Matahari mulai meninggi di luar sana, tapi keadaan dalam kamar yang Hania tempati masih sama. Tak ada celah sedikit pun untuk cahaya dari luar masuk. Hania masih terduduk di atas ranjang dengan tangan dan kakinya dirantai. Pergerakan Hania sangat terbatas, ke kemar mandi pun hanya saat suster Fira masih di sana. Rantai yang membelenggu Hania tidak sepenuhnya dilepas, hanya dilonggarkan lebih panjang, agar menjangkau kamar mandi.
Tubuh wanita itu menyandar pelan pada headboard ranjang. Ia mendongak, menatap kotak kipas penghisap yang menjadi ventilasi udara di kamar tertutup itu. Hania memiringkan kepala, menatap fan board dari plastik. Benda kotak dengan garis-garis mirip pagar yang melindungi baling-baling kipas itu sepertinya bisa dilepas dengan mudah. Ukurannya kipas hisap itu juga cukup besar. Hania bisa dengan mudah menyelinap jika dia bisa naik ke atas dan lepaskan baling-baling kipas.
Pandangan Hania beralih, melihat ke sekelilingnya. Mencari benda yang bisa ia gunakan untuk naik. Rencana untuk kabur dari mansion itu sudah tersusun rapi dalam benak Hania. Dia harus bisa kabur, harus.
"Ck ...." Hania berdecak, saat sadar besi dingin masih membelenggu dirinya, dingin seperti kenyataan yang mulai ia sadari.
Suara handel pintu yang diputar dari luar mengalihkan perhatian wanita itu. Matanya melebar saat melihat seorang wanita cantik dan anggun masuk. Melangkah mendekat dengan senyum manis, wanita itu duduk di kursi di samping ranjang. Wajahnya lembut, cantik, dengan sorot mata sendu. Gaun elegan yang Hania yakin berharga jutaan menutupi tubuh rampingnya. Rambutnya terurai bergelombang, seperti ombak yang membingkai pantai. Wanita itu seolah tak cocok dengan dunia gila tempat Hania terjebak.
“Jangan takut... Aku tidak akan menyakitimu,” ucap wanita itu pelan, melihat Hania yang sangat waspada dengan kehadirannya.
Hania tak acuh, ia malah langsung memberingsut mundur, berusaha menghindari, menjauh. Seketika suara rantai yang mengekangnya berbunyi nyaring, pada setiap gerakan Hania.
“Kau... pasti bagian dari orang-orang gila ini!” teriak Hania, napas tersengal, mata liar mencari celah kabur. Dia tidak bisa percaya pada siapapun di tempat gila itu.
Wanita itu menghela napas. Wajah cantik itu menunduk lesu, rautnya jelas menyiratkan rasa bersalah.
"Namamu Hania kan?" suara lembut itu bertanya lirih, dengan senyum tulus yang tak lepas.
Hania tidak menjawab. Untuk apa bertanya lag, jelas dia tahu siapa Hania. Nama, kota asal, umur, semua itu sudah mereka ketahui. Untuk apa basa-basi. Tangan wanita itu terulur, menyentuh memegang Hania. Menggenggam dengan erat, menahan, karena Hania berusaha lepaskan tangannya.
"Aku ingin minta tolong padamu Hania,” ucap wanita itu.
"Aku mohon tolong aku ...." Wanita cantik itu menjeda ucapannya, menarik nafas dalam dan berat.
"Aku... tidak bisa punya anak ... Aku sempat hamil tapi kecelakaan yang aku alami bersama suamiku. Membuatku kehilangan calon bayi kami .... Dan rahimku harus diangkat, aku cacat Hania.”
Ia menunduk, air matanya mulai mengalir membasahi pipi yang putih mulus seperti boneka porselin. Bahkan nyamuk pasti akan terpeleset jika hinggap di sana.
"Jadi ... Kamu? ... Dan Tuan yang koma itu?"
Wanita itu mengangguk pelan, melepaskan tangan Hania untuk mengusap air matanya.
"Namaku Audy, aku adalah istri dari laki-laki yang sekarang terbaring koma itu. Aku dan suamiku mengalami kecelakaan saat kami ingin merayakan kehamilanku, sebuah anugrah yang kami nanti setelah bertahun-tahun .... Tapi semua lenyap dalam sekejap." Wanita itu terisak semakin pilu.
"Dan mertuaku .... Ibu Brivan, mereka mengancam akan menceraikan aku dan suamiku, kalau kami tak kunjung punya anak.... aku sudah sangat senang akhirnya bisa memberikan apa yang mereka inginkan keturunan untuk keluarga Mahendra... Mereka sudah tahu jika aku hamil. Hania ... Tapi sekarang aku harus bagaimana?" Wanita itu meringkuk, bahunya bergetar hebat.
Hania terdiam, tertegun bingung. Dia seperti berdiri di persimpangan akal sehatnya. Antara harga diri, ego dan empati.
"Sebagai sesama wanita aku yakin kau tahu deritaku .... Aku sangat mencintai suamiku, perjalanan kami pun tak mudah. Maaf jika cara para pekerja ku salah, mereka hanya terlalu sayang dan ingin yang terbaik."
Hania masih diam, enggan untuk bicara. Audy mengambil nafas pelan, mencoba meredam emosi yang bergejolak.
