Bab 4

Hujan gerimis turun dengan lembut di luar sebuah toko kue. Di bawah lampu temaram yang menyinari trotoar basah, Mia berdiri sambil memeluk kotak kue yang dihias pita merah muda. Di permukaannya, tertulis kalimat sederhana: “Happy Anniversary.”

Di tangan lainnya, ia menggenggam sebuah kotak kecil beludru berwarna hitam. Di dalamnya ada sepasang jam tangan pasangan yang ia pilih sendiri dengan hati-hati berminggu-minggu sebelumnya.

Mia menatap pantulan dirinya di etalase toko. Senyuman tipis menghiasi wajahnya.

"Meskipun nanti malam dia tidak akan pulang… setidaknya aku sudah menyiapkan semuanya. Aku yakin… ini akan menjadi malam yang hangat."

***

Di rumah itu, aroma bulgogi yang baru saja matang menyambut kehangatan suasana. Dapur tampak sibuk meski hanya satu orang yang memasak. Mia menyelesaikan sentuhan terakhir pada japchae, lalu menata mangkuk kimchi jjigae di atas meja makan yang telah dihias sederhana, dua piring porselen, dua set sendok dan sumpit perak, serta lilin kecil yang menyala temaram di tengah meja.

Ia berdiri sejenak, menatap meja makan itu dengan rasa bangga.

"Bulgogi, kimchi jjigae, dan japchae… semua makanan favorit Christopher," gumamnya pelan, sambil merapikan ujung taplak meja.

Tak lama kemudian, langkah kaki pelan terdengar dari arah ruang tengah.

"Nona Mia…" suara lembut Bibi Im terdengar khawatir, "ini sudah larut malam. Mungkin… Tuan Chris tidak akan pulang malam ini. Anda sebaiknya makan terlebih dahulu."

Mia menoleh ke arah jam dinding. Jarum panjang dan pendek hampir bertemu di angka dua belas.

"Sudah hampir tengah malam…" bisiknya.

Ia menggeleng pelan dan tersenyum pada sang pengurus rumah tangga. "Tidak apa-apa, Bibi. Aku akan tetap menunggunya pulang. Jika dia datang nanti… tolong panaskan kembali makanannya, ya?"

Tiba-tiba, suara deru mobil terdengar dari luar. Mia sontak menoleh lalu matanya berbinar. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari kecil ke arah pintu utama.

"Kakak!" serunya dengan penuh harap.

Pintu telah terbuka, memperlihatkan sosok Christopher berdiri di ambang pintu, tubuhnya sedikit basah oleh gerimis hujan. Ia memegang sebuah map, dan wajahnya tampak letih namun terlihat dingin. Pandangannya menyapu ruangan, lalu berhenti di meja makan yang tertata rapi.

Matanya tidak menunjukkan rasa terharu, hanya ketidakpedulian yang menusuk.

"Apa semua ini?" tanyanya dengan datar, ia tak mengerti.

Mia tergelak kecil, mencoba meredam rasa gugupnya. Ia meraih kotak kecil di atas meja dan mendekat kearahnya, kemudian ia menyodorkannya dengan senyuman yang dipaksakan.

"Aku… aku membeli jam tangan pasangan. Ini hadiah… untuk kita. Aku yang memilihnya sendiri, Kak. Kita bisa memakainya bersama—"

"Aku ingin kita bercerai."

Kalimat itu meluncur begitu saja. Dingin. Dan tanpa jeda.

Mia seketika membeku. Jemarinya gemetar. Kotak jam di tangannya nyaris terjatuh jika saja ia tidak segera menggenggamnya erat-erat.

"A-apa?" suara Mia pelan, ia tidak percaya.

Seperti seluruh malam yang ia bangun dengan cinta, mulai dari meja makan, kue, masakan, dan harapan, semua itu hancur tanpa sisa dalam satu kalimat.

Christopher meletakkan map cokelat itu di atas meja dengan gerakan pelan.

"Ini surat cerai kita," katanya datar. "Kau hanya perlu menandatanganinya."

Mia menatap map itu seakan itu adalah bom waktu yang siap meledak. Jemarinya gemetar, dan suaranya nyaris tak terdengar ketika ia bertanya, "Kenapa… kenapa kau ingin bercerai?"

Christopher menatapnya tajam. Sorot matanya tidak menunjukkan keraguan.

"Sekarang, kau yang harus menjawab pertanyaanku," katanya. Langkahnya mendekat, "Bagaimana bisa kau merasa pantas menjadi istri seorang direktur?"

Mia mengerutkan kening, bingung dengan arah pembicaraan yang tiba-tiba menusuk. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Christopher sudah melanjutkan dengan nada yang lebih tajam, dan penuh penghinaan.

"Sebelum kita menikah… kenapa kau datang ke rumahku?"

Mia mengedip pelan. "A-apa maksudmu?"

Christopher berdiri hanya beberapa langkah darinya sekarang, matanya menatap lurus ke dalam matanya.

"Kau datang ke ibuku. Kau mendesaknya untuk menemui Lusy. Memaksa Lusy agar putus denganku. Begitu, bukan?"

Seketika dunia Mia terasa berhenti. Jantungnya berdegup kencang, tapi tubuhnya membeku. Ia membelalak kan matanya tak percaya.

"Jadi… itu alasanmu?" bisiknya, seakan suaranya hanyalah bayangan dari luka yang mendalam.

Kalimat Christopher berikutnya datang seperti peluru.

"Kau memberitahu ibuku disaat aku akan menikah dengan Lusy. Kau telah menipunya. Membuatnya berpikir bahwa Lusy bukan perempuan yang pantas untukku… hanya supaya kau bisa menggantikannya!"

Suaranya naik satu oktaf, tak lagi bisa menyembunyikan kemarahannya. "Apa kau tidak lelah berpura-pura polos di depanku, sementara aku tahu kau sebenarnya sangat kejam?"

Mia terdiam. Wajahnya memucat, bibirnya gemetar, dan matanya dipenuhi air mata yang belum tumpah. Hatinya terasa nyeri mendengar tuduhan pria itu, itu terlalu kejam dari kenyataan yang ia tahu.

"Kak… benarkah… kau berpikir seperti itu tentangku?" suaranya nyaris tercekik.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan tangis yang mulai mendesak untuk keluar.

"Serendah itukah aku di matamu?"

Christopher menggeleng dengan senyuman sinis, menertawakan kepolosannya.

"Buktinya sudah jelas." Ia mengangkat kedua tangannya, seakan menyajikan fakta yang tak terbantahkan. "Malam itu, Lusy tiba-tiba memutuskan untuk pergi dariku. Dia menghilang tanpa jejak. Dan aku… aku telah kehilangan segalanya setelah itu."

Tangannya mengepal. Matanya menatap kosong ke arah ruang makan seakan sedang kembali ke masa itu.

"Aku minum sampai tidak sadar… dan ketika aku terbangun—" suaranya bergetar dengan amarah dan kekecewaan yang pekat, "—kau ada di pelukanku saat itu. Dan tubuhku penuh dengan cupang!"

Kata-kata itu menghantam Mia seperti tamparan. Udara keluar dari paru-parunya seperti dipaksa. Ia menunduk, tubuhnya terasa limbung, dan tak ada satu pun kata yang bisa keluar dari bibirnya.

Hari ulang tahun pernikahan mereka seharusnya menjadi malam yang penuh cinta.

Mia menggeleng dengan lemah. Ia menjawab dengan suara bergetar.

"Itu... itu semua kesalahpahaman, Kak. Aku tidak pernah—"

Namun Christopher memotongnya tanpa ragu. Nada suaranya berubah menjadi hinaan yang menusuk seperti belati.

"Dan saat aku ingin marah padamu, ibuku tiba-tiba masuk ke dalam! Kau berpura-pura terlihat polos, Mia. Tapi kenyataannya, kau sangatlah licik!"

Ia tertawa mengejek, namun tidak ada sedikit pun kebahagiaan dalam tawa itu. Hanya kepahitan dan kekecewaan.

"Berikan aku semua bukti kalau kau tidak bersalah! Tidak punya, kan?"

Matanya menatapnya dengan jijik.

"Aku sungguh muak denganmu, Lee Mia..." ucapnya dengan tajam. "Kau bukan manusia. Kau adalah monster!"

Mia tersentak. Hatinya remuk oleh setiap kata yang meluncur dari mulut lelaki yang ia cintai dengan sepenuh jiwa. Air matanya menggantung di pelupuk matanya, dan saat ia membuka mulut, suaranya nyaris menjadi jeritan.

"Aku... aku tidak mau bercerai! Sampai kapan pun, aku tidak akan menandatanganinya!"

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Mia. Tubuhnya terhuyung dan jatuh menghantam lantai yang dingin. Pipinya memerah terasa terbakar, namun rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan rasa nyeri di dalam hatinya.

Christopher menatapnya dari atas dengan pandangan yang dingin dan tanpa empati.

"Seharusnya kau sadar sejak awal, posisi ini... seharusnya adalah milik Lusy."

Ia melangkah mendekat, wajahnya membungkuk sejajar dengan wajah Mia yang masih tertunduk di lantai.

"Dan kau... tidaklah pantas berada di sisiku!"

Matanya menyipit, suaranya semakin tajam.

"Kau pikir dengan terus menahanku di sisimu, aku akan tertarik padamu? Melihat wajahmu saja sudah membuatku muak!"

Mia tidak membalas ucapannya. Ia hanya diam, lalu kedua tangannya menyentuh pipinya yang berdenyut nyeri. Matanya menatap kosong, seolah cahaya didalam dirinya telah padam. Perlahan, dengan tubuh yang gemetar, ia berdiri. Tangannya terulur, mengambil map yang berisi surat perceraian itu.

Lalu… ia merobeknya.

Suara robekan kertas menggema di dalam ruangan itu. Potongan-potongan kertas itu beterbangan.

Christopher mencibir dengan sinis. "Kau pikir dengan merobek surat itu, kita tidak akan jadi bercerai? Jangan lupa, perusahaan ayahmu masih ada di tanganku. Aku bisa memaksamu menandatanganinya kapan pun yang aku mau!"

Mia menatapnya dengan mata yang kini tidak hanya penuh dengan air mata, tapi juga luka yang mendalam.

"Christopher… kau pikir aku tidak tahu alasan sebenarnya kenapa kau tiba-tiba membahas kejadian empat tahun yang lalu?"

Christopher terdiam ditempatnya. Rahangnya tiba-tiba mengeras. Tapi ia tidak menyela ucapan Mia.

"Kau ingin bercerai karena Ahn Lusy, bukan?"

Kata-kata itu menggantung di udara. Suasana menjadi sunyi sesaat. Christopher tidak menjawabnya, namun sorot matanya berkedip, membuktikan bahwa kalimat itu memang tidak salah.

Mia menatap ke bawah. Bibirnya bergetar saat suara berikutnya keluar.

"Dia sudah kembali, kan?" Ia menghela napas. "Dan kau ingin menyingkirkanku... agar kau bisa kembali lagi padanya. Tanpa ada yang menuduhnya sebagai orang ketiga."

Ia mengangkat wajahnya. Air matanya kini jatuh satu per satu dari matanya yang sudah tidak bisa menahannya lebih lama.

"Kau tidak ingin dia menderita… jadi kau lebih memilih untuk membuangku."

Christopher terdiam. Pandangannya goyah untuk pertama kalinya pada malam itu. Tetapi wajahnya tetap keras. Ia tidak membantah… namun diamnya itu justru berbicara lebih keras daripada seribu kata.

.

.

.

.

.

.

.

- TBC -

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!