Di Antara Kayu dan Kenangan

Pagi hari di Desa Rengganis membawa semilir angin dan aroma kayu bakar. Alva mulai terbiasa dengan ritme hidup yang pelan tapi penuh makna. Pagi tak lagi hanya soal tergesa, dan sore tak lagi hanya menunggu malam.
Hari ini adalah hari Sabtu—tidak ada sekolah. Alva memutuskan untuk berjalan-jalan ke pasar desa yang hanya buka dua kali seminggu. Ia membawa tas kain dan senyum kecil, menikmati hiruk pikuk sederhana yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti ini.
Namun langkahnya berhenti ketika melihat satu lapak kecil yang mencuri perhatian.
Ada banyak mainan kayu terpajang di situ: kuda-kudaan, boneka orang-orangan, mobil-mobilan, bahkan puzzle sederhana. Di belakang lapak, Arhan sedang memahat kayu dengan serius, tanpa memperhatikan siapa pun yang lewat.
Alva menatap kagum.
Alva
Alva
Jadi... selain bisa memperbaiki sepeda, kamu juga seniman
Arhan menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke pekerjaannya.
Arhan
Arhan
Seniman tidak makan dari hasil ini. Saya hanya tukang kayu. Pesanan kadang ada, kadang tidak.
Alva
Alva
Tapi kamu tidak terlihat seperti orang yang kehabisan semangat.
Arhan
Arhan
Semangat dan diam bukan hal yang bertentangan, Bu Guru.
Alva
Alva
Alva
Alva
Alva
Di luar sekolah, panggil saja Alva.
Alva tak menjawab, tapi senyumnya samar muncul, seperti kayu yang disentuh sinar matahari pagi.
Alva mengambil salah satu mainan dari meja: boneka kuda kecil, diukir halus. Ia memperhatikannya.
Alva
Alva
Darra pernah cerita tentang mainan ini. Katanya... Mamanya dulu suka mengayunkannya di tangan Darta sambil menyanyi.
Arhan
Arhan
Iya. Waktu istriku masih hidup, kami buat mainan ini bersama. Dia suka menyanyi, aku yang ukir. Sekarang aku hanya mengukir. Tapi kadang... aku dengar suara nyanyiannya di kepala.
Ada keheningan yang tidak janggal. Justru nyaman. Alva duduk di bangku kayu di samping meja kerjanya, memperhatikan gerak tangan Arhan memahat.
Alva
Alva
Aku pernah kehilangan juga.
Alva
Alva
Tapi bukan karena mati. Karena pergi dengan perempuan lain.
Arhan
Arhan
Dulu aku pikir... kalau aku lebih sabar, mungkin dia tak pergi. Tapi sekarang aku tahu, orang yang mencintaimu tak akan butuh alasan untuk tinggal.
Arhan menatapnya lama, seolah sedang membaca huruf-huruf sunyi di balik matanya.
Arhan
Arhan
Kamu kuat
Alva
Alva
Tidak
Alva
Alva
Aku rapuh. Tapi aku belajar membenahi diri sendiri setiap pagi.
Arhan
Arhan
Mungkin... kita berdua sedang belajar hal yang sama.
Sore itu, Alva membawa pulang satu boneka kayu kuda kecil. Arhan menolak dibayar.
Arhan
Arhan
Anggap saja ucapan terima kasih
Arhan
Arhan
Untuk Darra dan untukmu.
Di rumah, Alva meletakkan boneka itu di atas meja kerjanya. Ia duduk, lalu mulai menulis lagi di buku catatannya.
Alva
Alva
Hari ini, aku belajar: tidak semua orang diam karena tak peduli. Kadang, diam justru adalah bentuk rasa yang paling tulus. Seperti ukiran kayu—ia tak bersuara, tapi menyimpan cerita di setiap guratannya.
Saat ia menutup buku itu, suara ketukan pelan terdengar dari luar.
Ketika dibuka, ternyata Darra berdiri di sana. Di tangannya ada sekotak kecil kue talam buatan neneknya.
Darra
Darra
Bu Ayla... ini buat Ibu.
Alva
Alva
Terima kasih, Sayang.
Darra
Darra
Boleh aku duduk di sini sebentar?
Alva
Alva
Tentu. Kamu boleh datang kapan saja.
Darra tersenyum tipis, lalu duduk di anak tangga teras. Dan untuk pertama kalinya, Alva merasa... rumah itu benar-benar terasa seperti rumah.
Terpopuler

Comments

aratanihanan

aratanihanan

Tidak terlupakan

2025-06-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!