dengan peryataan itu. Sesuatu itu mungkin sudah menyakiti nya berulang kali tanpa sadar. Hingga untuk kali ini saja, Kimi... ingin melampiaskan semuanya.

"Aku ngga bisa jadi kak Yana. Dan ngga akan pernah bisa. Jadi berhenti buat atur hidup ku seperti kalian ngatur hidupnya, kak Yana. " ujar nya dengan napas memburu.

Ia sudah berdiri dan siap pergi, ketika suara papa mengiterupsi.

"Lanjutkan makan, mu. Kimi," ujar papa tanpa menatapnya. Memerintah nya untuk tidak meninggal kan meja makan.

"Aku udah kenyang," jawabnya berbohong, ia bahkan belum menyentuh makanan nya.

"Papa bilang kembali ke tempatmu. Dan makan, makanan, mu!"

Kali ini papa menatapnya. Namun, sorot mata yang menampakkan ketegasan serta rahang yang mengeras itu. Seolah memberitahu nya bahwa papa sedang tidak ingin dibantah, itu justru membuatnya semakin marah. Apa mungkin papa ingin memaksanya menerima perjodohan konyol itu?.

Seharusnya Kimi segera kembali duduk di kursi nya, dan menyatap makanan yang sudah dingin itu dengan segera. Tapi, untuk kali ini ia melakukan tindakan yang lebih berani. Mangabaikan perintah papa, yang paling berpengaruh di keluarga mereka.

Ia justru berbalik, mengacuhkan papa yang semakin geram.

"KIMI AZAHRA!" Teriak papa menggelegar.

Kimi terperanjat, namun dengan segera menguasai diri. Rania yang berada dipangkuan kaka iparnya itu menangis ketakutan. Membuat Raka segera beranjak untuk menenangkan putrinya.

"Kak..." panggil Alam memelas. Seperti memberitahu nya untuk tidak berbuat lebih jauh, agar papa tidak marah.

Kimi mangabaikan peringatan itu, dan tidak membuatnya berhenti. Dengan langkah besar ia meninggalkan meja makan, ia berharap setelah perlawanan nya ini mama dan papa berhenti memintanya menerima perjodohan dengan putra dari sahabat papa, sekaligus wali kelas nya Alam itu.

02. Kesialan Beruntun

Kimi sudah mencoba berbagai hal untuk bisa tidur cepat tadi malam, berbagai metode sudah ia coba. Mulai dengan mandi air hangat, membaca buku, bahkan dengan teknik pernapasan seperti 4-7-8. Dan itu belum mampu membuatnya tertidur cepat, hingga ketika ia bangun pagi ini. Kimi dapati kedua bola matanya memerah.

Ia sedikit gamang, menatap pantulan wajahnya dicermin. Sementara ingatan nya kembali pada percakapan nya dan Yana tadi malam, saat kakak nya itu diam-diam memasuki kamarnya.

" Kamu marah ke, aku?" Tanya Yana saat menyadari tiada respon darinya. Padahal kakaknya itu sedang diam-diam mengantarkan makan malam ke kamarnya.

Kimi tahu risiko dari perbuatan Yana bisa saja menimbulkan amarah dari mama dan papa yang selalu memiliki aturan ketat. Seperti tidak boleh makan didalam kamar. Makan itu harus di meja makan.

"Aku ngga marah, tapi kalau kedatangan kak Yana cuma mau minta aku nerima perjodohan, itu. Lebih baik kakak keluar dari kamar ku,"

Jawab Kimi tanpa melihat langsung ke arah Yana. Namun dari ekor matanya ia bisa tahu bahwa Yana memilih duduk di kursi rias nya disebelah kiri ranjang Kimi, alih-alih meninggalkan kamarnya.

Untuk sejenak keduanya sama-sama diam, membiarkan suasana hening menyelimuti ruang kamarnya. Saat Kimi hendak buka suara untuk meminta Yana kembali saja ke kamarnya dan Raka. Kakaknya lebih dulu berucap lirih, nyaris tidak terdengar jika saja kamarnya tidak hening seperti sekarang.

"Aku minta maaf, Kim"

Untuk satu itu, membuat Kimi akhirnya menoleh, menatap pada mata teduh milik Yana yang juga menatapnya.

