SECEPAT ITUKAH?

“Mheta, apa kamu bertengkar dengan Daffa?”

Lama ku pandangi pesan dari ayah. Kubaca berulang, tetapi tidak juga menemukan jawaban yang pas. Ayah jarang sekali menanyakan perihal Daffa. Yang sering ia tanyakan jutrus bagaimana aku dan… ya (baiklah namanya Daffa)

harus saling menjaga jarak. Bahkan meskipun kami telah dewasa, ayah tak pernah mengizinkan kami pergi berboncengan berdua.

“Bukan ayah tidak percaya pada Daffa. Tetapi kamu anak kami satu-satunya. Semua hal yang ayah lakukan padamu, baik izin atau larangan, akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah.”

Dan kami berdua menurut. Tentu saja kalau ingin ngobrol, Daffalah yang datang kerumah. Kami sering mengobrol dimeja makan. Ada ayah, ada ibu. Kadang kami berkumpul di dapur sambil membersihkan hasil kebun dibelakang

rumah.

Daffa bukan hanya datang saat aku di rumah. Dia juga sering mampir bahkan hanya sekedar berbincang dengan ayah. Lalu, jika sekarang ayah bertanya begitu padaku, apa itu artinya Daffa mengatakan semuanya kepada

beliau, tentang perbincangan kami?

Ya Tuhan, sekanak-kanak itukah? Selama ini aku menganggapnya begitu dewasa.

Memikirkan semua itu sepertinya tidak ada pilihan lain kecuali bertanya langsung padanya, jadi , aku langsung meraih ponsel , mencari nama Daffa.

Aku menggigit bibir, menunggu nada panggil yang tidak diangkat. Kutatap layar. Aku mulai mengembuskan napas pendek. Kuketik pesan

untuknya.

“Bisakah kita bicara?”

Pesan terkirim, dan sekali lagi aku mulai menelponnya lagi. Aku mengakhiri nada panggil berulang seoalah sambungan yang begitu jauh tak sampai-sampai.

Tiga jam kemudian, dering ponselku mulai mencuat. Tertera nama Daffa dilayar ponsel. Aku memejam sambil menganjur napas panjang. Seketika kusambar ponsel dan mendekatkan ke telinga.

“Ayah tanya, apa kita bertengkar…” kataku tanpa basa-basi, selepas mengucap salam.

“Sejak kapan sih, kamu kekanak-kanakan gini?” ada letupan hangat didadaku.

“Kebetulan aku mau keluar. Jadi Paman nyuruh mampir ke stasiun. Nyuruh anter pisang gorengmu yang ketinggalan dirumah. Tapi, aku kan nggak mungkin nyela perbincangan dua orang yang sedang menikmati minum bersama.”

Seketika kedua telapak tanganku lembab. Ya Tuhan, Daffa melihatku dengan… bahkan aku belum jelas tahu nama lelaki itu. Akupun melirik botol kosong yang masih terpampang diatas meja kamar.

“Eh, tunggu! Maksudnya kamu—“

“Aku katakan pada Paman, kalau kita nggak ketemu. Karena kereta sudah berangkat. Tapi Paman nggak percaya, sebab secara logika keretamu memang belum berangkat. Jadi kubilang kalau aku yang mengulur waktu.”

“Eh, jadi, artinya kamu mengun—“

“Nggak, aku nggak menguntitmu.”

“Tapi yang kamu lihat itu, bukan seperti yang kamu kira, Daffa.” Sekali lagi aku menyela kalimat Daffa.

“Memangnya kamu pikir, aku ngira apa? Kan kita bukan siapa-siapa!”

Aku tidak menjawab. Tepatnya tidak punya jawaban.

“Selama ini aku menghormati aturan yang diterapkan oleh Paman. Aku nggak pernah ngajak kamu pergi berdua saja. Jadi, semoga keteranganku ini cukup untuk menjawab pertanyaan ayahmu.”

“Tapi seseorang yang kamu lihat itu hanya—“

“Mheta? Pergilah kalau kamu ingin pergi. Aku sudah melepaskanmu, bahkan merelakanmu untuk lelaki itu atau siapa saja yang suka kepadamu.”

“Secepat itu kamu melupakan aku, Daffa? Bahkan aku kira ucapanmu tempo waktu hanya sekedar main-main.”

“Sudahlah, aku tengah sibuk.”

Kutaruh ponsel ke atas bantal dengan setengah melempar. Kututup wajah dengan kedua telapak tangan. Aku berusaha memaknai percakapan yang baru saja terjadi. Selama ini Daffa tak pernah mengantarku ke stasiun atau ke mana pun. Sekalinya menyusul, justru melihatku bersama orang lain. Dan kenapa rasanya kesal sekali mendengar Daffa bicara setenang itu, apa dia benar-benar sudah tidak mencintaiku? “Ya Tuhan, kenapa jadi serumit ini?” aku memejamkan mata. Lama.

Begitu membuka mata yang tertangkap pertama kali oleh pandanganku adalah botol kosong berwarna biru diatas meja itu. Aku menggaitnya. Sekarang botol ini benar-benar menjadi bukti kalau yang dilihat Daffa tidak salah. Dia bisa mengira apa saja. Dan itu wajar. Bahkan jika aku di posisinya, aku mungkin akan menduga-duga. Tapi kenapa Daffa setenang itu? Tak ada rasanya nada bicaranya naik. Semua begitu datar.

Tetapi disisi lain, botol ini juga menandakan jika aku dan seorang bermantel basah itu hanya dua orang asing yang berbagi bangku kosong. Yang berbagi keredaan ditengah derasnya hujan.

Aku menghela napas, lalu membawa botol kosong tersebut ke dapur, mencuci dipancuran.

“Hanya mizone, jangan khawatir. Saya nggak kasih racun. Kan sudah saya bilang, saya ingin masuk syurga, jadi nggak mungkin saya meracuni orang. Yang ada saya masuk neraka jalur VVIP.”

Aku tersenyum, suara itu seolah ada dikepalaku. Ya, memang hanya mizone. Dan seharusnya aku memang tidak mencurigainya. Setidaknya menanggap ceritanya. Bukan hanya diam, sampai-sampai dia mengira aku tidak bisa bicara.

“Ya ampun, Mheta?” Aku berbalik, Rini menatapku sambil memiringkan kepalanya. “Itu hanya botol bekas.”

“Memang. Aku nggak bilang botol kramik, kan?”

“Tapi kamu sampai senyum-senyum gitu nyucinya?” Rini menyentuh dahiku. “Kamu yakin baik-baik saja?”

Aku terkekeh. Kucabut lap dari cantolan untuk mengeringkan botol itu sambil menuju kamar, membiarkan Rini menertawai dan menatapku dengan keheranan.

Tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Aku bertemu dengan seseorang bermantel basah itu. Dan Daffa melihat kami. Lalu nomor ponsel yang tertera dibuku, ya, meski belum tentu nomor tersebut benar. Tapi semua itu seperti titik-titik yang mungkin bisa kutarik benang merahnya.

Tidak bisa ditunda, aku akan menuliskan kisah ini. mungkin bercerita dari sudut pandangku sendiri. Dari sudut pandang lelaki bermatel basah itu, atau bahkan dari sudut pandang Daffa. Semua menarik. Bahkan jika.kisah itu diceritakan oleh salah satu orang yang juga berada di ruang tunggu. Seperti kata Seno Gumira A. menulis adalah menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total.

Mungkin ini memang cara Allah memberiku ide. Sekarang tergantung padaku ‘kan? Menangkap atau justru menyia-nyiakan? Baiklah, masih ada satu jam lebih sebelum berangkat kerja.

Aku menaruh kembali botol bekas itu diatas meja. Dipojok jajaran buku-buku karyaku. Ketika menit berikutnya, aku menyalakan laptop dan siap menulis, sebuah suara menghentikan aktifitasku.

“Paket!”

Penghuni kost sedang keluar, yang lain menutup kamar. Aku pun terpaksa membuka pintu.

“Untuk siapa, Bang?”

“Untuk Mheta,” kata abang Kurir.

Dahiku berkerut. Aku sedang tidak bealnja online. Tetapi ketika akhirnya bungkusan kotak dari bang Kurir kuterima, aku tahu siapa pengirimnya. Itu tulisan tangan Daffa. “Tumben? Kirim apa dia? Kenapa tadi di telepon tidak mengatakan sesuatu.”

Terpopuler

Comments

R⃟•♀𝕽𝖆𝒚𝒚𝖆𝖓𝒛𝒛⚤

R⃟•♀𝕽𝖆𝒚𝒚𝖆𝖓𝒛𝒛⚤

like...
vote...

2020-12-21

0

Caramelatte

Caramelatte

semangat upnya thor!
Salam –Belong to Esme–

2020-11-23

0

Linda

Linda

batas sini dulu ya thorr semangat berkarya

2020-10-31

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!