Bab 5 : Jejak di Balik Nama

Hujan belum juga reda sejak kemarin malam, seolah langit belum selesai menangisi segala yang tersembunyi di balik wajah keluarga besar Dirgantara.

Arumi duduk di sudut ruang baca, di antara tumpukan dokumen yang Saka kirim pagi itu. Matanya sembab, tapi fokus. Ada satu nama yang terus berulang dalam setiap transaksi mencurigakan—Nadine Adamartha.

Nama yang selama ini hanya muncul sekilas di cerita-cerita Damian. Nama yang sekarang berubah menjadi teka-teki baru.

“Dia ibu kandung Adam,” gumam Arumi, lebih pada dirinya sendiri. “Tapi kenapa semua rekening itu atas nama dia? Kenapa semua aliran dana mengarah ke perusahaan kosong?”

Langkah pelan terdengar dari arah pintu. Damian masuk, membawa dua gelas kopi.

“Kopi pahit. Kamu suka yang kayak gini, kan?” tanyanya sambil menyerahkan salah satunya.

Arumi tersenyum kecil. “Terima kasih.”

Mereka duduk bersebelahan. Tidak terlalu dekat, tapi tidak juga jauh. Canggung, tapi ada rasa nyaman yang tidak mereka sangka sebelumnya.

“Arumi,” Damian membuka suara pelan. “Apa kamu percaya... bahwa semua yang terjadi ini dirancang dari awal?”

Arumi mengangguk pelan. “Aku nggak bisa lagi bilang ini kebetulan. Semua terlalu rapi, terlalu tertutup... dan terlalu banyak yang diam.”

Damian menatap meja di depannya, lalu berkata, “Aku ingat dulu Rose pernah bilang, dia curiga seseorang menyadap ponselnya. Tapi aku anggap itu cuma paranoia.”

“Kamu pikir itu bisa jadi awal semuanya?” tanya Arumi pelan.

Damian tak menjawab. Tapi tatapannya cukup menjelaskan—ia sedang menyusun potongan puzzle di kepalanya, satu demi satu.

---

Di sisi lain kota, Saka sedang duduk di dalam mobilnya, menunggu seseorang.

Ia mengamati gedung kecil bertingkat dua di depannya—sebuah kantor akuntan yang nyaris tak pernah terdengar namanya, tapi ternyata punya jejak transaksi yang terhubung ke rekening Nadine.

Seseorang keluar dari gedung itu—seorang wanita muda dengan rambut dicepol rapi dan wajah tegang. Saka langsung turun dan menghampirinya.

“Maaf, saya ingin bicara soal laporan keuangan atas nama Nadine Adamartha,” ujarnya cepat, menunjukkan kartu identitas yang disamarkan.

Wanita itu menatapnya curiga. “Saya sudah diminta tutup mulut soal itu.”

“Kalau kamu masih punya hati nurani,” potong Saka. “Kamu harus tahu, ini soal pembunuhan.”

Wanita itu terdiam sejenak. Lalu menghela napas.

“Dia pakai nama samaran. Semua transaksi yang saya tangani atas nama ‘N. Amara’. Tapi saya tahu itu dia. Karena waktu itu, dia sendiri yang datang.”

“Untuk apa?”

“Membuka rekening offshore. Dan memindahkan dana dari beberapa yayasan yang katanya milik anaknya.”

“Rose?” tanya Saka cepat.

Wanita itu menggeleng. “Nggak. Nama anak itu... Raka.”

Saka mematung. Nama itu asing. Tapi instingnya bilang, ini bukan detail sepele.

---

Malamnya, Arumi dan Damian kembali duduk di balkon.

Angin malam membawa aroma tanah basah. Damian membuka ponsel dan menunjukkan sesuatu.

“Saka kirim info baru. Ada anak bernama Raka yang dibiayai diam-diam oleh Nadine. Semua data identitasnya palsu. Tapi dia tinggal di Bandung.”

Arumi menyipitkan mata. “Jangan-jangan dia... saksi?”

“Atau bagian dari permainan ini,” Damian menimpali.

Sunyi beberapa saat. Lalu Arumi bertanya, “Kamu percaya aku bisa bantu kamu, kan?”

Damian menoleh. “Dulu nggak. Sekarang… aku nggak tahu kenapa, tapi aku ngerasa, kamu satu-satunya orang yang bikin aku tetap waras.”

Arumi menunduk. Hatinya berdesir, tapi ia terlalu takut untuk memberi ruang pada harapan.

“Aku juga nggak ngerti kamu,” ujarnya pelan. “Tapi setiap kali kamu sakit... aku ikut sakit.”

Damian menggenggam tangan Arumi. Sekilas. Tapi cukup untuk membuat dada mereka sesak tanpa kata.

---

Keesokan harinya, Damian memutuskan pergi ke Bandung.

Saka sudah menyiapkan semua rute dan alamat. Tapi sebelum berangkat, Damian berdiri di depan kamar Rose. Lama. Diam.

Arumi menghampirinya.

“Kamu nggak akan sendiri,” katanya.

Damian menoleh. “Kamu mau ikut?”

“Bukan karena aku penasaran. Tapi karena aku tahu, kamu butuh tahu semuanya. Dan aku nggak mau kamu hancur sendirian.”

Damian tak menjawab. Tapi akhirnya ia mengangguk.

Perjalanan ke Bandung ditemani hujan gerimis dan keheningan yang ganjil. Di dalam mobil, mereka hanya sesekali bertukar pandang. Tidak banyak bicara, tapi keduanya tahu, hari ini bisa mengubah segalanya.

Sesampainya di alamat yang dituju—sebuah rumah kecil di pinggiran kota—Damian turun lebih dulu. Arumi menyusul.

Pintu rumah dibuka oleh seorang wanita tua. Rambutnya memutih, tapi wajahnya tajam.

“Cari siapa?” tanyanya dingin.

“Kami mencari seseorang bernama Raka. Kami diberitahu dia tinggal di sini.”

Wanita itu diam sesaat. Lalu berkata pelan, “Kalian telat.”

“Telat?” tanya Damian, langkahnya maju.

“Anak itu... sudah menghilang sejak dua minggu lalu. Tapi sebelum pergi, dia tinggalkan ini.” Ia menyerahkan sebuah kotak kayu kecil.

Damian membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, ada flashdisk. Dan secarik kertas bertuliskan tangan:

“Kalau kalian menemukan ini... berarti aku sudah bukan bagian dari permainan mereka lagi. Kebenaran ada di dalam.”

Damian dan Arumi saling pandang.

Sesuatu akan terbuka. Sesuatu yang tak bisa lagi ditarik mundur.

---------

Malam itu, mereka kembali ke penginapan dengan hati berat. Damian duduk di depan laptop, flashdisk itu sudah terpasang, tapi jari-jarinya ragu menekan tombol.

Arumi duduk di sampingnya, menyentuh lengannya pelan. “Kalau kamu nggak siap, kita bisa tunggu besok pagi.”

Damian menggeleng. “Aku harus tahu malam ini.”

Dengan satu klik, folder di dalam flashdisk terbuka. Ada tiga file video, satu file audio, dan beberapa dokumen PDF.

Mereka mulai dengan file video pertama.

Ternyata isinya adalah rekaman Raka, duduk di sebuah ruangan kecil yang terlihat seperti kamar kos. Wajahnya pucat, suara gemetar.

"Kalau kalian nonton ini, berarti aku sudah pergi... atau dipaksa hilang. Aku cuma anak yatim yang kebetulan tahu terlalu banyak. Aku pernah kerja magang di yayasan milik Nadine Adamartha. Kupikir itu cuma yayasan biasa, tapi ternyata mereka pakai nama yayasan itu buat nyalurin dana ilegal. Aku nemu satu file penting. Dan waktu Rose tahu, dia datang nyari aku. Dia bilang dia bisa bantu aku keluar dari semua ini. Tapi... dia keburu mati."

Arumi menahan napas. Damian mengepalkan tangan.

Video kedua memperlihatkan rekaman CCTV dari dalam kantor. Terlihat Nadine sedang bicara dengan dua pria. Suaranya tidak terdengar, tapi ekspresinya cukup jelas: ancaman.

Damian langsung mengenali salah satu pria itu.

"Itu... kepala keuangan perusahaan ayah Adam. Dia orang dalam."

Video ketiga hanyalah rekaman pendek: Rose. Ia berdiri di depan kaca, merekam dirinya sendiri.

"Kalau aku nggak sempat cerita semuanya ke Damian, tolong sampaikan... aku tahu siapa yang bunuhku. Tapi aku butuh bukti. Aku tahu Nadine terlibat. Aku tahu ada orang dalam yang tutupi semuanya. Kalau aku nggak bisa kembali, tolong lindungi Raka. Dia saksi terakhir."

Damian menutup laptop. Matanya berkaca-kaca.

“Dia tahu. Dan aku terlalu sibuk benci kamu sampai aku nggak denger dia,” bisiknya.

Arumi memeluknya. Tanpa kata. Karena malam itu bukan lagi soal jawaban. Tapi tentang kehilangan yang tak bisa ditebus.

Di luar, hujan masih turun. Seperti langit yang belum rela menghapus jejak sang adik.

Besok, mereka akan kembali ke Jakarta. Dengan bukti. Dengan kebenaran. Dan dengan luka baru yang harus mereka bawa bersama.

Bagaimana kelanjutan ceritanya yukk ikutin teruss

Jangan lupa like dan komen yaaa

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!