"Hania ..."
"Aku ingin... menyewa rahimmu. Agar aku dan suamiku bisa tetap bersama. Aku mohon padamu, sebagai sesama wanita... tolonglah aku.” Suaranya gemetar, air matanya kembali tumpah meski Audy mencoba menahan.
“Kau bisa minta apapun. Uang, fasilitas, apapun... asalkan kau mau membantu aku.”
Ruangan hening. Hanya suara detak jam yang terdengar. Hania menatap mata wanita itu. Jelas, ia tidak sedang berhadapan dengan penjahat. Tapi juga bukan malaikat. Audy ... adalah wanita yang tengah mempertahankan cintanya—dengan cara yang sangat egois. Audy tersenyum getir saat melihat wajah Hania yang tanpa ekspresi menatapnya. Wanita itu seolah tidak mendengar rintih san sakit yang ia ungkapkan.
"Aku akan memberikan mu waktu untuk berpikir. “Maaf... mungkin cara mereka menyampaikan semuanya salah. Tapi berjanjilah kau tidak akan kabur, maka aku akan menyuruh mereka melepas rantai mu. Kau pasti kesakitan… Maaf. Aku akan menegur mereka.”
Hania masih diam. Sorot matanya masih penuh curiga, tapi tubuhnya kelelahan, dan tentu ingin melepaskan rantai sialan itu. Ia pun mengangguk perlahan.
Audy tersenyum. Menoleh pada pintu kamar yang tertutup rapat.
"Kalian masuklah, lepaskan ikatan Hania."
Tak lama Pintu kamar terbuka. Dua penjaga masuk dan membuka rantai di tangan dan kaki Hania. Hania menatap tajam dua pria itu, mereka adalah orang yang sama yang menyeret Hania ke kamar neraka ini. Setelah menyelesaikan tugasnya mereka lalu mundur ke luar ruangan.
"Aku pergi, beristirahatlah. Dan pikirkan apa aku katakan. Waktumu sampai matahari terbit besok pagi, Hania." Audy bangkit, tersenyum samar dan hendak pergi. Namun baru dua langkah ia berjalan.
Suara Hania menghentikannya. “Jika memang kamu menginginkan anak dari rahimku...”
Hania menatap tajam punggung wanita cantik itu.
“...maka harganya bukan cuma uang.”
Audy menoleh. Terdiam dengan alis hampir menyatu.
“Tapi juga... nama belakang suamimu.” Hania menatapnya lurus, dengan seringai tipis di bibirnya yang terluka. Wajahnya Tegas. Tak ada getar ragu sedikit pun.
“Kalau aku harus mengandung anak dari suamimu, maka aku juga harus dihormati sebagai istrinya. Setidaknya di atas kertas.”
Tatapan Audy berubah. Lembut yang tadi mengisi wajahnya, berubah jadi tajam dan penuh bara. Rahangnya mengeras. Kakinya mengayun tegas menghampiri Hania.
“Kau gila...” bisiknya, nyaris tak terdengar. Tapi penuh penekanan.
Tapi Hania tidak mundur. Ia justru menegakkan tubuh, meski luka di tubuhnya masih berdenyut. Wanita yang keadaannya tidak baik-baik saja itu tersenyum, seolah meremehkan Audy.
"Mungkin. Tapi kau juga sama gilanya denganku. Nyonya Audy. Jadi kita sama. Anda mengajukan penawaran dan saya juga menawarkan kondisi yang akan sama-sama menguntungkan. Waktu Anda sama, sampai matahari terbit besok."
Tangan Audy mengepal kuat. Ia melengos dan pergi begitu saja membawa amarah keluar dari kamar itu. Hania mendesah, wanita itu tertawa getir.
"Apa yang baru saja kau lakukan Hania? Kamu mau jadi wanita ke dua ... hahahaha ... menggelikan." Tawa Hania menggema keras, seiring air mata yang mulai turun dari sudut matanya. aku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Afiq Ditya
Ngerti banget sma perasaan Audy,dia hanya ingin mempertahankan pernikahannya hanya z caranya sangat egois,,
Hania pasti kalut dengan penawaran yg diberikan sma Audy, tapi sebagai perempuan kamu emang harus punya harga diri Hania,seenggaknya kamu gak berniat menyewakan rahimmu karena kamu akan mengandung anak suami kamu meski hanya diatas kertas,,,
2025-06-18
3
Anie Nhie
Tanda Tanya deh sebenarnya Nyonya Audy itu baik tw jahat,karena dr cara anak buahnya memperlakukan Hania,mulai dr kepala pelayan, dokter dan pengawal,mereka bener² gak punya hati, dan Nyonya Audy lah bos nya,,
ngasih penawaran ke Hania tiba² dikasih persyaratan sma Hania,, hmm,, gimana jawaban Nyonya Audy nanti ya??
2025-06-18
3
Sahidah Sari
bagus Hania jgn mau di jadikan ibu pengganti tanpa ada ikatan pernikahan, enak banget sewa rahim,di kira Hania ga rugi apa klu terima gitu aja tanpa ada ikatan,,apa Audy bisa menjamin Hania akan mendapatkan orang yg mau menerima dia dengan kondisi dia sdh melahirkan nanti.
2025-06-18
2