Mendengar pujian itu, Citra tersipu tipis. Ia menggigit bibirnya yang halus dan dengan nada penuh sesal berujar, "Cantik apanya? Ada seseorang yang jarang mampir, bahkan saat ulang tahunku pun masih datang terlambat."
Menghadapi wanita manis dan menawan ini, secercah hasrat membuncah dalam diri Revan karena tatapan mata Citra yang membius dirinya. Namun dengan hati yang teguh Revan berhasil menekan gejolak liarnya, mengembalikan ketenangan. Ia pun berkata, "Aku tidak minum dan aku juga tidak pandai merangkai kata-kata yang membuat wanita senang. Lagipula aku jualan setiap hari dan memang tidak punya banyak waktu luang."
Citra menatap Revan dengan kesal, "Jangan bicara omong kosong begitu padaku. Jualan? Apa bagusnya jualan sate ayam? Meskipun kamu bekerja sampai mati, tidak akan menghasilkan banyak uang. Kalau kamu benar-benar ingin uang, kemarilah dan jadilah manajerku. Gaji yang akan kubayar padamu setiap bulan seratus kali lipat dari penghasilanmu jualan sate ayam!"
Revan tersenyum kecut dengan berkata, "Kak Citra, laki-laki biasanya tidak jadi manajer untuk mengurus hal-hal semacam itu."
"Sudah berapa kali kukatakan padamu, panggil aku Citra. Kenapa kamu selalu memanggil Kakak, Kakak, dan Kakak. Apa aku setua itu?"
Revan hanya bisa mengalah, "Baiklah Citra, aku salah. Hanya saja, aku agak menikmati gaya hidupku saat ini dan sementara waktu tidak berniat untuk mengganti pekerjaan."
Tidak mau menyerah, Citra juga berkata, "Kamu tidak perlu jadi manajerku kalau begitu, jadi pengawal pribadiku juga boleh kan? Atau aku bisa membiarkanmu menjadi kepala operasional kafe ini, aku juga jarang mengawasi tempat ini dan biasanya aku membiarkannya begitu saja."
Mendengar perkataan ini, Revan sedikit tersentuh. Tentu saja tahu wanita ini benar-benar peduli padanya, tapi ia punya pendirian sendiri. Sejak bertemu Citra, ia memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengannya.
"Sudahlah Citra, aku rasa jualan sate ayam lumayan bagus." Revan menunduk untuk minum airnya, enggan melanjutkan topik ini.
Melihat keras kepala Revan, Citra mengernyitkan dahi. Lalu dengan marah berbisik pada dirinya sendiri, "Lebih baik lagi, kalau kamu jadi milikku."
Meskipun kata-kata itu nyaris tidak terdengar oleh dirinya sendiri, tapi bagi Revan perkataan itu terdengar jelas. Namun Revan juga tahu, harus berpura-pura tidak mendengarnya.
Tidak peduli seberapa redup lampu di kafe itu, wajah dan fisik Citra tetap memancarkan pesona yang tidak tertahankan. Sejak Citra muncul, bahkan ketika beberapa orang memperhatikannya, mereka hanya berani melirik sekali sebelum mengalihkan pandangan. Bahkan beberapa pelanggan baru yang penasaran, bertanya kepada pelanggan di sekitarnya siapa Citra. Dia hanya mendapat satu jawaban, "teguk saja minumanmu dan jangan cari masalah."
Merasa sedikit kalah, Citra berjalan ke sisi lain konter. Ia duduk di samping Revan, pertama menuangkan segelas wiski untuk dirinya sendiri, lalu menuangkan segelas lagi untuk Revan. Ia memutar matanya sambil mencibir, "Dasar keras kepala, aku tahu kamu tangguh. Tidak masalah jika kamu tidak mau tinggal di sisiku, tapi hari ini ulang tahunku. Bisakah kamu membuat pengecualian dan minum segelas minuman beralkohol?"’
Revan ragu sejenak, sebenarnya bukan karena tidak bisa minum. Hanya saja setiap kali ia minum, alkohol akan menyebabkan kekacauan pada jiwanya. Ada terlalu banyak hal yang tidak ingin diingat, itulah sebabnya ia perlu ketenangan. Oleh karena itu, baginya alkohol adalah racun.
"Baiklah, tapi hanya satu gelas." Dengan sedikit rasa bersalah, Revan tidak ingin mengecewakan Citra sepenuhnya dan memutuskan untuk menerima. Dalam hati ia diam-diam berharap tidak akan terjadi apa-apa, karena ini hanya segelas kecil.
Benar saja, Citra tersenyum senang. Senyum itu mirip melihat salju untuk pertama kalinya. Di bawah cahaya redup wajahnya bersinar, menatap mata Revan sampai membuat jantungnya bergetar lagi.
