Guru Muda Yang Dipindahkan Ke Kota
Suara di Balik Pintu Sekolah
Pagi pertama Alva sebagai guru di SD Rengganis dimulai dengan suara kokok ayam dan aroma teh jahe yang diseduh Bu Lestari—tetangganya yang ramah. Jalan menuju sekolah hanya sejauh dua tikungan dari rumah dinas, melewati jembatan bambu kecil dan barisan pohon pisang yang daunnya menari-nari diterpa angin.
Alva berdiri di depan kelas 2B. Napasnya tertahan sebentar, seperti saat panggung baru dibuka dan semua lampu menyorot padanya.
Alva
Selamat pagi anak-anak
ucap Alva sambil membuka pintu
anak-anak
Selamat pagiii, Bu Guru
Serempak anak-anak menjawab dengan suara lantang. Beberapa dari mereka tertawa kecil melihat Alva yang cantik dan asing, ada pula yang malu-malu menunduk.
Dan di bangku tengah, duduk Darra. Ia menatap Alva lekat-lekat—tidak seperti anak-anak lain yang sibuk dengan buku dan suara teman. Tatapan itu membuat Ayla tersenyum, meskipun ada sesuatu dalam tatapan Dara yang lebih dewasa dari usianya.
Alva
Nama Ibu Alva. Mulai hari ini, Ibu akan jadi wali kelas kalian, ya?
Waktu berjalan cepat. Ayla mulai mengenal satu per satu muridnya: Nia yang cerewet, Fadil si pengkhayal, Wawan yang gemar menggambar pohon di semua tugas menulis, dan tentu saja Darra—anak yang pendiam tapi selalu mengerjakan tugas paling cepat.
Di sela-sela mengajar, Alva memperhatikan Darra. Anak itu tak pernah bermain dengan teman-temannya saat istirahat. Ia lebih sering duduk di dekat jendela, membaca buku dongeng bekas yang lusuh. Namun, di akhir pelajaran, Darra selalu menunggu Alva membereskan buku di meja.
Darra
Kalau orang tua udah nggak ada, tapi teman juga nggak ada... itu artinya kita sendiri, ya?
Alva menoleh pelan. Pertanyaan itu tak seperti datang dari anak enam tahun. Ia merunduk, lalu duduk di samping Darra.
Alva
Kalau kamu merasa sendiri… berarti kamu butuh teman.
Alva
Tapi teman itu bisa datang kalau kamu membuka hati dulu. Pelan-pelan.
Darra mengangguk kecil, lalu menatap langit di luar jendela.
Darra
Aku suka Bu Guru. Kayak Mama, tapi lebih suka ketawa.
Kalimat itu menghantam dada Alva dengan hangat yang ganjil. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengelus rambut Darra dengan pelan.
Alva
Terima kasih. Aku juga suka kamu, Darra.
Sore itu, Alva memutuskan berjalan kaki pulang. Di tikungan dekat warung Pak Sanip, ia melihat sosok yang familiar: Arhan sedang memperbaiki sepeda Darra yang rantainya terlepas. Kemeja lengan panjangnya digulung, tangan penuh oli.
Ia tak menyadari kehadiran Alva hingga suara langkah perempuan itu mendekat.
Alva
Boleh bantu, Pak Montir
Arhan mendongak. Tatapannya sekilas seperti hendak menolak basa-basi, tapi detik berikutnya, ia menyerah dan tersenyum kecil.
Arhan
Kalau tahu cara pasang rantai sepeda, silakan.
Alva
Tidak. Tapi saya bisa ambilkan teh.
Arhan berdiri dan mengelap tangannya.
Arhan
Darra cerita soal Bu Alva. Katanya, Bu Guru baru itu suka cerita dan pintar bikin anak kecil ketawa.
Arhan
Kamu dengar langsung?
Arhan
Dara cerita sambil makan. Dan dia jarang banyak bicara kalau bukan soal mainan atau mamanya.
Sunyi sebentar. Lalu Arhan menatap Alva agak lama.
Arhan
Saya belum sempat bilang terima kasih… waktu itu
Alva
Tak perlu. Saya hanya duduk dan mendengar.
Alva
Itu cukup besar bagi Darra.
Alva
Kadang anak-anak hanya butuh satu orang dewasa yang tak terburu-buru menyuruh mereka diam.
Arhan tampak hendak berkata sesuatu lagi, tapi suara Darra terdengar dari kejauhan, memanggil ayahnya. Arhan menoleh, lalu berujar pelan.
Arhan
Kalau begitu, sampai jumpa, Bu Guru.
Alva hanya mengangguk. Tapi saat Arhan berjalan pergi, ia sempat menoleh sebentar
Arhan
Selamat datang di desa kami. Kadang keras, tapi juga kadang lembut. Kayak cuaca yang tak bisa ditebak.
Hari itu berakhir dengan langit jingga lagi—dan Alva menyadari, hari-harinya mulai terasa tidak sesepi yang ia kira.
Comments
Max_Jun♪~(´ε` )
Kayaknya harus kasih bintang lima deh buat cerita ini!
2025-06-13
0