“Melarikan diri, atau lari dari seseorang?”
Akupun berjingkat, menoleh kearah bangku di sampingku, yang sebelumnya kosong, kini terisi. Pemilik suara itu, --yang bertanya entah pada siapa—seorang lelaki dengan memakai sebuah mantel yang basah kuyub. Tetesannya jatuh satu-satu dilantai, persis dekat kakinya. Akupun bergeser.
“Maaf,” dia menaruh ransel dengan setengah membantingnya, kemudian berusaha melepas mantel yang terbalut basah.
“Hujannya deras sekali,”
Aku hanya mengangguk. Hujan memang mengguyur tak henti sejak pagi tadi. Hingga menjelang sore seperti ini senja pun enggan melirik kemuka bumi.
“Jadi, kau melarikan diri atau sengaja lari dari seseorang?”
Lantas, akupun meliriknya, memastikan dia bertanya kepadaku. Tetapi, jika dia bertanya padaku. Wajahnya tak melihatku. Lelaki itu tengah sibuk mencari sesuatu disakunya. Seketika akupun mulai waspada. Aku pernah satu
bangku di dalam bus jurusan antar kota dengan lelaki bepakaian necis, lalu berpura-pura kehilangan dompetnya.
“Aarrgg, pasti ketinggalan!” Erangnya lirih, aku menggenggam erat tali ranselku, berniat menyingkir kalau dia mulai mengatakan sesuatu.
“Kamu, punya korek?”
Pertanyaan macam apa itu? Aku menggeleng.
“Pasti nggak punya, kan? Nggak apa-apa.” Diapun terlihat membanting kotak kecil putih persegi panjang. Aku baru paham, dia mencari korek api untuk menyalakan rokoknya.
“Kalau saya melarikan diri," tukasnya. “Lari dari kenyataan.” Dia tertawa gelak-gelak. Suaranya seperti sudah pernah kudengar, tapi entah dimana. Aku memang seperti itu, sering dejavu dengan apa yang aku lihat bahkan
aku jalani.
“Bertahun-tahun meyakini hal yang sama, ternyata tidak cukup untuk bertahan. Apalagi ketika tiba-tiba orang yang kau percaya mengatakan ada suatu perbedaan yang mungkin sulit untuk dibangun jembatan. Kamu tahu? omong
kosong macam apa itu?”
Tenggorokanku seketika kering, delapan jam sebelum aku duduk disini, seseorang yang tak ingin aku sebut namanya mengatakan perihal perbedaan kepadaku. Dia bertanya berulang-ulang, apa aku akan pergi lagi, atau tetap tingga. Dia, seseorang yang tak ingin kusebut namanya itu, mengatakan bahwa dirinya khawatir. Semakin lama aku pergi semakin ia tak mengenaliku lagi. Kalimat macam apa itu?
“Rasa seperti ditusuk jarum. Di sini,” lelaki didepan menepuk dadanya.
Ya, tepat aku juga merasakan hal yang sama. Sakit sekali.
Aku pulang, setelah beberapa musim di perantauan. Kubawa lembar-lembar novel serta puisiku yang dimuat media. Kuceritakan padanya bagaimana aku menulis di malam-malam panjang. Bagaimana sakitnya mendapat penolakan. Bagaimana aku berhemat agar bisa membeli kuota.
Ku katakan juga padanya, bahwa tulisanku yang ini, atau yang itu, terinspirasi oleh masa-masa yang kami lewati. Kusodorkan padanya untuk dibaca. Tapi menganggapnya, justru sebuah pertanyaan yang membuatku ternganga, “aku bilang Pak Kades kalau kamu akan pulang dalam waktu dekat," sama sekali diluar
yang aku duga.
“Setelah semua yang dia katakan, saya kira saya tak perlu bertanya apa maksudnya.” Lelaki disampingku membuyarkan lamunanku. Tetapi disaat yang sama juga menggiringku pada ingatan akan seseorang yang tidak mau aku sebut namanya itu.
Kemarin sempat kutanya, apa maksud perkataannya? Kenapa pula harus membawa-bawa Pak Kades? Tetapi, lelaki yang tak ingin aku sebut namanya itu justru melontarkan kalimat begini, “kukira selama ini aku memahamimu,. Ternyata tidak. Mungkin akumemang terlalu jauh, untuk mengimbangi pikiran-pikiranmu.”
Seketika aku merasa kesal. “Maksudmu apa sih?” kembali kusodorkan pertanyaan yang sama. Dan sekali lagi, dia menjawab diluar yang kukira. “Pergilah kalau ingin pergi. Aku tidak akan menahanmu. Aku tidak mau menjadi penghalang apa yang kamu inginkan, sebab aku tidak bisa memberi apa yang kamu impikan. Kita sudah tak perlu berpura-pura lagi.”
“Pura-pura apa?”
Rasa panas menyesaki dadaku, merangsek ke kerogkongan. Sepanjang ingatanku, dia tidak pernah berkata seketus itu padaku. Aku seolah tak mengenalinya lagi.
“Nggak semua hal yang terjadi sesui yang kita harapkan, bukan?” lelaki disampingku, sekali lagi membuyarkan lamunanku.” Manusia terima atau nggak, ya takdir tetap terjadi. Sekarang mungkin saya belum bisa terima, makanya saya lari. Siapa tahu, besok atau lusa saya bisa terima.” Dia terkekeh dengan kata-katanya sendiri.
“Dunia belum berakhir, hanya karena seseorang meninggalkan kita, bukan?” tanyanya lagi.
Kali ini aku mengangguk. Ya, dunia belum berakhir hanya karena seseorang tak mau mempertahankan keberadaanku.
