MENCARI TAHU TENTAN DIA

 Sebelas hari pasca pertemuanku dengan lelaki bermantel basah di stasiun itu. Akupun memutuskan untuk menulis kisah tentangnya. Aku belum mengirimkan satu tulisanpun ke media sejak pulang kemarin. Dan satu-satunya cerita yang terbayang dibenakku adalah peristiwa di tengah hujan tempo waktu.

Sayangnya, belum sempat aku menyelesaikan halaman pertama, Abang kurir yang membawa paket berwarna hitam sebesar kardus indomie dengan tulisan tangan Daffa itu, cukup mengganggu konsentrasiku. Akupun segera membuka bungkusan besar itu tanpa ekspresi apapun.

Melihat kalender yang dipakai, aku yakin dia membungkusnya dirumahku. Karena ini kalender yang dipasang ibu dinding dapur, hadiah dari sebuah toko emas. Saat aku mulai memeriksa apakah ada pesan yang menyertai

paket itu, tiba-tiba ponselku berdering.

“Ayah.”

“Assalamualaikum, Yah..”

“Pisangnya dipaketkan sama Daffa, tapi udah dalam bentuk kripik. Sudah sampai apa belum?” tanya Ayah setelah menjawab salam.

“Ini baru sampai.” Aku mengapit ponsel dengan pundak, dan segera memeriksa isi paketan itu. Tidak ada pesan apapun. Baiklah aku tahu, ini bukan dari Daffa.

“Ibunya Daffa ‘kan menyipakan untukmu. Tapi malah nggak kamu bawa, gimana sih, Mhet?”

“Aku lupa, Yah.”

“Ya makanya Ayah nyuruh Daffa ngejar kamu ke stasiun, tapi kata Daffa kereta kamu sudah berangkat. Akhirnya Ayah nyuruh dia buat ngirim  paket itu ke kamu.”

Benar ‘kan? Paket itu bukan ide dari Daffa sendiri. Begitu bodohnya aku masih mengharap perhatian dari seekor Daffa. Huff. Aku memang suka kripik pisang bikinan ibunya. Dikampung kami hanya beliau yang bisa bikin kripik

pisang seenak itu, rasanya pas tidak terlalu manis dan gurih.

“Kalian ini bersama sejak kecil. Sama sekali nggak pernah ribut. Daffa juga selalu mengalah. Kalau sampai bertengkar dan Daffa enggan ketemu kamu, itu artinya ada hal serius diantara kalian.”

“Ayah…” Seketika aku tercekat. Yang dibahas ayah bukan lagi tentang kripik pisang.

“Kalian ini kan sudah sama-sama dewasa.”

“Justru itu. Ayah dan ibu nggak bisa menganggap kami seperti anak kecil, yang apa-apa selalu seiya sekata. Kami mempunyai pendapat yang berbeda. Kami juga punya pandangan yang berbeda dan…mungkin juga tujuan yang

berbeda.”

“Iya, Daffa juga mengatakan begitu.”

Benarkah? Artinya Daffa sama sekali tidak membelaku didepan ayah, seperti yang selama ini ia lakukan?

“Dia mengatakan apa saja, Yah?” aku tidak bisa menahan rasa penasaranku.

“Katanya ada sesuatu yang kamu kejar, yang tidak ada disini.”

Akupun melirik botol mizone di atas meja. Lalu ingat yang Daffa katakan di telepon. Dia tidak bercerita jika aku di stasiun duduk dengan seseorang? Syukurlah.

“Bukankah kata Ayah aku nggak apa-apa disini dulu pasca wisuda? Sembari cari pengalaman kerja?”

“Memang nggak apa-apa.”

“Ayah juga nggak apa-apa kan, meskipun aku kuliah di bidang kesehatan, dan sekarang kerja disebuah toko?”

“Nggak apa-apa. Ayah malah bangga, putri Ayah mandiri.”

“Kalau Ayah dan Ibu ridho, bagi Mheta itu sudah cukup.”

Ayah diam sejenak, kemudian berkata, “Ayah paham, Mheta. Sebab Ayah juga pernah muda.”

Perasaanku campur aduk setelah kami mengakhiri percakapan via telepon. Tentu saja kata-kata ayah membuatku lega.

Kemarin, ketika aku pulang membawa beberapa majalah dan surat kabar yang memuat tulisanku, ayah tergopoh-gopoh mengangkatnya keberanda. Memakai kacamata dan membacanya satu demi satu.

“Aku mendapat honor dari semua itu, Yah.” Kuceritakan bagaimana honor-honor itu masuk dalam rekeningku. Menambah pendapatan bulanan sehingga beliau tidak perlu khawatir aku kelaparan. Karena aku memang terkenal

tidak suka menggantungkan permintaan kepada beliau, dari sejak Sekolah Menengah Pertama. Jika kurasa mampu. Maka, dengan sebisa mungkin, aku akan bekerja untuk medapatkan uang dan membeli sesuatu yang aku idam-idamkan.

Dan meskipun tidak mengatakan secara langsung. Aku tahu, dari tatapannya, dan dari cara ayah memanggil ibu untuk ikut membaca karyaku. Beliau bangga padaku.

Mengingat semua itu, perasaanku seketika menjadi hangat. Dan tiga puluh menit berkutnya, aku telah menyelesaikan empat halaman cerpen tentang seseorang yang mencabuti kenangan dari kepalanya. Aku memang fokus menulis perihal pengelana. Sudah cukup halaman untuk sebuah surat kabar lokal. Namun, perlu ditambah beberapa kalau dikirim ke surat kabar nasional.

Tidak masalah, sementara aku berangkat kerja, aku membiarkan naskah itu mengendap. Kata Stephen King begitu ‘kan? ‘simpan  naskashmu hingga saat membukanya kembali, kau seperti menemukan benda asing.’

Akupun segera mematikan laptop.

Setelah membagi dua kripik pisang kiriman Daffa –maksudku kiriman ibu Daffa—aku segera berlari ketempat kerja.

Toko tempat aku bekerja berada di jalan Gajayana, tidak jauh dari kampus UIN. Ketika pertama aku bekerja disana, penghuni kost sibuk mengingatkan, apa aku tidak malu jika ada teman-teman kampusku yang tahu jika aku pekerja ditoko material. Apalagi aku termasuk putri dari orang yang berada.

Aku tertawa waktu itu. “Kenapa harus malu? Rezeki itu dari Allah, sementara bekerja adalah bagian dari mensyukuri kesempatan yang diberikan Allah kepada kita.”

Tempat kerjaku hanya berjarak sekitar seratus lima puluh meter dari kost. Aku bekerja delapan jam dalam sehari. Di luar jam kerja itu aku bisa ke perpustakaan untuk membaca dan menulis.

“Mheta….”

Aku tersenyum sembari mengangkat sekantung kripik pisang. Teman-teman kerjaku menyambut antusias.

Karena suasana toko cukup sepi, akupun mengeluarkan ponselku dari saku celana. Mengecek media sosial. Tiba-tiba aku terpikir untuk memasukkan nama pengelana di sebuah pencarian.

Jaringan sedikit lemot, namun akhirnya sederet nama Pengelana muncul. Sekitar dua puluh lebih. Dari sajak pengelana, pengelana kata, pengelana sajak, pengelana cinta…. Oh Tuhan. Aku membuka satu per satu

akun itu, namun tidak ada yang cocok.

Aku kembali memepersempit pencarian, namun tetap saja nihil. Mungkin si Pengelana memang tidak bermain medsos. Namun, belum cukup puas, akupun mengetik nama “Pengelana Pengelana” berurutan sekaligus. Dan sekitar lima akun muncul, dengan foto dua orang bergandengan. Satu akun dengan foto wajah yang aku tidak kenal. Satu akun dengan foto profil bukku. Dan satu akun dengan foto ransel… aku menahan napas sambil menggeser layar.

Baiklah, aku tahu ada ribuan ransel dengan bentuk dan warna yang senada. Tetapi foto profil itu benar-benar mirip dengan ransel milik seseorang bermantel basah. Apalagi setelah aku mencoba untuk memperbesar foto profil setrsebut, dikantong ransel itu terdapat sebuah kotak persegi panjang berwarna putih.

“Ya, Tuhan. Ini memang benar-benar dia.” Seketika aku membungkam mulut dan menaruh ponsel dilaci.

“Mheta? ada apa?” aku menoleh ke arah kawanku. Dan belum sempat menjawab pertanyaannya, dua orang pelanggan datang untuk membeli paku dan cat tembok. Akupun segera menghea napas panjang, dan berucap dalam hati, “lupakan sejenak soal ransel, saatnya bekerja.”

Terpopuler

Comments

Daffodil Koltim

Daffodil Koltim

ransel yg memunculkan getaran yg luar biasa,,, 🤗🤗🤗

2021-01-25

0

IntanhayadiPutri

IntanhayadiPutri

Aku mampir nih kak, udah 5 like dan 5 rate juga.. jangan lupa mampir ya ke ceritaku

TERJEBAK PERNIKAHAN SMA

makasih 🙏🙏

2020-11-13

0

🇲🇨⃠Ririn zahra 🍁

🇲🇨⃠Ririn zahra 🍁

Ini jg cm Ransel meta, inget cuma Ransel.
Sepertinya ada getaran-getaran apa gitu ya 😁✌

2020-10-14

4

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!