"Bersulang."
Setelah membenturkan gelas, Revan mengangkat kepalanya dan menenggak cairan dingin itu tanpa ragu sedikit pun.
Citra terkekeh sambil mencondongkan tubuh ke depan dan menekan tubuhnya ke dada Revan. Ia lalu berkata dengan melankolis, "Tahukah kamu, sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali aku merayakan ulang tahunku. Meskipun tidak ada kue, tidak ada lilin, tidak ada hadiah, bahkan tidak ada pesta. Ada pria yang tidak romantis sepertimu menemaniku minum, aku merasa sangat puas."
Fisik wanita ini terlihat sempurna dari sudut mana pun dan membuat pria mana pun meneteskan air liur. Pada saat ini, Revan merasakan dengan jelas dua gumpalan lembut menekan pahanya, mengelusnya dengan lembut sampai membawa sensasi yang merangsang.
Sedikit menunduk, ia bisa melihat belahan kebaya Citra dan kulit putih mulus seperti porselen yang cukup terlihat. Di bawah pergelangan kakinya yang indah, ada sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah menyala.
Stimulasi visual yang kuat beserta godaan yang sengit, membangkitkan hormon pria dalam diri Revan. Tepat saat ia berusaha sekuat tenaga menekan reaksi tubuhnya, Citra akhirnya berdiri dengan memberinya senyum licik. Seolah-olah ia adalah rubah yang berhasil dalam rencananya, "Itu bagus Revan, sepertinya 'joni-mu' sangat perkasa ya."
Revan memaksakan senyum, tentu saja tahu apa yang dimaksud Citra. Wanita ini, benar-benar mengintipnya saat mereka berdekatan tadi.
"Aku lihat kamu sudah tidak sabar duduk di sini, aku akan pergi menghibur pelanggan lain. Kalau kamu tidak mau berlama-lama di sini, kamu boleh pergi." Citra meninggalkan tempat duduknya dengan luwes dan berjalan menuju pelanggan lain.
Pelanggan kafe sudah lama tahu bahwa bos wanita kafe itu sangat menawan, namun mereka tidak berani bersikap tidak sopan. Ini karena mereka mendapat informasi, kalau latar belakang wanita itu sama sekali tidak sederhana. Akibatnya, Citra dengan mudah menyapa pelanggannya.
Faktanya, wajah Citra memancarkan senyum penuh gairah. Pembawaan yang luar biasa itu cukup untuk membuat sebagian besar pria merasa terintimidasi, sehingga mereka hanya bisa melihat dari jauh. Juga mereka tidak ingin menunjukkan niat cabul apa pun, karena tidak ada yang berani mendapat penolakan.
Ketika Citra pergi, Revan menghela napas lega. Pada saat yang sama, ia diam-diam mencemooh dirinya sendiri. Selama setengah tahun terakhir sejak kembali ke negara ini, ia tampaknya telah banyak berubah.
Jika itu Revan yang dulu dalam menghadapi wanita mempesona seperti Citra yang memiliki perasaan padanya, bahkan tidak perlu merayunya. Ia pasti sudah melemparkannya ke tempat tidur sejak lama, tanpa memedulikan konsekuensi apa pun. Toh setelah selesai, ia bisa saja pergi begitu saja. Namun ia tidak bisa melakukan itu sekarang, terutama kepada Citra yang bisa dibilang salah satu teman pertamanya di Jakarta dan baginya dalam hati Citra memiliki arti penting.
Meskipun Revan hanya minum sedikit, alkohol sudah mulai memengaruhi pikirannya. Ia merasa bahwa hasratnya akan alkohol sudah terbangkitkan, namun tidak berani untuk minum berlebihan. Rasa sakit akibat mengingat hal-hal yang tidak diinginkan setelah minum adalah sesuatu yang hanya ia sendiri yang mengerti.
Ketika melihat tubuh bagian bawahnya masih tegang, Revan merasa perlu melampiaskan emosi yang terpendam. Kalau tidak, si joni akan tercekik sampai mati. Tapi tentu saja, bukan kepada Citra ia akan melakukannya. Begitu mereka memiliki hubungan itu, akan sulit baginya untuk pergi.
Setelah minum segelas air, Revan diam-diam meninggalkan Kafe Citra. Saat ia pergi, ada perasaan kecewa pada Citra yang diam-diam telah mengawasinya. Di luar kafe, Revan melihat sekeliling sebelum akhirnya berjalan menuju sebuah kafe kecil di dekatnya. Mungkin ada banyak buruan di kafe-kafe kelas atas, tapi uang di dompet Revan tidak akan cukup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 246 Episodes
Comments