Kevin kembali terperanjat. Matanya agak melebar menatap pria yang kemungkinan besar usianya sama dengan usia ayahnya. Rasa penasaran pun tumbuh dalam benaknya.
"Apa Tuan sedang bercanda?" tanya Kevin. "Aku yakin, kalau anda bukan seorang gelandangan."
Pria itu lantas mengembangkan senyumnya. "Setelah kamu mengetahui kejadian yang menimpaku, apa kamu yakin kalau aku akan pulang dengan selamat? Belum tentu juga kan, kalau keluargaku bisa dipercaya?"
Untuk kesekian kalinya, rasa tertegun nampak jelas di wajah Kevin. Berbicara tentang keluarga, Kevin juga kadang masih tidak percaya dengan perlakuan keluarganya sendiri.
"Tapi kita tidak saling kenal, Tuan. Apa anda tidak takut kalau saya juga tidak bisa dipercaya?"
Pria itu tersenyum masam dan mengalihkan pandangan ke arah lain beberapa saat. "Sepertinya, aku bisa selamat berkat bantuanmu, itu adalah bukti yang cukup kalau kamu bisa dipercaya."
Kevin terdiam. Namun matanya menatap lekat pria yang hendak berbaring di atas brangkar.
"Sebaiknya kamu istirahat dulu. Kita bicarakan besok lagi," ucap pria itu lagi.
Kevin mendengus pelan. "Ya sudah, kalau begitu, saya permisi dulu," Kevin memilih bangkit dan segera keluar dari ruangan yang bisa digunakan untuk merawat empat pasien.
Pria itu tidak merespon dan dia sengaja memejamkan matanya. Sedangkan Kevin, memilih beristirahat di kursi panjang yang ada di depan ruang rawat inap.
"Dia minta bantuanku lagi? Nggak salah?" gerutu Kevin begitu mendaratkan pantatnya di atas kursi. "Bukannya aku nggak mau bantu, tapi..." Kevin menggantung ucapannya. "Huft."
Anak muda itu lantas menghembuskan nafasnya secara kasar. Kemudian, dia mengedarkan pandangan ke sekitar untuk beberapa saat.
"Apa mungkin, pria itu juga bermasalah dengan keluarganya? Tapi kalau diperhatikan, kayanya dia bukan orang biasa," Kevin pun terus bertanya-tanya. "Tapi kasihan juga yah? Kalau ada yang ingin menghilangkan nyawanya, berarti Tuan itu, memang bukan orang sembarangan."
Kevin pun terus bergumam dan menerka-nerka atas semua yang bermunculan dalam benaknya.
Sedangkan di sisi lain. Tepatnya di sebuah kamar yang di dalam rumah mewah.
"Besok jangan lupa, suruh orang rumah buat beresin sisa barang-barangnya Kevin, Ma," ucap Wiguna Dirgantara sembari merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
"Papa serius dengan ucapan Papah?" Sang istri yang biasa dipanggil Maya nampak kaget dengan perintah suaminya.
"Tidak ada yang bercanda dengan keputusan saya," ucap pria yang saat ini sedang mengecek ponselnya. "Besok Papa akan nyuruh pengacara, untuk menghapus nama Kevin dari daftar anggota keluarga Dirgantara."
Sang istri yang sedang bercermin seketika tersenyum. "Tapi kan, Papa tahu, ada beberapa rekan bisnis Papa yang mengetahui kalau Kevin anak Papa."
"Biarin aja," balas Wiguna. "Yang penting mereka tahu kalau Papa tuh orangnya tegas. Meskipun Kevin anakku sendiri. Kalau dia salah ya tetap salah."
Maya mengangguk samar dan hatinya sangat senang mendengarnya. "Tapi kalau video itu sudah menyebar bagaimana? Apa lagi kata Argo, hampir semua teman-teman di kampus melihat kejadian itu?"
"Biar nanti itu asisten Papa yang mengurusnya," jawab Wiguna. "Sudahlah, Papa mau tidur."
"Baiklah," balas Maya. "Aku mau ke kamar Argo sebentar, Pa."
Wiguna tidak menyahut. Dia membiarkan sang istri keluar kamar. "Dasar, anak haram," gumam Dirgantara penuh kilatan amarah di matanya.
Sedangkan Maya, melangkah menuju kamar anak kandungnya dengan hati yang bahagia. Begitu sampai, wanita itu lantas mengetuk pintu dan memanggil anaknya.
Kebetulan Argo belum tidur. Anak muda itu pun mempersilahkan sang Ibu untuk masuk.
"Gimana keadaan Papa sekarang, Ma?" tanya Argo beberapa saat kemudian setelah basa basi sejenak.
"Papa masih marah, tapi kali ini marahnya Papa benar-benar serius. Dia beneran akan menghapus nama Kevin dari keluarga dirgantara," jawab Maya riang gembira.
"Baguslah," ucap Argo. "Setidaknya, kita bisa menyingkirkan orang yang paling berpeluang menghambat rencana Mama."
"Betul sekali," balas wanita yang kini duduk di sofa dekat anaknya. "Maka itu kamu harus berusaha lebih giat lagi, agar kamu bisa mengambil hati Papa dan mendapat warisan paling banyak. Kamu juga harus bisa menduduki kursi presiden direktur menggantikan Papamu."
"Kayanya, kalau itu nggak mungkin deh, Ma," ucap Argo sembari menatap wanita yang telah melahirkannya. "Selama masih ada Kak Vano dan Kak Vina, kayanya aku nggak akan bisa menggantikan posisi Papa."
Maya sontak mendengus. "Kata siapa tidak bisa? Bisa tidak bisa, kamu harus bisa dong. Urusan Vina sama Vano, biar Mama yang tanganin. Mereka kan sudah tunduk dibawah kaki Mama. Kamu nggak perlu khawatir."
"Baguslah," Argo pun tersenyum senang. "Kalau gitu, aku bisa tenang sekarang."
Maya tersenyum tipis. "Perjuangan kita tidak akan sia-sia, Sayang. Yang penting kita harus sabar dan melakukan semua rencana kita dengan sangat matang. Mama sudah tidak sabar, pengin menyaksikan Dirgantara hancur, seperti dia menghancurkan Papamu dulu."
Argo pun mengangguk setuju.
Sementara itu di tempat lain, tepatnya, di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang remang-remang.
"Bagaimana? Apa rencana kita berjalan sesuai rencana?" tanya seorang pria dengan tubuh terlilit Handuk putih di pinggangnya.
Di sisi kanan kiri pria itu, duduk dunia wanita dengan pakaian super seksi, bergelayut manja dan sangat menggoda. Dua wanita itu bahkan tak segan, mengusap gundukan di balik handuk pria itu.
"Beres, Tuan," jawab seorang pria lainnya sambil memperlihatkan sebuah video pada pria berparas maskulin di sana. "Semua berjalan sesuai dengan rencana kita."
Pria berbadan tetap dan kekar itu tersenyum sinis. "Apa kamu sudah memastikan kalau Hernadez turut terbakar?"
"Kita belum memastikan, Tuan."
"Apa!" sentak pria bertubuh kekar itu dan wajahnya langsung menunjukan amarahnya. "Kenapa kalian tidak memastikannya?"
Dua pria yang menjadi anak buah orang itu, saling tatap sejenak lalu mereka saling menyeringai.
"Anda tidak perlu khawatir, Tuan. Kami yakin, Tuan Hernandes tidak akan bisa sadarkan diri dalam waktu yang lama," jawab sang anak buah.
"Benar, Tuan," anak buah yang lain turut bersuara. "Obat bius yang digunakan untuk menjebak Tuan Hernandes, merupakan obat bius dengan dosis tinggi. Meskipun Tuan Hernandes tidak langsung kehilangan nyawa, setidaknya dia juga butuh waktu lama untuk siuman dari pengaruh obat itu."
Pria bertubuh kekar itu terdiam beberapa saat. Matanya menatap tajam dua anak buahnya dan pikirannya mencerna informasi yang baru saja dia dengar.
"Awas saja kalau kalian sampai gagal, kalian harus membayar mahal atas kegagalan yang kalian lakukan."
"Siap, Tuan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Tyas Djuliarko
ayooo Thor semangat..ku tgg up nya
2025-05-08
2
Yuliana Purnomo
hadeeehhh ternyata ibu tiri juga anak nya klop,,,musang berbulu domba
2025-05-17
0