“Hubungan kami mungkin berakhir, tapi saya nggak mau berakhir. Hari saya mungkin retak, tapi badan saya masih utuh. Saya hanya ingin menjadi manusia baik, ingin masuk syurga.” Terlihat, dia mulai tersenyum, senyum yang pedih.
Senyumnya seketika menular padaku. Tentu saja aku juga begitu. Aku ingin jadi orang baik. Dan aku ingin masuk syurga.
“Sebentar.”
Tiba-tiba lelaki itu pergi. Dia tak membawa ransel serta mantelnya. Setelah senyum yang ia tularkan, seketika aku kembali waspada. Jangan-jangan dia meninggalkan barang terlarang di dalam ranselnya. Bagaimana mungkin dia
menitipakan begitu saja barangnya pada orang yang tak dikenal.
Modus kejahatan sekarang macam-macam, bukan? Atau bagaiaman kalau di dalam ransel itu berisi bom, misalnya.
“Tuhan, aku tidak bisa membayangkan, kalau barang itu meledak, lalu aku hancur, lalu masuk berita. Mungkin di headline akan tertulis, ‘seorang penulis menjadi salah satu korban ledakan bom.’ Mungkin media sosial akan heboh. Dan mungkin karyaku akan dicari-cari. Oh Tuhan, tapi aku belum siap meninggal sekarang, aku masih ingin berkeluarga. Punya anak dan cucu.” Aku kembali gelisah, kuedarkan pandangan. Seketika aku dipenuhi kelegaan saat lelaki itu muncul. Terlihat ditangannya ada dua botol mizone.
“Minum.” Dia menawarkan satu untukku, aku menggeleng.
“Hanya minum mizone, jangan khawatir. Saya nggak kasih racun. Kan sudah saya bilang, saya ingin masuk syurga, jadi nggak mungkin ngeracuni orang. Yang ada nanti saya masuk neraka jalur VVIP.” Dia terkekeh. “Udah ambil!”
Aku ikut tertewa. Menerima sebotol mizone itu. Kemudian dia memindahkan botol dari tangan kiri ke tangan kanannya. Sementara aku, memeluk mizone dengan sepuluh jariku.
Untuk beberapa saat kami saling diam. Tepatnya, dia tidak lagi menceritakan tentang kepatahan hatinya. Lelaki itu sibuk meminum mizone.
“Kamu masih takut minum, ya?”
Aku menoleh. Tentu saja aku masih waspada. Bagaimana pun juga dia orang asing ‘kan?
“Kamu pasti curiga pada saya,” tuturnya lagi. Dia kembali menekuri botolnya, sebelum berdiri, dan melempar botol yang telah kosong ketempat sampah. “Tapi itu bagus. Kamu memang harus waspada dengan orang asing.
Apalagi… kamu terlihat sangat berantakan. Maaf. Maksudku terlihat seperti orang yang patah hati.”
Aku ternganga, “bukannya itu, kamu?”
Lelaki itu terkekeh kembali. “Nah gitu dong, bersuara. Dari sejak saya datang, saya hanya bermonolog saja. Saya sampai menduga kamu memang nggak bisa bicara.”
“Maaf..”
“Nggak apa-apa. Nah, tuh kereta saya mau berangkat. Terimakasih telah mau mendengar semua cerita saya.”
Lelaki itu bergegas mencangklong ranselnya. Tak lupa dia meraih mantel basah dan menyampirkan dilengan kirinya.
“Terimakasih mizone-nya.”
Dia mengangguk.”Semoga Tuhan selalu menjagamu.”
Lalu dia pergi, aku pun melihat langkahnya yang panjang-panjang dengan ransel membebani pundaknya. Begitu dia berbelok, aku baru ingat kami bahkan belum selaing kenalan. Harusnya aku tadi menanggapi ceritanya, bukan malah diam dan mencurigainya.
Penyesalan selalu terambat. Aku mengeluarkan buku cacatan kecil dari dalam ransel. Keretaku masih sekitar lima belas menit lagi. Masih cukup buatku untuk menulis premis cerpen, tentang lelaki bermantel basah yang membagi
isi kepalanya denganku, barusan.
“Harusnya, kau bilang ada yang ketinggalan.”
Aku berjingkat, mendongak kaget. Lelaki bermantel basah itu tiba-tiba muncul di hadapanku. Membungkuk, memungut sebungkus rokok yang terletak disampingku duduk.
“Maaf, saya tidak melihatnya.” Tukasku. Aku baru akan bertanya siapa namanya, ketika tiba-tiba merebut buku catatan dan pulpenku. Menulis sesuatu dengan cepat dan menyerahkan kembali sambil sedikit tersenyum.
“Sampai jumpa, gadis aneh.”
Kali ini dia benar-benar berlari.
Aku berdiri menatap langkahnya yang semakin menajauh. “Namanya?” Terikkaku.
Dia menoleh, “Pengelana.” Kemudian berbelok kedalam gerbong.
Aku masih berdiri menatap kereta yang pergi. Merasa menjadi tontonan orang-orang di ruang tunggu. Aku kembali duduk. Ku minum mizone yang tinggal setengah botol. Siapa tadi namanya?
“Pengelana? Maulana?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Mega
pasti namanya Roma
2020-12-07
1
@༺👑💗ηïκεη pthš tεαm💗👑༻
selesai bca bab ini langsung gas baca bab berikutnya....sukaaaaa🥰🥰
2020-11-27
0
R⃟•♀𝕽𝖆𝒚𝒚𝖆𝖓𝒛𝒛⚤
like kak
2020-11-25
0