"Maaf. Aku selalu bikin kamu merasa dibandingkan dengan ku,"

"Itu bukan salah, kak Yana. Jadi ngga perlu minta maaf," ujarnya seraya menarik selimut nya hingga menutupi kepalanya. Ia membelakangi Yana agar kakanya itu segera pergi dari kamarnya.

Namun ternyata Yana belum selesai hingga kembali melanjutkan ucapannya setelah hening sejenak.

"Tentang perjodohan itu, kami tidak bisa berbuat banyak, Kimi. Keputusan tetap ada di kamu"

"Tapi yang pasti, kami selalu ingin yang terbaik buat kamu. Mama dan papa peduli sama kamu, Kim,"

"Kamu tau, kan. Gimana deket nya, papa sama almarhum papanya, Kana. Papa ngerasa ngga ada yang lebih baik buat kamu, selain dari Arkana,"

Kimi menghela napas, ia pikir pagi ini ia bisa mengenyahkan ucapan kak Yana tadi malam, namun ternyata obrolan mereka tadi malam cukup merepotkan nya.

Dengan langkah gontai ia memasuki kamar mandi, menyiapkan dirinya untuk pergi ke toko kue miliknya pagi ini.

"Kenapa tidak sarapan dulu, Kimi?" Tanya mama, ketika melihatnya yang melintasi ruang tengah dengan terburu-buru. Disana ia bisa melihat Alam yang sedang becanda dengan Rania. Ia sudah siap pergi, ketika mama menghampiri nya dari ruang dapur.

"Kimi makan diluar, Ma," jawabnya sambil lalu.

Ia masih merasa kesal dengan kejadian tadi malam, ketika mama lagi-lagi membandingkan nya dengan Yana.

"Mau kemana, kak. Weekend, begini?" Tanya Alam. Tangannya sibuk membantu Rania menyusun lego.

"Ke, Cake Castle," sahutnya. Lalu segera menuju carport rumah.

Ia sudah menyalakan motor metic miliknya, ketika papa tiba setelah jalan kaki pagi. Tatapan mata mereka bertemu, ia sedikit canggung mengingat perbuatannya tadi malam yang meninggalkan meja makan dan Mengabaikan peringatan papa.

Tetapi, papa hanya diam dan melewatinya begitu saja. Kimi menghela napas, ia sadari dirinya salah. Tapi bukan berarti papa bisa memaksanya menerima perjodohan itu.

"Mau kemana nih, Kim? Pagi-pagi amat," tanya Raka menyusul di belakang papa.

"Ke Cake castle, Mas."

Jalanan tidak seramai biasanya, tapi tidak juga sepi. Sesekali pengendara lain melewatinya. Hari masih terlalu pagi untuk orang-orang beraktivitas. Kimi merasakan semilir angin menerpa wajahnya yang tidak tertutup kaca helm. Ia sedikit menggigil ketika angin menembus cardigan tipis miliknya saat ia menarik pedal gas motornya.

Kimi masih melajukan motornya melintasi jalanan, ketika tahu-tahu saja motornya terasa berat untuk jalan.

Ia menepikan motornya, seraya mencari penyebabnya.

"Ihh... sial banget. Bannya kempes," keluh Kimi saat menyadari ban motornya yang kempes lah penyebabnya.

Kimi masih menggerutu sembari memerhatikan ban belakang motornya yang kempes, ketika suara seorang pria menyapa indra pendengaran nya.

"Motornya kenapa, Mbak?"

"Bannya–"

Ucapannya terhenti ketika menyadari siapa pria yang berdiri dibelakang nya dengan wajah yang sama-sama tertegun itu.

*Arkana Savero*

*Sialan! Kenapa harus dia! Ini, sih. Namanya kesialan beruntun*!.

Arkan dengan cepat mengendalikan ekspresinya. "Mbaknya Alam, ternyata, " Lirih pria itu, yang masih terdengar jelas ditelinga Kimi.

Sementara itu Kimi masih terdiam. Pria itu melangkah sedikit lebih dekat memerhatikan motor Kimi.

Kimi mungkin masih bersikap biasa, andai tidak ada rencana perjodohan itu. Namun kali ini, ia tidak bisa bersikap biasa, saat menyadari lelaki yang sedari tadi memeriksa ban motornya itu, akan di nikahkan dengannya.

Ia ingin sekali menginterogasi pria didepan nya ini tentang perjodohan mereka. Namun, melihat bagaimana tenang nya Arkana. Membuat Kimi urung juga.

"Ban dalamnya bocor. Didorong aja" Ucap Arkan setelahnya. Ia berdiri memerhatikan Kimi yang masih terdiam di depannya.

"Gini aja, deh. Kamu bawa motor saya. Motor kamu, biar saya yang dorong," tunjuk Arkan pada motor metic miliknya, yang berhenti tak jauh dari mereka.

Dengan cepat Kimi menggeleng, "Ngga perlu. Saya dorong sendiri aja," sahutnya cepat.

Arkana sempat melongo mendengar penuturannya, "Bengkel dari sini lumayan jauh. Kuat, buat dorong?" Tanyanya serius.

Kimi mengangguk mantap. Ia mulai mendorong motornya. Kimi pikir, Arkan akan segera berlalu melewatinya. Tetapi pria itu justru membuntuti nya seraya mengendarai motornya dengan pelan.

Kimi tidak bisa diam saja, ia berucap tanpa menatap Arkan,"Bapak duluan saja. Saya bisa sendiri,"

"Bapak? Seingat saya..., Saya belum punya anak," Sahut Arkan sembari terkekeh.

"Bagaimana pun, bapak. Wali kelasnya Alam, "

"Saya ngga lagi ngajar. Udah, panggil biasa saja,"

Kimi berdecik, " Silakan, duluan. Saya bisa sendiri," ia melanjutkan langkahnya dengan terburu-buru seperti sedang dibuntuti hantu.

"Saya temani,"

Wanita itu mendelik, membuat Arkan segera melanjutkan ucapannya. "Jalanan nya sepi. Biar saya temanin sampai bengkel,"

Arkana merasa heran, menyadari wajah Kimi yang kusut. Wanita itu terus terusan menghela napasnya. Emosi nya seolah tertahan. Membuat Arkan mati matian menahan tawanya.

Ia mulai berpikir, melihat sikap Kimi yang seakan memiliki dendam padanya. Akankah karena perjodohan itu?.

Namun, ia menepis prasangkanya.

Arkana bisa saja meninggalkan wanita yang sedang terseok-seok mendorong motor di depannya itu. Toh, Kimi tidak memerlukan bantuan nya. Tetapi, tentang wanita itu membawanya enggan beranjak. Membuatnya bersedia meluangkan waktunya sedikit lebih lama.

Mungkin karena ayah dari wanita itu, pikirnya. Arkana menyakinkan dirinya sendiri, bahwa alasannya berada disini hanya sekedar membantu putri dari Om Galang, sahabat Ayahnya.

03. Setoran Hafalan

Sinar mentari mulai panas, menunjukkan cahaya nya lebih banyak. Pengendara sesekali melintasi Kimi menciptakan udara cemar yang berdebu. Ia masih dengan napasnya yang tersengal, sementara peluh membanjiri kening nya. Kakinya terasa lelah mendorong motornya, hingga langkah nya mulai melambat.

Kimi ingin menyerah, dan meminta bantuan temannya untuk menjemputnya. Namun urung, membayangkan ide rumit itu. Atau ia meminta bantuan pada pria dibelakang nya saja. Yang sedari tadi masih membuntuti nya itu. Tidak! Itu ide paling buruk.

Ia masih memikirkan caranya, ketika Arkan berhenti didepan dan berjalan kearah nya. "Kamu bawa motor saya. Biar saya dorong motor kamu, biar cepat!" Ucap Arkan yang menurut Kimi seperti memaksa.

Tidak bisa menafikan, Kimi memerlukan bantuan itu. Ego Kimi masih tinggi, memintanya menolak. Andai bukan Karena langkahnya yang pendek-pendek itu. Ia pasti sudah sampai bengkel dari tadi.

Tetapi respon tubuhnya memintanya untuk mengangguk saat itu, menurunkan sedikit harga dirinya.

