10 Tahun kemudian
Matahari akan segera terbenam. Suasana damai di sore hari membuat para pasukan bisa bebas tertawa riang bersama. Di depan istana lebih tepatnya di bangku taman, nampak William duduk sendirian dengan pandangan yang terus saja menatap kosong kearah tanah. Zeyynmaloth junior satu ini tak mau membantu rekannya yang lain yang mana mereka sedang sibuk mempersiapkan hari ulang tahun Westia Alecto, salah satu Zeyynmaloth junior juga.
Langkah Dante membawanya dari istana menuju keluar. Disana, ia mendapati sahabatnya itu sedang duduk murung. Karena tak mau sahabatnya sedih, iapun segera menghampiri William.
"Hey bung..." Tampak Dante sudah duduk di samping William. "Apa yang sedang kau pikirkan itu hah?" tangannya mulai menepuk pundak William lalu merangkulnya.
"Aku gak mikirin apa-apa kok, hehe," tawa palsunya terdengar hampa. Tegukan keras pada ludah pun terdengar jelas.
Melihat respons William yang seperti itu, Dante hanya bisa terdiam. Tatapan matanya seolah berkata "Aku mengerti kawan." Dirasa topik seperti ini adalah suatu ketidaknyamanan. Dante mulai berfikir untuk mengalihkan topik. "Jangan lah kau sering sering seperti ini. Kau tahu, melihatmu begini membuatku teringat dirimu 10 tahun yang lalu."
"Berubahnya aku itu karena Princess Guinevere," balas William. Lehernya jadi bersemangat begitu nama Guinevere disebut.
"Aku masih belum tahu seperti apa ya akademi sihir itu?" ucap Dante. "Ya... gimana ya, bisa dibilang sihh sebuah bangunan besar yang isinya orang-orang dengan kemampuan sihir luar biasa," balas William.
"Aku ingin kesana, sayangnya kita jarang mendapat misi ke akademi sihir ya."
"Dante, aku meragukan pasukan kita ini jika harus membantu mereka. Maksudku, biarpun ada penyerbuan, mereka sama sekali tak akan kalah. Gimana mau kalah coba, isinya orang-orang pengguna sihir kuat," terlontar pendapat William. Ucapannya terdengar serius.
"Itu artinya kau tak berharap untuk membantu Princess Guinevere dan murid-murid disana?" tanya Dante.
"Logikaku membunuh keinginanku," balas William dingin.
Setelah William berkata seperti itu, keduanya jadi terdiam. Diantara mereka saling membisu selama beberapa saat. Dirasa suasana kembali kaku, Dante berusaha untuk membuat suasana hangat kembali.
"William, sekarang Princess Guinevere masih di akademi sihir kan? Dia mulai masuk sejak umur 9 tahun. Nahh, apa setelah 1 tahun lagi berlalu atau lebih tepatnya setelah Guinevere lulus, kau akan menikahi nya?" canda Dante.
Seketika itu pukulan tangan William tertuju pada pipi Dante. Pukulan itu sampai membuat nya terbaring di tanah. Tampak wajah tak senang William terus menatap tajam pada Dante. Langkah kaki William kini membawanya menjauhi kursi taman itu. "Dia memang sangat konyol. Tak disangka orang yang dingin dan kaku sepertiku bisa berteman baik dengan orang yang aktif, hangat, dan konyol seperti Dante," pikirnya.
Sementara itu, di akademi sihir tampak Guinevere dan murid yang lainnya sedang dibuat kebingungan. Mereka duduk di kursinya masing-masing menatap fokus ke gurunya.
"Ibu harap, kalian senantiasa membaca buku sihir level 3. Perlu diingat bahwa waktu kalian disini cuma setahun. Jika waktu selama itu masih tak menguasai sihir level 3 maka akan dianggap tak pernah membaca buku, lalu akan dinyatakan tak lulus. Murid yang tak lulus akan mengulang kelas," ucap ibu guru dengan tegas dihadapan murid-murid nya.
Terkaget kaget para murid mendengarnya. Ada yang sampai membuka mulut lebar tanpa sadar, ada juga yang sampai melotot.
"Ini tak masuk akal. Selama 9 tahun di akademi ini, kami hanya bisa menguasai sihir level 2. Lahh ini kami malah disuruh bisa sihir level 3 hanya dalam kurun waktu 1 tahun," ucap Princess Guinevere dalam hati. Dihadapannya tercium bau buku baru.
"Bu guru, apa itu tidak terlalu cepat?" Kalimat tanya Teddy si anak laki-laki populer. Nadanya terdengar seperti protes.
"Tidak. Jika kalian keberatan kalian bisa langsung saja memundurkan diri sekarang."
"Bu guru, mungkin yang bisa kami capai hanya 1 elemen yang level 3," ucap Penny.
"Itu tak masalah. Yang akan dikeluarkan itu hanya murid yang tak ada kemajuan dalam 1 tahun ini." Mata ibu guru itu mengancam. Tak pernah para murid melihat wajah ibu gurunya itu seserius ini.
"Murid-murid, semuanya tergantung pada diri kalian sendiri." Ibu guru itu memelankan suaranya. "Dari dulu, sampai angkatan kemarin, ada kok yang sampai menguasai level 3 di 2 elemen." Wajah ibu guru mulai santai.
