Bagian 4

Malam hari, bertempat disebuah rumah megah milik walikota Aron Wasinton. Terlihat seorang pemuda baru datang dengan mengendarai sepeda motornya. Pemuda itu bahkan masih mengenakan seragam sekolahnya dengan dilapisi sebuah jaket berwarna hitam. Langkahnya terayun menapaki lantai yang terbuat dari marmer.

"Gio, Kamu sudah pulang?" Tanya seorang wanita yang begitu anggun diusianya yang ke 40 tahun.

"Hm." Sahutnya dengan singkat. lapun melangkah menuju tangga untuk naik ke kamarnya yang berada di lantai dua. Sedangkan wanita itu hanya menghela nafasnya melihat putranya pergi.

Sampai didalam kamar yang luas dengan dominasi warna steel grey. Pemuda itu membuka jaket serta seragam sekolah nya membiarkan bagian atas tubuh atletisnya terekspose, ia lalu merebahkan diri diatas tempat tidur. Tatapannya mengarah ke langit-langit kamar.

"Siapa dia? Kenapa insting gue bilang kalau dia bukan laki-laki." Gumam Gio. Seraya mengingat seseorang yang sore tadi balapan motor dengannya.

Entah kenapa, tiba-tiba ia memikirkan tentang orang random yang diajak balapan oleh salah satu teman satu geng nya saat dijalan tadi. Gio mengakui bahwa skill yang orang itu miliki cukup hebat, sayangnya ia tidak sempat melihat wajah orang tersebut.

**

Sementara itu, orang yang sedang difikirkan oleh Gio justru sedang menyusun beberapa file tentang kasus yang akan ia tangani, Penampilannya yang sudah berubah bak gadis SMA itu semakin memperkuat niatnya untuk segera mengungkap misteri di balik kematian Adam yang sesungguhnya. Hasifa memang selalu totalitas dalam menjalankan tugasnya.

Pintu kamarnya terbuka dan memperlihatkan Hasifa yang masuk sembari membawa nampan berisi sepiring makanan. Saking sibuknya, Hasifa jadi tidak sempat untuk turun dan makan malam bersama keluarganya.

"Makan dulu ya, Nak. Bunda, Ayah dan Adik kamu sudah makan tadi." Ucap Kia.

Hasifa menoleh dan tersenyum, "Sebentar lagi ya, Bun." Kia pun meletakkan nampan itu diatas nakas. Tatapan nya mengarah pada sebuah page board yang sudah dihiasi banyak foto-foto.

"Tampan-tampan ya mereka." Ucap Kia.

Hasifa mengikuti tatapan bundanya dan iapun tersenyum, "Tapi salah satunya sudah tidak ada didunia, Bun. Dan yang satu lagi dicurigai sebagai pembun"hnya."

"Sayang sekali ya. Padahal mereka sama-sama anak dari orangtua yang berada. Harusnya tidak sampai ada kejadian seperti ini. Bunda tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan dari ibunya Adam saat mendapati anaknya telah dibunh oleh seseorang. Pastinya dia sangat hancur, entah bagaimana dia akan menjalani hidup setelah kematian anaknya yang begitu tragis itu." Ujar Kia dengan sendu.

lapun adalah seorang ibu, sudah pasti ia mengerti bagaimana rasa sayang dari seorang ibu terhadap anak-anaknya. Melihat anak sedang sakit saja rasanya tidak tega, lalu bagaimana jika harus menerima kenyataan bahwa sang anak telah tiada.

"Sayang, apa tidak ada dugaan kalau kemungkinan dia bun'h diri?" Tanya Kia.

"Sempat ada kecurigaan seperti itu, Ma. Tapi, kalau memang Adam membunth dirinya sendiri, maka harus ada senjata yang dia gunakan. Apa bisa Adam menyembunyikan senjata itu ke tempat lain setelah perut nya terluka cukup dalam? Lagipula, pasti ada jejak dar*h yang berceceran kalau memang Adam sempat keluar dari gudang itu. Nyatanya, Adam langsung tumbang setelah mendapat luka itu dan penyebab dia meningal adalah karena kehabisan dar*h." Ujar Hasifa.

Kia menghela nafasnya, "Sepertinya kasus ini cukup berat untuk kamu tangani, Fa."

Hasifa menunda sejenak kegiatannya dan ia bergegas duduk di dekat Kia. "Bunda, seberat apapun pekerjaan yang Sifa jalani, semuanya akan terasa lebih mudah kalau Bunda, Ayah, Mami, Papi, Mama dan Papa terus disamping Sifa dan mensupport Sifa."

Kia lalu memeluk gadis itu dengan erat.

Keesokan harinya. Leo dan Salsa datang untuk menjemput Hasifa, Hasifa sendiri masih berada didalam kamarnya, la merapihkan diri dengan seragam sekolah serta menyiapkan beberapa buku kosong. Semua itu tentu saja sudah disiapkan oleh ketiga orangtuanya. Hasifa seperti dejavu, ingatan nya kembali pada enam tahun yang lalu, dimana ketiga orangtuanya juga sibuk mempersiapkan Hasifa yang akan masuk sekolah menengah atas.

Setelah merasa penampilannya sudah rapi, Hasifa mematut dirinya didepan cermin. Dimana kini sosok yang berbeda terlihat oleh kedua bola matanya.

"Ini saatnya. Awal dari segalanya. Kamu pasti bisa Hasifa!" Ucapnya sembari tersenyum. Lapun menghembuskan nafas dan berbalik badan untuk mengambil tas nya yang ada di atas tempat tidur. Langkahnya terayun menuju pintu kamar dan keluar dari Sana,

Saat ia hendak menuruni tangga, terlihat beberapa orang yang tak lain adalah orangtua nya menunggu ia turun. Pandangan mereka pun teralihkan ketika Hasifa turun dengan penampilan yang begitu berbeda.

"Umur Papi jadi dikurangi 6 tahun dong kalau begini." Celetuk Leo.

Mereka pun terkekeh dan Hasifa langsung mendekat pada mereka.

"Benar-benar mirip seperti Cantika." Ucap Salsa.

"Tuh kan, bener apa kata aku. Mirip sekali dengan Cantika." Timpal Kia.

Hasifa pun tersenyum mendengar nya, "Mama sama Papa kemana?" Hasifa baru menyadari kalau formasi belum lengkap.

"Cahya sedang ada acara pertemuan orangtua murid di sekolah nya, jadi Mama dan Papa tidak bisa ikut mengantar kamu hari ini. Tapi mereka sudah memberikan support lewat pesan, mungkin kamu belum sempat membacanya, Nak." Ujar Kia.

"Iya, aku belum sempat memeriksa ponsel."

"Sudah, nanti saja kamu bacanya. Palingan kata-katanya juga itu-itu saja." sergah Rizal.

Kia pun menyenggol pelan lengan suaminya, "Sudah siap sayang? Yuk, kita berangkat." Ajak Kia.

Hasifa mengangguk dan mereka mulai berjalan keluar dari rumah.

"Hasifa, nanti kalau-"

"Hira! Namanya sekarang adalah Hira Janita." Leo menyela ucapan Rizal.

Rizal mengangguk, "lya, sorry. Gue masih belum terbiasa." Jawab Rizal sambil mendelik malas pada Leo.

Jangan lupa juga kalau Hira adalah anak gue dan Salsa, Karena identitas dia berubah sekarang." Timpal Leo.

Rizal mendengus pelan, "Ya ya ya, si paling pintar memanfaatkan keadaan !" Sindir Rizal.

"Udah. Gak dimana-mana selalu aja ribut! Ini anaknya nanti terlambat masuk sekolah lho." sergah Kia.

Akhirnya mereka pun masuk kedalam mobil karena memang waktu terus berjalan.

Mobil mewah itupun melaju meninggalkan pekarangan rumah Rizal dan Kia. Mereka sengaja menumpangi mobil yang sama karena tidak mau terpisah dengan Hasifa yang kini berubah menjadi Hira selama tugasnya belum selesai.

Sekolah Angkasa yang mereka tuju membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai. Hingga saat gedung sekolah itu terpampang di hadapan mereka, barulah mereka turun.

Hasifa menatap gedung yang ada di hadapannya dengan lekat. Rasa tak sabar untuk menjelajahi gedung itu dan segera menjalankan tugasnya.

"Hira, Papi sama Mami antar kamu sampai kedalam kelas, ya?" Ucap Leo.

Hasifa yang kini harus membiasakan diri menjadi Hira pun menggeleng pelan, "Tidak usah, Pi. Sampai disini aja ya. Hira kan bukan anak TK."

"Ya sudah. Kamu hati-hati dan selalu ingat semua kata-kata yang kami ucapkan ya, Nak." Ucap Salsa.

Hira mengangguk faham dan berpamitan pada orangtuanya untuk masuk kedalam kelas. Tak sengaja pandangan nya tertuju pada deretan sepeda motor yang seperti tak asing di penglihatannya.

Hira pun tersenyum tipis, "Lumayan, perkenalan yang cukup baik dengan mereka." Gumam nya.

Tentu saja, ia tak menyangka kalau anak-anak yang kemarin mengajaknya balapan ternyata adalah murid di sekolah ini. Langkah Hira pun terayun menyusuri koridor, dimana beberapa kelas berderet di sepanjang jalan yang ia lalui. Beberapa murid pun terlihat berlalu lalang disana.

Hira membaca satu-persatu kelas yang ia lewati, karena iapun tidak tahu dimana kelasnya berada. Hingga saking fokusnya ia mencari keberadaan kelasnya, tak sengaja tubuhnya menabrak seorang pria.

Bruk

Buku yang Hira pegang pun terjatuh dan pria itu berlutut untuk mengambilnya.

"Lain kali, kalau jalan itu yang fokus. Untung aja orang yang lo tabrak, kalau kereta gimana?"

Tatapan mereka pun bertemu, tentu saja Hira mengenali wajah itu, wajah yang fotonya sudah terpasang di page board yang tertempel di dinding kamarnya.

'Si mata elang.' batin Hira.

Ketiga murid laki-laki yang berada di belakang nya pun tertawa dengan serempak, kecuali satu yang terlihat diam saja. Namun, Hira sama sekali tidak merasa bahwa itu adalah hal yang lucu.

"Thanks." Ucap Hira dengan suara datar, sembari mengambil buku nya yang dipegang oleh pria itu.

Hira pun berlalu dari hadapan pria itu, membuat pria itu dan keempat teman-temannya merasa kesal.

"Gila tuh cewek. Udah salah tapi gak minta maaf."

"Waw! Baru kali ini ada cewek yang cuekin lo, Gi"

"Kayaknya dia murid baru ya. Gue gak pernah liat sebelumnya."

Hira yang saat ini masih mencari ruang kelasnya pun malah menemukan ruang guru, maka iapun masuk kesana,

"Maaf, saya tidak menemukan ruang kelas saya." Ucap Hira.

Salah satu guru pun mendekatinya, "Kamu murid baru itu, ya? Pak kepala sekolah sudah memberi informasi kalau cucu dari temannya akan bersekolah disini."

 Hira pun mengangguk, "Benar. Itu saya."

"Baiklah, kamu ikut ibu saja ya. Kebetulan sekarang memang jam pelajaran nya ibu dikelas kamu."

Akhirnya Hira mengikuti langkah gurunya itu, semua orang yang ada disekolah itu tidak ada yang tau mengenai identitas Hira yang sebenarnya, Kecuali kepala sekolah disana karena Darma-kakeknya mengenal kepala sekolah Angkasa, Itulah mengapa Hasifa bisa dengan mudah masuk sebagai murid baru di sana.

Suasana sudah cukup sepi karena semua murid sudah masuk kedalam kelas mereka masing-masing. Ternyata ruang kelas yang sedari tadi Hira cari-cari itu berada dilantai tiga. Pantas saja ia tidak menemukannya.

"Nah, disini kelas kamu. Kelas 12 B." Ucap guru yang bersama Hira itu.

Hira pun mengangguk dan kembali mengikuti langkah sang guru untuk masuk kedalam kelas. Semua murid pun terdiam ketika melihat guru yang akan mengajar di kelas mereka sudah datang. Terlebih lagi, kehadiran Hira cukup menarik perhatian mereka termasuk pria yang tadi sempat bertemu dengannya.

"Selamat pagi anak-anak. Hari ini kalian akan mendapat teman baru. Silahkan perkenalkan diri kamu." Ucap guru itu,

Hira menghela nafasnya sejenak, ia menatap kedepan dan mulai membuka Suaranya.

"Hai. Perkenalkan nama saya Hira Janita."

Beberapa diantara teman-teman satu kelas nya pun menyapa Hira.

"Kamu sudah boleh duduk di kursi kamu ya." Ucap guru itu.

Hira mengangguk dan segera menempati kursi kosong yang disediakan untuknya. Tanpa ia sadari, pria itu masih menatap nya dengan lekat.

"Gi, dia masuk dikelas kita ternyata." Bisik teman pria itu yang duduk di belakang nya.

Hira duduk di bangku nomor tiga, dimana posisinya bersebelahan dengan pria yang tadi bertemu dengannya. Hira pun sempat melirik sekilas padanya, namun ia terlihat biasa saja. Pembawaan nya yang dingin membuat pria itu cukup penasaran dengannya.

Pelajaran pun dimulai, Hira mulai menyesuaikan diri untuk menjadi murid disana. Walau naluri nya sebagai seorang detektif tak bisa dibohongi, Hira ingin cepat-cepat menggali informasi sebanyak mungkin disana.

Empat jam berlalu, bel tanda istirahat pun berbunyi, akhirnya Hira bisa mengikuti mata pelajaran dengan baik. Walau ia harus membagi fokusnya terhadap penyelidikan yang akan ia lakukan. Satu persatu dari teman-teman sekelasnya pun keluar untuk menuju ke kantin. Sedangkan Hira dan seorang murid perempuan yang duduk di meja depan, menjadi orang terakhir yang keluar dari ruang kelasnya.

Gadis itu bangkit dari tempat duduknya sembari menoleh ke arah Hira, "Mau ke kantin bareng?" Tanya gadis yang memakai kacamata itu.

Hira merasa ragu untuk mengiyakan ajakannya, namun ia pun segera mengangguk. Mungkin ia harus secepatnya bisa beradaptasi dengan teman-temannya, hal itu juga akan memudahkan Hira untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai kasus pembunthan yang menimpa Adam.

Hira dan gadis itupun berjalan menuju ke kantin. Sesampainya disana, mereka mencari tempat duduk yang dekat dengan jendela.

"Oh iya, belum sempet kenalan. Nama gue, Kara." Gadis itu pun mengulurkan tangannya dan Hira menyambutnya, "Hira Janita, semoga lo nggak lupa."

"Iya, gue nggak akan lupa, kok. Mm, lo mau pesen apa, Ra?" Tanya Kara.

Hira berfikir hendak memesan apa, namun suasana kantin menjadi ramai karena kedatangan beberapa pemuda ke kantin.

"Astaga, Gio makin ganteng aja."

"Nggak, Andre lebih ganteng. Tapi Tico juga menarik."

Seruan dari beberapa murid perempuan pun terdengar di telinga Hira.

"Mereka emang selalu se-histeris itu ya, kalau liat mereka datang?" Tanya Hira pada Kara.

"Ya, setiap ngeliat anggota geng Wolves , pasti mereka bakalan heboh."

"Lebay." Guman Hira.

Kara pun terkekeh, "Kalau sampe kedengeran sama para pemuja Wolves, lo pasti udah di bully, Ra."

Hira tersenyum mengejek, "Emangnya apa istimewa nya mereka?"

"Mm, gue jelasin deh ya. Wolves itu bukan hanya geng motor biasa yang suka bikin kerusuhan. Mereka itu berbeda, Ra, Mereka sering touring ke pedesaan yang terkena bencana alam dan banyak kegiatan sosial lainnya deh. Gue perkenalin ya satu-satu dari anggota nya. Yang pertama adalah Gio Jhonatan, ketua dari Wolves dan seorang anak dari walikota. Lo pasti udah nggak asing kan lihat wajahnya, karena dia satu kelas sama kita. Gio juga aktif dalam olahraga, selain ketua Wolves, dia juga ketua tim Basket. Nilai akademik nya juga paling tinggi di kelas, selain tampan dia juga punya otak yang cerdas. Nggak heran kan kalau itu cewek-cewek pada naksir sama dia."

"Anggota kedua yang ditunjuk sebagai wakil ketua adalah Andre. Lo bisa liat dia yang sekarang duduk di samping kanan Gio, Pembawaan nya dingin dan misterius seperti Gio, dia bisa dibilang saudara kembar beda ayah dan ibu sama Gio. Tapi, Andre itu juga pintar dan aktif dalam organisasi siswa.

"Anggota ketiga adalah, Tico. Dia satu kelas juga sama kita, yang duduk di belakang Gio, Nah, kalo Gio dan Andre cenderung dingin, beda halnya sama Tico ini. Dia lebih sering bercanda, ramah, kadang juga ceplas-ceplos. Makanya dia gampang dapetin cewek, itu juga yang membuat dia di cap sebagai playboy dengan peringkat tertinggi di sekolah dan diantara anggota Wolves. Walaupun gitu, banyak cewek-cewek yang masih ngantri jadi pacarnya Tico.

"Next, anggota keempat adalah Ares, dia yang duduk di depan Andre Nah, kalao Ares itu orangnya pendiam dan dibilang anggota paling lurus diantara yang lain. Dia jarang ngomong apalagi berantem, Dia yang selalu jadi wasit kalo temen-temennya lagi pada berantem. Dia juga terkenal sebagai kutu buku yang tampan, nilai akademik nya juga tinggi seperti Gio, Jujur, dari semua anggota Wolves, gue lebih tertarik sama Ares. Karena dia bener-bener tipe pacar idaman gue banget.

Kara pun menghela nafasnya, sebelum ia membuka suara nya lagi.

"Oke, for the last. Anggota kelima adalah Rifki, Dia yang duduk deket Tico. Sifat dan sikapnya juga sama kayak Tico, Kalo Gio miripnya sama Leo, nah Rifki ini miripnya sama Tio. Tapi, si Rifki lebih galak dan lebih sering buat onar"

Setelah Kara selesai memperkenakan anggota Wolves satu persatu, suasana kantin kembali heboh dengan kedatangan ketiga murid perempuan yang bukan hanya cantik, melainkan juga memiliki pesona yang tak bisa dielakkan.

"Hm, kalau geng yang ini, lo bener-bener harus hati-hati, Ra. Mereka adalah Queen of!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!