POV Hasifa
17 tahun yang lalu...
Saat itu usiaku baru menginjak tujuh tahun, dimana aku harus mendapati kenyataan bahwa kedua orangtuaku tewas di tangan seorang pembunuh yang tidak aku ketahui siapa identitas nya. Yang aku tahu, ayah dan ibuku sudah terkapar bersimbah dar*h dirumah sederhana yang kami tempati. Rumah yang berada tak jauh dari daerah perbukitan.
Hidupku hancur bersamaan dengan gugurnya kedua orangtua ku. Entah kata apa yang pantas menggambarkan keadaan ku saat itu. Menangis pun rasanya tidak cukup untuk mengobati semua luka yang aku rasakan. Tidak ada sambutan hangat, tidak ada satupun yang memperdulikan nasibku yang malang. Hati teriris dan batin ku terasa diremas serta sesak yang menghimpit di dada. Untuk melanjutkan hidup pun, aku sudah tidak memiliki asa.
Hingga pada akhirnya aku diantarkan oleh kepala desa di tempat tinggalku ke sebuah panti asuhan bernama Permata Hati yang masih berada di daerah yang sama.
Hidupku langsung berubah saat aku harus menjalani hari-hari tanpa kedua orangtua ku lagi. Saat itu, Hasifa yang selalu ceria berubah menjadi seorang anak yang pendiam serta pemurung. Energi untuk melanjutkan hidup pun entah menguap kemana. Rasanya aku ingin ikut pergi saja bersama kedua orangtua ku.
Satu tahun berlalu...
Di pagi hari itu, semua orang berhamburan keluar karena desa tempat tinggal ku dilanda bencana alam. Semuanya sibuk menyelamatkan diri termasuk seluruh penghuni panti asuhan yang menjadi tempatku bernaung. Namun, dahsyat nya bencana itu mampu memporak-poranda kan semua tatanan desa, sehingga beberapa rumah menjadi hancur berkeping-keping. Untung saja, bencana itu tidak menghasilkan korban jiwa.
Kami berkumpul di tenda pengungsian untuk sementara waktu, hingga beberapa jam kemudian, bantuan dari berbagai organisasi serta pemerintah pun datang. Pakaian, makanan, minuman serta obat-obatan yang di tujukan untuk para korban bencana alam sudah sampai di lokasi.
Aku memiliki luka di lutut karena saat mencoba berlari menyelamatkan diri, aku terdorong oleh badan orang dewasa dan akhirnya terjatuh. Lututku mendarat di puing-puing bekas bangunan. Namun, entah kenapa aku tidak merasakan sakit, atau memang hidupku sudah terlanjur mati rasa. Lagipula, untuk apa aku berusaha menyelamatkan diri? Bukankah lebih baik aku gugur saja dalam bencana itu, sehingga aku bisa menyusul kedua orangtua ku.
Aku duduk di dalam tenda dengan memeluk kaki, aku melihat beberapa orang yang turun dari mobil bis, semua nya memakai baju berwarna putih dengan logo yang sama di bagian dada sebelah kiri nya. Aku terus menatap mereka, sampai akhirnya dua diantara mereka melihatku dan bergegas menghampiri ku.
"Hai, kami obati lutut kamu dulu, ya?" Ucap pria yang aku baca nama di tanda pengenal nya adalah Rizal Adipa.
Aku hanya terdiam di tempatku, membuat keduanya kebingungan dan saling pandang.
"Apa kamu tidak bisa bicara?" Selidik wanita yang kini aku baca namanya adalah Salsabila,
Karena aku masih tidak kunjung membuka suara, akhirnya mereka membuka kotak yang berisi berbagai macam obat. Perlahan, mereka mengobati lututku dan aku hanya menatap nya saja.
Mereka merasa aneh karena aku sama sekali tidak meringis kesakitan saat obat itu di oleskan.
"Sudah selesai, kalau kamu butuh sesuatu lagi, katakan saja ya pada kami."
Mereka sempat mengusap rambutku sebelum pergi untuk memeriksa warga yang lain di dalam tenda.
Sore hari, semua anggota organisasi yang menjadi relawan itu sedang beristirahat di tenda yang mereka buat khusus untuk menjadi tempat berkumpul sekaligus tempat tidur di malam hari.
"Zal, kamu ngerasa aneh gak sih, sama anak perempuan yang kita obati pertama kali itu? Dia sama sekali gak kesakitan waktu lutut nya kita obati. Tatapan mata nya juga aneh, kosong dan seperti tidak bernyawa." Ujar Salsa
Rizal mengangguk setuju, "Mungkin dia trauma karena kejadian ini."
Beberapa hari berlalu, semua korban bencana alam mulai bisa beradaptasi dengan kondisi yang terjadi. Para relawan yang masih ada disana pun membagi kan makanan kepada kami satu-persatu. Namun, entah kenapa aku malah duduk di dalam tenda dan tidak berselera untuk mengambil makanan itu.
Disaat anak-anak seusiaku mulai bermain dengan sangat ceria pun, aku tidak tertarik untuk bergabung. Dan sikapku yang seperti itu kembali mengundang perhatian dari kedua orang yang kemarin mengobati lutut ku.
"Hai, kamu tidak ingin ikut bermain? Mm, makanan nya kenapa tidak di ambil?" Tanya wanita bernama Salsa sambil melihat jatah makanan ku belum tersentuh sama sekali.
Tak lama, para relawan yang lain juga datang menghampiri ku. Dua orang wanita dan tiga pria yang salah satunya pria yang kemarin mengobati lutut ku.
"Dia anak yang kamu ceritakan itu, Sal?" Tanya seorang wanita bernama Kia.
"Iya, dia diam terus dan makanan nya juga gak diambil."
"Kamu ingin makan yang lain?"
Lagi-lagi, aku tidak membuka suara. Membuat mereka menghela nafas dengan kecewa. Tak lama, Bu Lara yang menjadi pengurus di panti asuhan pun mendekat.
"Maaf, ada apa ya?" Tanya Bu Lara karena melihat ku di kerumuni banyak orang.
Mereka pun menoleh dan lekas berdiri, "Mm, adik ini tidak mau makan apalagi bermain. Dia juga tidak mau bicara. Maaf, apakah dia memang tidak bisa bicara?" Tanya Salsa.
Bu Lara menatap ku sekilas dan ia menghela nafasnya, "Mari kita bicara di tempat lain. Saya akan ceritakan semuanya."
Keenam relawan itupun mengikuti Bu Lara, sedangkan aku masih diam di tempat.
Bu Lara dan keenam relawan itu duduk di tenda tempat para relawan berkumpul.
"Saya, Lara. Pengurus panti asuhan Permata Hati, tempat dimana Hasifa tinggal selama setahun ini."
Keenam relawan itu saling melempar tatapan, "Hasifa?" Tanya mereka serempak.
Bu Lara mengangguk, "Benar. Gadis yang kalian temui tadi itu bernama Hasifa, dia baru setahun tinggal di panti asuhan setelah kedua orangtua nya meninggal di waktu yang sama."
"Kecelakaan?" Tanya Rizal.
Bu Lara lalu menggeleng pelan, "Bukan, Kedua orangtuanya meninggal karena dibunuh oleh seseorang yang tidak di ketahui identitas nya sampai sekarang."
Keenam relawan itupun terkejut dengan bola mata yang melebar.
"Hasifa menjadi seorang anak yang pendiam setelah kejadian itu. Selama tinggal di panti asuhan pun dia terus diam menyendiri. Jarang sekali dia mau membuka suara nya, rasa trauma akan kehilangan kedua orangtua nya akan selalu membekas di dalam ingatan nya. Karena Hasifa sendiri lah yang pertama kali menemukan kedua orangtua nya tew's bersimbah dar*h di dalam rumah mereka. Semangat dalam dirinya sudah redup dia tidak ingin melanjutkan hidupnya, saya sendiri selalu menangis jika mengingat kisah hidupnya."
Ketiga relawan wanita itu kini sudah menitikkan airmata mereka, sedangkan para pria hanya bisa menunduk seraya merasa iba akan nasib yang Hasifa jalani.