Ucapan itu seketika membuat seisi kelas jadi termotivasi untuk rajin membaca. Semua teori tentang sihir level 3 ada di buku itu. Hal yang sangat wajar jika semua murid termasuk Guinevere merasa ingin segera memahami isi buku.
Beberapa jam kemudian, pelajaran pun berakhir. Matahari benar-benar tenggelam saat ini. Langkah kaki Guinevere membawanya ke pintu kamarnya. Saat hendak membuka pintu, tiba-tiba terdengar suara pak guru yang terus memanggil manggil namanya.
"Princess Guinevere." Teriak pa guru pembawa surat.
Singkatnya, Guinevere menerima surat itu dan masuk ke kamarnya. Di kamarnya, ia membaca isi surat. Ternyata surat itu ditulis oleh kakaknya yang bernama Henry.
"'Wahai adikku yang manis, kakak sudah mendapatkan sosok princess kakak. Minggu depan adalah pesta pernikahan kakak, jadi jangan lupa kau izin pulang dulu saat pestanya akan dimulai ya.'" Bertuliskan dari Henry.
"Kakak bodoh, kenapa dia malah secepat itu menikah sih?" pikirnya. Dia sangat kesal begitu mendapat informasi seperti itu.
Kaki Guinevere pun bergerak sehingga membawanya ke kasur. Tubuhnya terbaring santai di kasur empuk, hal itu sudah biasa bagi kamar VIP.
"Hhmm... Andai saja aku ikut akademi ini bersamanya. Mungkin semua akan terasa berbeda," pikirnya.
"Yahh... Biar bagaimanapun aku harus lakukan yang terbaik di akademi ini. Aku harus mempertahankan posisi ku yang membanggakan ini."
Malam itu William mendapati mimpi aneh. Waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Mimpi aneh yang dialami William adalah bertemu dan berbicara dengan Iblis. Anehnya iblis itu berbicara pada William seolah ia akan terus melindungi William.
Sementara itu, di negeri bayangan yang bernama Death Yok. Langit di negeri bayangan itu berwarna merah gelap berkombinasi dengan warna ungu. Tanah di negeri bayangan itu berwarna hitam pekat, kadang ada bebatuan besar yang tersebar di sekitar tanah. Death Yok bagian barat, terdapat istana yang dipenuhi iblis-iblis jahat. Nama istana itu adalah Dark Dicepratops.
Tampak di bawah tanah lebih tepatnya di ruang rapat terdapat sekumpulan iblis kelas kakap berkumpul dalam meja bundar.
"Aku sudah bilang kan, anak yang diramalkan itu masih hidup. Dia jadi anggota Zeyynmaloth sekarang," ucap Lucent. Iblis kuat yanh sangat disegani.
"Aku juga sudah bilang beberapa kali, dia pasti sudah mati. Kau mau melawan ku hah? Kau berani menantang demon lord?" tanya Lilith emosional. Lilith lah pemimpin iblis Dark Dicepratops.
"Tapi aku sudah yakin dia masih hidup. Jika saja ramalan itu benar maka nasib kita akan buruk," Lucent memperingatkan lagi. Tangannya mengepal seolah ingin menonjok Lilith yang bebal.
"Jika kau yakin baiklah, ayo kita kerahkan seluruh tenaga kita untuk menyerang kerajaan Tudor. Kita ratakan Tudor dengan tanah."
"Ppfff... Saranku sih ya mending kita invasi akademi sihir dulu. Entah kenapa aku merasa itu lebih dari sekedar ancaman untuk kita," pendapat Helena terucap. Helena merupakan tangan kanan Lilith.
"Kau dan aku kan Demon Lord, hanya kita yang merupakan demon lord. Kita tunjukkan bahwa hanya dengan kekuatan kita berdua bisa mengacak acak akademi sihir," ucap Lilith sok kuat.
"Jadi kau tidak akan ikut dalam invasi kita ke negeri Tudor?" tanya Lucent.
"Aku percaya pada kemampuan para jenderal iblis-iblis Dark Dicepratops."
"Aku tak akan ikut dalam invasi manapun," ucap Raipope dengan ekspresi dingin.
"Kau takut kah?"
"Percayalah lah aku tak tertarik dengan permainan bocah kalian. Aku hanya ingin menghabisi Lewis, si iblis penghianat itu," nadanya dinaikin saat nama Lewis disebut.
"Terserah kau saja."
"Tenanglah... Aku akan menyiapkan rencana dalam invasi kita ini," ucap Lilith. Dia beranjak dari tempat duduknya lalu pergi dari meja bundar itu.
Setelah Lilith tak lagi di ruangan itu, Helena pun membuka mulut. "Lihatlah kekecewaan Lilith padamu Raipope!" serunya.
"Percayalah dia tak kecewa padaku sama sekali." Tangan Raipope disilangkan dengan ekspresi datar di wajahnya.
Helena yang melihat Raipope seperti itu jadi marah. "Entah mengapa kami harus punya pasukan iblis yang susah diatur sepertimu," semburnya.
"Disini hanya buang-buang waktu. Aku tak tertarik dengan ini semua," ucap Raipope. Dia juga beranjak dari tempat duduknya lalu pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments