Kabut mulai menebal. Hawa dingin mempercepat proses munculnya kabut. Jarak pandang sangat terbatas. Hanya 2 meter. Matahari yang berangsur turun pun semakin mempersulit penglihatan serta pergerakan.
Pasukan Kerajaan Havelar bergerak dengan sangat lambat. Kuda-kuda mereka terlihat panik dengan keadaan yang semakin gelap. Para pasukan terkadang saling bertabrakan. Mereka hanya bisa saling mendekat satu sama lain, tapi masalahnya, baju zirah mereka yang berat malah menjadi merepotkan.
"Tetap berdekatan. Jangan sampai terpisah dari barisan!" Marco, pemimpin pasukan Havelar berteriak memberi perintah. Baginya, kondisi ini sangat tidak menguntungkan. Musuh bisa menyerang dari mana saja, ditambah pasukannya yang terlihat mulai lengah.
Marco memerintahkan untuk menyalakan obor. Namun, sia-sia. Kabut tebal malah merefleksikan cahaya dari obor yang berpijar. Bukannya terlihat, cahaya obor seakan membutakan mata para pasukan Havelar.
"Cih, benar-benar situasi yang sulit." Marco bergumam. "Ingat! Tetap waspada dan jangan lengah. Siapkan senjata dan perisai kalian!" Marco sekali lagi memberi perintah.
"Lihat, Jenderal Marco! Di atas sana." Salah satu pasukan menunjuk ke atas langit.
Dari arah yang di tunjuk pasukan itu, cahaya merah terlihat berpendar. Warnanya terlihat jelas dari balik kabut yang berwarna abu-abu. Cahaya itu terbang sebentar di langit, tapi lama kelamaan semakin mendekat. Entah kenapa, cahaya merah itu menjadi semakin banyak. Mungkin ada ratusan jumlahnya dan menukik turun semakin cepat.
"Sial!" Marco berseru, "Semuanya, perisai!" Pasukan Havelar dengan tergopoh-gopoh mengangkat perisai. Terlambat. Cahaya itu adalah anak panah dengan api di ujungnya. Hanya dalam hitungan detik, anak panah itu sudah menghujani pasukan Havelar. Beberapa berhasil selamat akibat perlindungan perisai, tapi banyak juga yang terkena panah berapi.
Suasana berubah kacau. Barisan pasukan Havelar menjadi berantakan. Marco menatap pasukannya prihatin.
"Tetap tenang! Jangan panik, dasar kalian bodoh!" Marco berteriak keras. Tangan kirinya sibuk menahan laju anak panah yang tiada henti dengan perisainya.
Perisai memang mampu melindungi Marco dari serangan anak panah, tapi tidak dengan kudanya. Anak panah berapi menancap di kepala kuda malang itu yang malah membuat Marco terjatuh. Badan Marco keras menghantam tanah.
"Agh!" Marco meringis kesakitan. Punggungnya terasa ngilu. "Kesultanan sialan!" Marco mengumpat.
Dengan rasa marah yang kian membara, Marco segera bangkit lalu mengambil pedang dan perisainya yang terjatuh. Tatapannya terlihat buas.
"Masa bodoh dengan hujan panah ini! Semua pasukan, serang!" Marco berlari menorobos kabut. Tujuannya jelas. Pasukan Kesultanan Ammariz yang berada di depannya. Pasukan Havelar yang melihat Marco berlari, juga berlari mengikutinya.
Marco memimpin pasukannya menorobos kabut. Yang ada di kepalanya hanya satu sekarang, bunuh semua pasukan Kesultanan Ammariz. Baru lima belas langkah Marco dan pasukannya berlari, tiba-tiba api besar membumbung tinggi. Cahayanya sangat menyilaukan. Kabut yang masih tebal merefleksikan cahaya api hingga pasukan Havelar kesusahan untuk melihat.