Kimi tiba lebih dulu. Disana tertulis 'Berkat bengkel motor' di sebuah spanduk. Ia menghela napas beberapa kali sampai tiba kedatangan pria yang sedang ditunggu nya itu.

"Bang! Ganti ban dalam!" Seru Arkan pada pria gempal disana yang mengacung kan jempolnya.

"Aah... siap!" Jawab pria gempal itu dengan segera memperbaiki ban motornya.

Kimi menatap punggung Arkan yang berdiri tidak jauh darinya. Arkana terlihat terlibat percakapan dengan pria gempal yang terlihat energik itu, hingga sesekali membuat Arkan tertawa.

"Cewek lo, Bung?" Tanya pria gempal itu seraya menunjuknya dengan dagu. Mungkin pria itu menyadari ia yang terus menatap ke arah Arkan.

Arkan menoleh sekilas padanya, "Bukan, Bang. Anaknya teman bokap,"

"Bukan mahram, itu. Masih bisa lah, Bung. Dijadiin istri." Canda pria gempal itu dengan tawa membahana. Alisnya di naik turunkan menggoda Arkan yang memaksakan tawanya sembari memegang telinganya nya dengan gekstur tidak nyaman.

Kimi jelas memberengut, alisnya saling tertaut. Dalam hati ia memaki pria gempal itu.

"Becanda, Neng. Disini ada motto nya, noh!" Tunjuk pria itu pada sebuah banner didalam bengkel nya.

Disana tertulis 'Jangan serius- serius. Karena, hidup sukanya ngajakin bercanda'.

"Iya kan, Neng?" Tanya pria gempal itu lagi, yang Kimi balas dengan senyum sekilas.

Kimi tidak tahu bahwa senyumnya itu tidak luput dari pandangan Arkana, meski hanya sekilas.

Matahari masih terasa terik, padahal waktu ashar hampir tiba. Hal itu tidak mengurangi semangat Kimi dari aktivitasnya. Ia melebarkan senyumnya menyambut seorang gadis cantik dengan rambut kepang dua.

"Selamat datang di Cake Castle." Sapa Kimi di balik meja kasir.

Gadis beramput kepang dua itu tersenyum kaku membalasnya.

"Mau *order* untuk *dine in* atau *take away*, Kak?" Tanya Kimi lagi.

"*Dine ini*, aja."

"Oke!"

Kimi mulai menjelaskan beberapa menu varian kue manis yang menjadi andalan toko, *best seller*, serta *signature* mereka. Gadis berambut kepang dua itu menopang dagunya sembari mengamati kue manis yang berjajar di etalase.

"*Fudgy Brownies*" Putus gadis itu.

"Siap." Ujar Kimi.

Kimi menatap jam tangan yang melingkari penggelangan tangan kirinya. Ketika sayup-sayup suara adzan ashar terdengar, membuat Kimi melepaskan apron yang ia kenakan.

"Maudy! Bagas! Aku tinggal bentaran, yah." Ucap nya pada kedua temannya yang juga berjaga di toko kuenya.

"Oke, Kim." Jawab mereka kompak.

Kimi berjalan ke ruang pribadi di area istirahat karyawan. Dan mulai menjalankan kewajiban nya disana. Kimi bukanlah seorang muslim yang taat, ia hanya melaksanakan kewajibannya nya disetiap ada kesempatan. Jika tidak, ia akan membiarkan nya terlewat begitu saja.

Kimi mengingat janji temu nya sore ini, dengan seorang pria yang ia kenali selama satu tahun belakangan. Seorang pria yang memberinya alasan untuk mengenakan kerudungnya saat ini, meski masih lepas pasang.

Kimi segera keluar dari area itu dan menemui Maudy dan Bagas yang sibuk melayani pembeli.

"Aku pulang duluan, deh. Ada hal yang harus aku selesaikan." Ucap Kimi.

"Okelah. Ati-ati, yah." Jawab Maudy disela kesibukannya.

Kimi melajukan kendaraan melewati jalanan yang cukup padat itu. Ia menutup kaca helm nya saat debu bertebaran ketika sebuah truk melintasi nya.