Keesokan harinya, aku kembali di hampiri oleh keenam relawan itu, kini aku sampai mengenal semua namanya.
Rizal Sanopati, Salsabila, Kia Ayunda, Leonion, Diko Dikta dan Tiara Ayu. Keenam nya berusia 25 tahun saat itu. Ternyata mereka adalah sepasang kekasih sejak SMA, dan di diantara mereka, baru Rizal dan Ika saja yang sudah menikah, Salsa dan Leo serta Diko dan Tiara masih belum meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.
"Hasifa, kamu tahu tidak, apa pekerjaan seorang detektif?" Tanya Rizal.
Aku pun menggeleng karena memang tidak mengerti dengan yang di ucapkan nya.
"Detektif adalah orang yang bertugas mengungkap atau menyelidiki sebuah kasus, termasuk kasus pembunthan."
Aku yang semula tidak tertarik dengan pembicaraan itupun mendadak mengangkat wajahku.
"Apa pembun'h kedua orangtua ku bisa di temukan juga?" Ini pertama kalinya aku membuka suara di hadapan mereka. Hal itu pun membuat mereka tersenyum karena pada akhirnya aku mau berbicara.
"Bisa. Tentu saja bisa! Papanya Om Rizal adalah seorang detektif yang hebat. Kamu mau berkenalan dengan nya?"
Aku langsung mengangguk dengan begitu semangat, energi ku yang semula hilang entah kemana, kini sudah kembali lagi. Tekad ku saat itu adalah bertemu dengan detektif hebat yang di bicarakan oleh pria bernama Rizal itu. Aku ingin pembun'h kedua orangtua ku bisa di temukan dan berakhir di hukum dengan setimpal. Setidaknya, aku bisa melakukan hal terakhir untuk mendiang kedua orangtua ku.
Sebuah tawaran pun diberikan, aku diajak pergi ke kota tempat detektif itu tinggal. Aku meninggalkan desa yang kini sedang dilakukan proses pemulihan pasca bencana alam, Sedangkan aku pergi dengan keenam relawan itu ke kota tempat tinggal mereka.
Sesampainya di kota metropolitan itu, aku dibawa ke sebuah rumah yang begitu besar dan mewah, rumah yang biasa aku lihat di televisi, kini terpampang nyata di depan mata ku.
"Ayo, kita masuk." Ajak pria bernama Rizal itu, Aku pun menurut saja karena di dala fikiranku hanya terbersit bagaimana caranya menemukan pembun'h dari kedua orangtua ku. Sampai setelah aku menginjakkan kaki ke dalam rumah, aku melihat seorang pria paruh baya yang sedang duduk di sofa sambil membaca koran,
Pria itu menatap padaku dengan kening yang berkerut, aku sempat takut dan ragu untuk mendekat ke arahnya.
"Pa, ini Hasifa, Anak yang Rizal ceritakan kemarin lewat telepon."
"Jadi ini, calon detektif hebat penerus Papa? Kemarilah, Nak. Saya sudah lama menunggu mu."
Kia menarik lenganku untuk mendekat pada pria itu, "Tidak usah takut, Hasifa, Dia pria yang baik, kalau dia jahat mungkin aku tidak akan mau jadi menantunya." Bisik Kia di telingaku.
Kini, posisi ku sudah berada dekat dengan pria itu.
"Siapa nama mu?" Tanya pria itu dengan serius.
"Hasifa."
"Lengkapnya?"
Aku pun menggeleng, "Hanya Hasifa saja."
Pria itupun mengangguk pelan, "Mulai sekarang namamu Hasifa Putriana Sanopati. Kamu akan menjadi bagian dari keluarga ini, Putraku Rizal dan menantuku Kia akan menjadi orangtuamu, dan saya Darma Sanopati adalah Kakek mu."
Aku terdiam mendengar ucapan pria itu, apakah benar kalau aku akan menjadi bagian dari keluarga ini? Disaat aku sudah terbiasa hidup sebatang kara setelah kepergian orangtua kandungku?
"Kakek akan mengajari kamu bagaimana caranya menjadi seorang detektif yang handal. Kelak, kamu sendiri yang akan menemukan siapa pembunth dari kedua orangtuamu, Hasifa."
Aku menjalani hidup di kota itu sebagai Hasifa Putriana Sanopati, dengan orangtua baru dan keluarga baru. Tidak disangka bahwa yang mengakui ku sebagai anak bukan hanya Rizal dan Kia yang sudah aku panggil Ayah dan ibu itu, tetapi Salsa dan Leo serta Diko dan Tiara pun ingin menjadi orangtua ku. Dengan panggilan yang berbeda. Mami Salsa dan Papi Leo, Papa Diko dan Mama Tiara begitulah aku memanggil mereka. Namun, namaku resmi masuk di keluarga Sanopati karena hanya Ayah Rizal dan Bunda Kia yang sudah resmi menikah dan memennuhi syarat untuk bisa mengadopsi seorang anak.
Awalnya, aku merasa heran, mengapa pasangan muda itu mau mengadopsi anak yang sudah berumur 8 tahun, sedangkan usia pernikahan mereka saja baru menginjak satu tahun. Mereka bahkan masih pantas untuk aku panggil Kakak.
Singkatnya, kini aku memiliki orangtua angkat berjumlah tiga pasang. Dengan kasih sayang yang sama, mereka selalu ada untukku. Mengajari ku banyak hal dan membuat hidupku kembali berarti. Hingga saat usiaku menginjak 17 tahun, dimana aku baru menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah atas, aku mulai bergerak untuk mencari pembuh yang telah membuat kedua orangtua ku pergi untuk selamanya.
Dengan berbekal ilmu yang aku dapat dari Kakek Darma, aku cukup bisa mengerti dengan cepat. Sehingga aku dengan mudah menemukan pembun'h itu yang tak lain adalah pamanku sendiri, adik dari mendiang Ayahku. Masalah yang memicu tindakan yang dilakukan pamanku adalah tentang harta warisan yang bahkan jumlah nya tidak seberapa, namun pamanku yang serakah berniat ingin menguasai nya sendiri.
Sampai ia gelap mata dan tega membunth kakak kandung serta kakak iparnya sendiri. Pantas pamanku terlihat biasa saja saat mendengar berita tentang kedua orangtuaku, aku menangis histeris pun tak ia pedulikan sama sekali, jangankan merangkul dan memeluk ku, menganggap ku ada saja tidak. Bahkan, ia sama sekali tidak berniat menahan ku saat kepala desa akan mengantarkan ku ke panti asuhan.
Alasan yang ia bilang adalah, ia belum mampu menafkahi ku. Padahal bisnis toko sembako nya masih berjaya kala itu.
"Apa paman sudah menikmati hasil dari apa yang paman perebutkan dengan Ayahku dulu?" Tanya ku saat berhadapan dengan pria itu di kantor polisi.
"Hahaha. Hasifa, Hasifa... Kamu tidak pernah bisa rela kedua orangtua mu itu m4ti? Andai saja Ayahmu dulu merelakan apa yang aku minta, mungkin kamu tidak akan jadi yatim piatu."
"Andai saja Ayahku tidak memiliki adik sepertimu, pasti dia masih hidup dan aku tidak akan menjadi yatim piatu. Sadarlah, orang yang harusnya tidak ada di dunia ini adalah kau, Paman. Bahkan mulut ku merasa berdosa memanggil mu dengan bentuk rasa hormat seperti itu. Andai saja kejadian itu terjadi saat aku sudah dewasa, mungkin pisau itu akan menyerang perutmu melalui tanganku. Syukurlah, saat itu aku masih kecil dan hanya bisa menangis. Tapi aku pun bersyukur karena kau panjang umur, setidaknya kedua orangtua ku bisa tenang di alam sana sambil menyaksikan mu yang terkurung di dalam jeruji besi." ujar Hasifa sambil melayangkan tatapan penuh intimidasi serta seringaian khas nya.
Flashback end...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments