"Alice!" panggil Meyra dengan suara keras yang menggema.
Alice menoleh, dan matanya bersinar saat melihat sahabat baiknya yang berlari ke arahnya dengan wajah bingung dan marah.
"Ada apa, Mey?" tanya Alice dengan nada lembut, mencoba meredam emosi Meyra.
Meyra menghentikan langkahnya tepat di depan Alice, menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata dengan nada penuh penekanan,
"Kenapa kamu menolak beasiswa itu, Alice? Bukankah kita sudah berjanji akan bersama-sama mengejar impian kita" ucap Meyra dengan nada kecewa. Ia baru saja mengambil ijazah, dan salah satu guru memberitahu Lily kalau Alice telah menolak beasiswa kuliah di univeristas negri di Jakarta.
Alice menatap Meyra dengan ekspresi penuh penyesalan. Ia tahu bahwa keputusannya itu membuat sahabatnya itu kecewa, tetapi Alice merasa tidak ada pilihan lain. Ia harus menikah dengan Lucas dan menolak beasiswa tersebut. Dia juga tidak mau terus menerus bergantung dengan keluarga Anderson.
"Mey, aku tahu kita berjanji," ujar Alice dengan suara bergetar, menahan tangis. "Tapi aku memiliki alasan kenapa aku menolak beasiswa itu. Aku harus menikah, Mey." ucap Alice lirih.
Meyra terkejut, dia menatap Alice dengan mata berkaca-kaca, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Tapi Alice, kita baru saja lulus, bagaimana mungkin kamu ingin menikah. Memangnya siapa yang ingin menikahimu? kita berdua sudah berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa itu. Kita sama-sama layak, dan aku tidak ingin melanjutkan perjuangan ini tanpamu," ucap Meyra dengan suara serak.
Alice merasa terharu dengan ketulusan Meyra, namun tetap pada pendiriannya. "Maafkan aku, Mey. Tapi aku tidak bisa menolak pernikahan ini"
Meyra mengepalkan tangannya, menahan rasa sakit di hatinya. Ia menggigit bibirnya, berusaha keras untuk tidak menangis saat mendengar keputusan yang diambil oleh sahabatnya, Alice.
Tidak ada yang bisa menggantikan Alice dalam hidupnya, seorang sahabat yang selalu ada di saat Meyra membutuhkan dukungan.
"Mey..." bisik Alice, menatap Meyra dengan mata berkaca-kaca. Mereka berdua akhirnya memeluk erat satu sama lain, mencoba merasakan kehangatan yang mungkin akan segera hilang karena perpisahan.
Meyra merasakan betapa erat pelukan Alice, seolah tak ingin melepaskan.
"Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusan mu, Alice. Aku doakan semoga kamu bahagia dengan suami mu nanti. Tapi maaf, aku tidak bisa hadir di acara pernikahan mu nanti" ucap Mayra dengan suara yang parau.
Alice membalas pelukan Meyra, mencoba menguatkan dirinya. "Terima kasih, Mey. Aku akan selalu mengingatmu."
Meyra menatap wajah Alice, lalu tersenyum tulus.
"Jika suatu hari kamu butuh bantuan, kamu bisa menghubungiku. Aku akan membantumu," ucap Meyra dengan suara penuh harapan.
Sebagai anak panti asuhan, Alice memang tidak memiliki banyak teman. Ia seringkali menjadi sasaran bully di sekolahnya, yang membuatnya merasa terasing. Namun, Meyra selalu ada untuknya, melindungi dan menyemangati Alice. Mereka berdua saling menguatkan satu sama lain, menjalani kehidupan yang penuh liku.
"Terima kasih, Mey," ucap Alice dengan suara bergetar, menahan air mata. "Meskipun kita berpisah, aku yakin persahabatan kita tidak akan pernah pudar. Kau adalah sahabat terbaikku."
Mereka berdua kembali saling memeluk, mencoba meresapi setiap detik yang mereka miliki bersama. Sebuah persahabatan yang kuat, yang akan selalu dikenang dalam hati masing-masing.
"Ayo, kita jalan-jalan, tiga hari lagi aku sudah harus berangkat ke Inggris" ajak Meyra.
Jika Alice mendapatkan beasiswa di universitas dalam negri, Meyra justru mendapatkan beasiswa di luar negri. Namun bagi keduanya tidak menjadi persoalan, yang terpenting mereka berdus dapat mewujudkan mimpi mereka.
"Ayo" sahut Alice semangat.
"Aku pasti akan merindukan mu" ucap Alice sambil melangkahkan kakinya berjalan menuju ke mobil Meyra.
"Aku juga, nanti aku akan sering-sering menghubungi mu" ucap Meyra dan tertawa kecil.
Mobil yang mereka tumpangi melaju membelah jalanan ibu kota yang lumayan padat.
Setelah melalui perjalanan yang melelahkan selama hampir satu jam, akhirnya mobil yang dikendarai Meyra berhenti di depan sebuah cafe yang sudah lama mereka rencanakan untuk dikunjungi.
Cafe tersebut tampak begitu nyaman dan hangat, dengan dekorasi yang menarik dan suasana yang ramai oleh para pengunjung yang datang dan pergi.
Begitu memasuki cafe, Alice dan Meyra segera mencari tempat duduk yang strategis dan nyaman.
Mereka akhirnya memutuskan untuk duduk di sudut ruangan yang cukup sepi, agar mereka dapat mengobrol dengan leluasa tanpa terganggu oleh keramaian pengunjung lainnya.
Alice segera memesan dua cangkir kopi panas dan beberapa camilan untuk menemani mereka berbincang. Perbincangan mereka berlangsung sangat menyenangkan dan penuh tawa.
Mereka saling bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing, baik yang lucu maupun yang serius. Saling bergurau, sesekali mereka tertawa terbahak-bahak sampai air mata mengalir.
Suasana yang hangat dan akrab semakin terasa di antara mereka berdua.
Waktu terasa begitu cepat berlalu saat mereka tenggelam dalam obrolan yang tak ada habisnya. Matahari mulai terbenam, dan langit berubah menjadi warna jingga yang indah.
Mereka berdua masih asyik mengobrol, saling berbagi cerita dan tawa, tak menyadari bahwa waktu telah berlalu begitu cepat. Sepertinya, kunjungan ke cafe ini telah menjadi momen yang sangat berharga dan tak terlupakan bagi Alice dan juga Meyra.
"Sudah gelap, ayo kita pulang. Aku akan mengantarmu, sekalian aku ingin berpamitan dengan bibi Lena" ucap Meyra.
"Iya baiklah, ayo" sahut Alice sambil menganggukkan kepalanya.
Setelah membayar mereka berdua menuju ke Panti asuhan, Meyra mengantar Alice sampai pintu masuk panti asuhan, dia mendapati ibu Lena yang sedang duduk di teras panti.
"Bibi Lena" sapa Meyra seraya menghampiri ibu Lena.
"Hai Mey, selamat atas kelulusan mu. Setelah ini kamu ingin kuliah dimana?" tanya ibu Lena.
"Aku dapat beasiswa ke Oxford university bi" jawab Meyra sendu.
"Kenapa kamu terlihat sedih? Kau tidak suka kuliah disana" tanya ibu Lena.
"Tidak kok bi, aku sangat suka. Oxford university adalah kampus impianku dengan" jawab Meyra seraya melirik kearah Alice.
Meyra mendapatkan beasiswa ke Inggris, Meyra sudah memberitahu keluarganya, dan orang tuanya pun bangga dengan putrinya itu. Orang tua Meyra sudah menyiapkan keberangkatan putrinya ke Inggris, sehingga tidak mungkin dia membatalkan semua pengaturan dari orang tuanya tersebut.
"Bibi aku pamit pulang dulu. Titip salam buat adik-adik yang lain" ucap Meyra sopan.
Alice berdiri di depan rumahnya, menatap mobil yang perlahan menjauh. Dibalik kaca mobil, ia melihat sosok Meyra yang meneteskan air mata. Meyra tampak bersedih, namun juga terlihat lega karena ia yakin, selama ia pergi ke luar negeri, suami Alice akan menjaga wanita itu.
Tangan Alice terus melambai, mengekspresikan perpisahan ini bukanlah akhir dari persahabatan mereka.
Air mata Meyra semakin deras mengalir, menggambarkan betapa berat hatinya meninggalkan sahabat terbaiknya. Namun, Meyra harus melanjutkan hidupnya dan menjalani kesempatan yang telah diberikan padanya.
Alice mencoba menahan tangisnya, memahami bahwa ini adalah keputusan terbaik untuk Meyra. Sebagai sahabat, ia harus mendukung langkah-langkah Meyra dalam mengejar mimpinya. Dalam hati kecil Alice, ia berharap Lucas mampu menjadi suami, teman, sekaligus sahabat yang dapat menggantikan Meyra. Meskipun demikian, Alice masih merasa sedih dan kesepian, mengingat betapa erat hubungan mereka berdua.
Saat mobil Meyra menghilang dari pandangan, Alice kembali ke dalam panti. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan rasa sedih yang menghimpit. Alice berdoa dalam hati, semoga persahabatan mereka tetap abadi, meskipun jarak yang memisahkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Srie Handayantie
persahabatan kalian itu sangat indah, smoga nanti bisa bertemu kembalii yaa
2025-05-14
0