Saat sudah tiba ditempat tujuan nya, Kimi memarkir kan motornya dipekarangan Masjid Hidayah. Matanya dengan cepat menemukan sosok yang di carinya diantara anak-anak yang berkerumun di dekat lelaki itu.

"Assalamualaikum." Sapa Kimi setelah melepas sepatu Sneakersnya diteras Masjid.

"Wa'alaikumussalam...." Jawab mereka serempak.

Kimi melangkah kan kakinya masuk ke dalam Masjid. "Mau setoran hafalan, Mas." Ucap Kimi pada Ehsan, lelaki yang membuatnya menerbitkan senyuman.

"Sebentar, yah. Selesain punya mereka dulu." Jawab Ehsan sembari melanjutkan mengajar anak-anak lain mengaji.

Kimi mengangguk, ia memilih duduk dibelakang punggung lelaki itu. Menatapnya lebih lama, dengan jarak yang membuat mereka tidak bersinggungan langsung.

Mungkin benar. Salah satu alasannya menolak perjodohan dari papanya adalah karena lelaki ini, Ehsan. Yang selalu membuatnya merasa nyaman, tanpa harus takut tertinggal.

Kimi mendengarkan lantunan ayat Alquran yang terucap dari bibir Ehsan ketika pria itu mengoreksi bacaan dari, Aliya. Salah satu anak yang Kimi tahu namanya. Kimi masih sibuk mengagumi suara itu, ketika Ehsan akhirnya berucap, membuyar kan lamunan nya.

"Sekarang giliran kamu, Azahra. " ucap Ehsan dengan menyebut nama belakangnya. Ia ingat ketika pria itu mengatakan bila ia menyukai nama belakang Kimi. Hingga membuat Ehsan memutuskan untuk menyebut nama belakang Kimi saat bicara dengannya.

"Sudah sampai mana, hafalan nya?"

"Surah Al Buruj." Jawab Kimi. Ia kemudian memulai membaca ayat pertama setelah membaca ta'awudz terlebih dahulu.

"Was-samā'i żātil-burūj"

"Wal-yaumil ma'ūd."

Lantunan ayat suci itu terus terucap dari bibir Kimi, meski Samar-samar suara anak-anak bermain memenuhi pelantaran Masjid. Kimi melanjutkan nya dengan khusyuk hingga ia mengakhirinya dengan bacaan tashdiq.

"Shadaqallahul 'Azim"

Ehsan tersenyum,"Bagus, Zahra." Ucapnya tulus.

Kimi bisa melihat mata Ehsan yang membentuk bulan sabit ketika tersenyum, membuatnya juga ikut menarik kedua sudut bibirnya.

"Makasih, Mas." Ucapnya masih dengan senyuman.

"Sama-sama, Zahra."

Kimi menceritakan banyak hal ketika mereka keluar dari Masjid Hidayah. Sebagian Anak-anak sudah pulang lebih dulu, sementara yang lainnya masih bermain dipekarangan Masjid.

Ehsan lebih banyak diam dan hanya menjawab seperlunya. Membuat Kimi merasa lebih didengarkan. Hingga sebuah pertanyaan itu terlintas di kepala nya.

"Salah yah, Mas. Kalau menolak keinginan orang tua?" Tanya Kimi.

Ehsan menghentikan langkahnya demi mendengar pertanyaan dari Kimi. Ia berbalik, menatap sekilas pada Kimi yang berjalan mengekorinya.

Pertanyaan Kimi tidak memiliki kejelasan lebih, membuat Ehsan menghela napasnya demi menyadari Kimi yang kembali diam, terlihat enggan menjelaskan alasan dari pertanyaan nya.

"Tidak salah, Zahra. Jika keinginan itu hanya menimbulkan kemudharatan dan bertentangan dengan syariat islam. Tolak lah dengan cara yang baik"

"Bagaimana, kalau keinginan itu. Suatu hal yang baik?."

"Ambillah, kalau menurutmu itu baik. Tapi, jika hal itu tidak kamu inginkan. Tolaklah dengan santun, bicarakan dengan lemah lembut. Dan berikanlah penjelasan dengan baik. Tanpa harus menyakiti perasaan orang tua, mu. Azahra."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!