Pagi itu, langit Jakarta mendung, seolah ikut merasakan beban yang menggelayuti hati dua insan di rumah megah keluarga Dirgantara.
Arumi berdiri di balkon kamarnya, menatap kosong ke arah taman. Helaan napasnya berat, seperti menyimpan ribuan kata yang tertahan. Di tangannya, secangkir teh mulai dingin. Semalam, Damian tidak lagi membentaknya. Tidak pula mencibir. Tapi diamnya—justru lebih menyakitkan.
Ia mulai merasa bingung. Apakah ia mulai berharap pada seseorang yang seharusnya membencinya? Atau... apakah hatinya mulai berubah tanpa sadar?
“Kenapa kamu bengong di sini?” Damian muncul tiba-tiba, masih dengan suara khasnya yang rendah dan datar, tapi kali ini tanpa nada menyerang.
Arumi terkejut, tapi ia cepat menguasai diri. “Hanya menikmati pagi.”
Damian mendekat dan bersandar di pagar balkon, beberapa inci dari tempat Arumi berdiri.
“Lucu ya. Seharusnya aku benci lihat kamu tenang seperti ini, tapi…” ia terdiam, menahan sesuatu di ujung lidahnya. “Lupakan.”
Arumi menoleh pelan. “Tapi apa?”
Damian menggeleng. “Nggak penting.”
Untuk pertama kalinya, keheningan di antara mereka tidak terasa seperti jurang. Justru seperti jembatan yang belum selesai dibangun. Arumi memberanikan diri.
“Aku mimpi tentang Rose tadi malam.”
Damian langsung menoleh. Matanya menajam. “Apa?”
“Dia bilang… dia ingin kamu berhenti menyalahkan dirimu sendiri.”
Damian tertawa hambar. “Kamu pikir aku percaya hal kayak gitu?”
“Tidak. Tapi aku hanya ingin kamu tahu... bahwa adikmu mencintaimu. Dan aku yakin, dia tidak ingin kamu hidup dalam kebencian terus-menerus.”
Damian terdiam. Wajahnya mengeras, tapi Arumi tahu, itu bukan karena marah. Itu karena hancur.
“Aku gagal melindungi dia,” bisiknya.
Arumi menggeleng pelan. “Kita berdua gagal. Tapi kita belum selesai.”
Di kantor, Saka semakin dalam menyelidiki keterlibatan keluarga Adam. Ia diam-diam menghubungi teman lamanya di kepolisian yang bersedia membantu asalkan identitasnya tidak dibuka. Mereka memeriksa ulang bukti-bukti lama, termasuk jejak digital dari ponsel Rose sebelum insiden.
“Ada satu panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Dilacak, ternyata sinyalnya berasal dari area dekat rumah keluarga Adam,” lapor Saka.
“Dan kamu yakin itu bukan kebetulan?” tanya Damian yang kini mulai ikut memperhatikan kasusnya, meski masih skeptis.
“Too convenient to be a coincidence,” jawab Saka singkat.
Damian memutar kursi kantornya, berpikir dalam.
“Lanjutkan. Tapi jangan sampai Arumi tahu soal ini dulu. Aku... belum siap lihat dia benar soal semuanya.”
Saka hanya mengangguk. Tapi ia tahu, Damian sedang berubah. Perlahan.
Sementara itu, Arumi mulai mencatat semua hal yang aneh selama ia tinggal di rumah itu—siapa yang mendekatinya, siapa yang mengawasi, bahkan pembantu baru yang muncul tiba-tiba minggu lalu.
Satu malam, saat hendak ke dapur, Arumi mendengar suara langkah pelan dari ruang bawah tanah—ruangan yang selama ini terkunci.
Perlahan, ia menuruni tangga dan menemukan pintu terbuka sedikit. Ada suara gumaman di dalam. Ia mendekat, lalu... suara langkah lain muncul dari belakang.
“Sedang ngapain kamu?”
Damian. Lagi-lagi muncul tanpa suara.
Arumi buru-buru berdiri tegak. “Aku dengar suara…”
“Jangan masuk ke ruangan itu. Itu tempat Rose menyimpan lukisannya,” ucap Damian pelan, tatapannya kosong menembus dinding.
“Oh…” Arumi mundur. “Maaf.”
Damian menatapnya. “Kamu nggak perlu minta maaf kalau niatmu cuma ingin tahu.”
“Kalau niatku lebih dari itu?”
“Seperti apa?”
Arumi menarik napas. “Seperti… mencari tahu siapa sebenarnya pembunuh Rose.”
Damian tak menjawab. Ia hanya menatap Arumi lama, seperti sedang menilai apakah yang ada di depannya adalah musuh... atau sekutu.
Tiga hari kemudian, sebuah undangan misterius datang ke meja resepsionis Dirgantara Company. Tanpa pengirim. Hanya tulisan tangan sederhana:
> “Jika kau ingin tahu siapa yang sebenarnya membunuh adikmu, datanglah ke rumah tua di Jalan Mawar, jam 8 malam. Jangan bawa siapa pun.”
Saka langsung mencurigai itu jebakan. Tapi Damian—entah karena rasa penasaran atau keputusasaan—memutuskan pergi.
Arumi mendesaknya agar tidak berangkat sendirian. Tapi Damian bersikeras.
“Aku harus hadapi ini sendiri.”
Malam itu, hujan turun deras. Damian tiba di rumah tua yang dimaksud. Gelap. Sunyi. Satu-satunya penerangan hanya lampu gantung yang berkedip di teras.
Ia masuk perlahan. Di dalam, kosong. Debu di mana-mana. Tapi ada satu foto tergantung di dinding. Foto Adam bersama orang tuanya.
Damian mendekat. Tiba-tiba, dari belakang…
DOR!
Sebuah tembakan nyasar ke dinding. Damian segera berlindung.
“Keluar! Siapa pun kamu!” teriaknya.
Tak ada jawaban. Hanya suara langkah cepat menjauh.
Damian mengejar ke luar, tapi sosok itu sudah menghilang. Di tanah, hanya ada satu benda tertinggal—sebuah liontin emas berinisial “N”.
-----
Keesokan harinya, Damian duduk di ruang kerjanya dengan tatapan kosong. Di tangan kirinya, liontin itu. Di tangan kanan, secangkir kopi yang tak disentuh.
Arumi datang membawa amplop besar. “Ini… file dari Saka. Tentang jejak transaksi keuangan keluarga Adam.”
Damian menoleh pelan. “Kamu tahu liontin ini punya siapa?”
Arumi mengamati benda itu, lalu wajahnya pucat.
“Itu… milik ibunya Adam. Aku pernah lihat dia memakainya waktu acara tunangan.”
Damian memejamkan mata.
“Berarti… mereka benar-benar pelakunya.”
Arumi hanya berdiri diam. Tapi air matanya jatuh pelan-pelan. Bukan karena kemenangan—tapi karena kebenaran itu terlalu pahit.
Malam itu, Damian duduk di kamar Rose. Di dinding, masih tergantung lukisan-lukisan buatan sang adik. Salah satunya lukisan yang belum selesai—potret dirinya dan Rose, berdiri di pinggir danau.
Arumi masuk diam-diam, lalu duduk di lantai, tak jauh darinya.
“Kamu belum tidur?” tanya Damian tanpa menoleh.
Arumi menggeleng. “Kamu juga belum.”
Damian menunduk. “Aku nggak pernah siap masuk kamar ini lagi. Tapi malam ini… aku butuh Rose.”
Arumi mendekat. “Dia akan selalu ada di sini,” ucapnya sambil menyentuh dada Damian perlahan.
Damian tak menepis. Hanya menatap Arumi dengan mata yang tidak lagi tajam, tapi lelah dan kehilangan.
“Kamu tahu, aku hampir bunuh diriku malam setelah dia meninggal.”
Arumi menutup mulutnya, terkejut.
Damian tertawa pahit. “Tapi aku terlalu pengecut untuk mati. Jadinya aku hidup... menyiksa orang lain. Termasuk kamu.”
Arumi mendekapnya, tanpa kata. Hanya pelukan yang perlahan meruntuhkan tembok kebencian di hati pria itu.
“Kalau kamu mau mulai dari awal,” bisik Arumi. “Aku nggak akan lari.”
Damian tidak menjawab, tapi pelukannya menguat. Dan untuk pertama kalinya, tangisnya pecah.
Bukan karena Rose. Tapi karena harapan yang mulai muncul… dari perempuan yang dulu ia benci.
Dan mungkin, di balik dendam yang belum selesai, cinta perlahan tumbuh.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments