Guru Muda Yang Dipindahkan Ke Kota
Hujan yang Menyimpan Rahasia
Hujan tak berhenti sejak pagi.
Kamar Alva terasa lebih dingin dari biasanya, tapi bukan karena cuaca. Ada sesuatu di dalam dirinya yang beku—seperti tak berani bergerak.
Ia sudah menyiapkan materi pelajaran sejak subuh, tapi pikirannya terus berlabuh pada pertemuan kemarin. Wajah Bella. Kata-katanya. Tatapan Arhan yang tak seperti biasanya.
Alva
Apa aku terlalu masuk ke dalam hidup yang bukan milikku?
Di sekolah, Darra kembali hadir. Tapi ia tampak murung. Tak bicara. Tak tertawa. Bahkan tak mendekati Alva seperti biasa.
Saat istirahat, Alva memberanikan diri mendekat.
Alva
Darra, kamu baik-baik saja?
Gadis kecil itu diam sejenak, lalu mengangguk pelan.
Alva duduk di sampingnya, menunggu kalimat selanjutnya. Tapi yang muncul hanya air mata kecil yang ditahan Darra sekuat tenaga.
Darra
Dia bilang akan bawa aku ke kota. Tapi... aku nggak mau, Bu.
Alva
Kamu pernah cerita, kamu suka langit desa ini. Kenapa?
Darra
Karena... langit di sini enggak bohong. Kalau sedih, ya gelap. Kalau senang, ya cerah. Tapi langit kota... banyak lampu, Bu. Jadi langitnya enggak kelihatan.
Alva menelan ludah. Anak ini... mengucapkan hal yang begitu dewasa dengan cara yang begitu polos.
Alva
Kamu sudah bicara ke Papa kamu?
Sore itu, Alva memberanikan diri pergi ke bengkel Arhan. Hujan masih turun gerimis, membuat suara ketukan di atap terdengar seperti detak jantung yang tidak tenang.
Arhan sedang duduk di bangku kayu, memandangi hujan. Ia menoleh saat Alva datang, lalu berdiri pelan.
Alva
Aku tahu seharusnya aku tidak mencampuri urusanmu, tapi... aku khawatir soal Darra.
Arhan
Bella datang tiba-tiba. Katanya... ingin memperbaiki semuanya. Tapi setelah tiga tahun, semuanya tak bisa semudah itu.
Alva
Dara tidak ingin pergi.
Alva
Lalu kenapa kamu diam saja?
Arhan
Karena aku takut. Takut kalau aku memaksa Darra tetap di sini... nanti dia membenciku. Tapi aku juga takut kehilangannya. Lagi.
Alva berjalan mendekat, berdiri di hadapannya.
Alva
Kamu tidak harus kuat sendirian, Arhan. Darra butuh kamu. Tapi kamu juga butuh seseorang yang percaya kamu bisa melindunginya.
Tatapan mereka bertemu. Untuk pertama kalinya, mata Arhan terlihat seperti pecah—retak-retak oleh rasa lelah yang tak pernah diucapkan.
Alva menunduk, hampir pergi, ketika Arhan berkata lirih..
Arhan
Kamu datang saat semua sedang kacau. Tapi kamu justru jadi satu-satunya hal yang terasa utuh.
Alva terdiam. Hujan terus menari di atas atap seng. Tapi dalam dada mereka berdua, badai justru mulai reda.
Malam itu, Darra mengetuk pintu rumah Alva.
Darra
Ibu... boleh aku tidur di sini malam ini?
Alva hanya mengangguk dan memeluknya erat.
Dan untuk pertama kalinya, meski dunia mereka belum sempurna, satu hal terasa jelas:
Mereka sudah menjadi rumah bagi satu sama lain.
Comments