Ketebalan kabut, serta adanya api besar membuat pasukan Havelar sesak napas. Mereka terjebak di dalam posisi yang sangat merugikan. Panah-panah berapi masih terus ditembakkan secara membabi-buta. Dari arah kiri pasukan Havelar, dari puncak lembah, panah-panah berapi juga meluncur dengan cepat.
"Jenderal Marco! Kita terkepung! Kita harus segera mundur!" Anak buah Marco berlari ke arahnya. Di pahanya sudah tertancap anak panah.
Marco berpikir keras. Mundur adalah tindakan yang sangat hina baginya, tapi situasi pertempuran juga sudah berantakan. Marco menyeka keringat yang keluar di dahinya.
"Sialan!" Marco berteriak penuh amarah. "Kita mundur! Semuanya, mundur!"
Pasukan Havelar dengan serentak mengubah haluan, mereka mundur. Hujan panah yang terus ditembakkan membuat suasana mundurnya pasukan Havelar semakin dramatis. Mereka tidak menduga akan adanya serangan kejutan baru.
"Bakar!" Basril memberi komando.
Pasukan Havelar yang mundur, sekali lagi dikejutkan dengan api besar yang muncul dan menutup jalur pelarian mereka. Mereka benar-benar seperti ayam dalam kandang. Terkurung. Api di depan dan belakang, serta lembah di kiri dan kanan.
"Agh, Jenderal."
"Tolong!"
"Argh."
Marco menatap pasukannya yang tumbang satu persatu. Wajahnya yang garang dan menyeramkan berubah pucat. Dia tidak pernah mengalami keadaan seperti ini. Kekalahan yang memalukan sekaligus menyedihkan.
***
Di pihak lain, Abyad yang duduk di tumpukkan kayu tersenyum senang. Dia sungguh tidak menyangka hasilnya akan sesempurna ini. Pasukannya tidak berkurang sedikit pun dan Abyad tidak melihat darah yang dibencinya.
"Bagaimana kau menyusun semua ini?" Sabina yang sedari tadi memperhatikan Abyad bertanya.
"Menyusun apa?" Abyad bertanya. Matanya masih memandang ke arah barikade kayu yang dibakar olehnya.
"Rencana ini. Rencana mengalahkan pasukan Havelar dengan kobaran api?"
"Itu mudah, Sabina. Aku sudah mulai memprediksi gerakan Kerajaan Havelar dari seminggu lalu. Aku juga telah menentukan titik-titik mana saja yang akan diserang oleh mereka. Kebetulan saja prediksiku benar. Lembah Bursa adalah tempatnya. Lembah berkabut yang tidak ditempati siapapun, kecuali para pemburu handal." Abyad melonggarkan kain yang menutupi hidung dan mulutnya. "Fiuh. Lebih mudah bernapas kalau begini."
"Lalu dengan api ini? Dari mana kau mendapatkan minyak tanah sebanyak itu?"
"Dari gudang senjata. Kau ingat? Di saat kau dan Basril mencariku, aku sedang memeriksa jumlah minyak tanah yang akan dibawa." Abyad tersenyum, matanya kembali fokus melihat barikade yang terbakar. "Kabut sudah mulai menipis. Basril akan segera bergerak."
"Aku masih punya beberapa pertanyaan untukmu nanti, Abyad." Sabina mengencangkan zirahnya. Tangannya memegang erat tombak perak dengan panjang 3 meter. Dia berjalan menuju kuda.
"Aku juga akan bergerak sekarang. Aku tidak mau hanya berdiri melihat dari sini." Sabina berlalu. Wanita itu sudah memacu kudanya menembus kobaran api serta kabut yang mulai menipis diikuti oleh hampir semua pasukan Kesultanan Ammariz.
"Ah, pada akhirnya aku akan tetap melihat darah." Abyad menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia juga berjalan menuju kudanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
rajes salam lubis
mantap
2022-09-23
0
Mei Shin Manalu
Lanjut
2021-03-22
1
Wiselovehope🌻 IG@wiselovehope
👍🤗❤️😊🔥 like, lanjutkan 👍🤗❤️😊🔥
2021-03-13
1