Bab 2

Mia sedang duduk di tepi ranjang, tubuhnyapun sedikit gemetar. Tangannya yang berdharah ia balut dengan sehelai kain tipis, namun rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan rasa sesak di dadanya yang menghimpitnya sejak tadi.

"Aku masih hidup…" bisiknya pelan, matanya menatap kosong ke arah dinding. "Aku baik-baik saja. Tidak ada kegelapan di sini…"

Namun ia tahu, kalimat itu hanyalah kebohongan yang ia katakan pada dirinya sendiri. Kegelapan tidak selalu hadir dalam bentuk bayangan saja. Terkadang, ia seakan hidup di dalam luka yang tidak terlihat.

Tangannya bergerak pelan menyentuh dadanya yang terasa nyeri. Napasnya begitu berat, seolah udara di ruangan itu tak cukup untuk menghidupinya. Kemudian kilasan masa lalu tiba-tiba muncul, mengoyak kesadarannya seperti duri yang telah mencabiknya secara perlahan.

"Sudah empat tahun…" gumamnya lirih. "Aku mempertahankan pernikahan ini. Menahan setiap hinaan dan perlakuan kejamnya…"

Ia memejamkan mata, dan dalam gelap itu, sebuah kenangan muncul dengan tajam, saat dimalam pernikahan mereka.

Di tengah cahaya lampu kristal yang berkilauan, tamu-tamu berdiri dengan pandangan terpana. Christopher, suaminya, berdiri dengan wajah dingin dan ditangannya menggenggam segelas anggur merah.

Tiba-tiba, tanpa sepatah kata, Christopher menuangkan isinya ke atas kepala Mia.

Setelah itu, terdengar gelak tawa dan bisikan tajam langsung menggema di sekeliling mereka.

"Apa kau lihat itu? Dia menuangkan anggur merah kepada istrinya sendiri…"

"Mungkin dia hanya mabuk. Tapi, siapa sih Mia itu sebenarnya?"

"Katanya dia menikah hanya karena demi kekayaan keluarga Lee…"

Mia membuka matanya. Tanpa sadar air matanya telah membasahi pipinya, namun tidak disertai dengan isakan tangis. Dalam keheningan itu, ia menunduk dan menatap pada lantai, seolah di sanalah tempat terkubur seluruh harga dirinya.

"Mereka tidak tahu…" bisiknya nyaris tak terdengar. "Tidak ada yang tahu… Bahwa aku… sangat mencintainya…"

Tangan mungilnya menggenggam erat seprai putih, seakan ia sedang berusaha mencari pegangan di tengah pusaran luka yang kian mendalam. Jantungnya terasa sangat berat, dan hatinya kembali retak oleh kenyataan pahit yang selalu saja menamparnya: ia bukanlah Lusy.

Ia tidak akan pernah bisa menjadi Lusy.

"Christopher…" suaranya lirih. "Sampai kapan aku harus terus membayar semua ini hanya karena aku bukan dirinya?"

Keheningan menyelimuti kamar itu. Hanya suara detik jarum jam yang terdengar, menandai bahwa waktu terus berjalan, sementara hati Mia masih terperangkap di masa lalu yang belum juga sembuh.

***

Lampu diruang makan menyala dengan hangat, dan menciptakan suasana rumah itu tampak terlihat baik-baik saja. Di meja makan sudah tertata rapi hidangan yang lengkap, namun disana hanya satu kursi saja yang terisi. Christopher duduk sendirian, matanya menatap piringnya tanpa minat.

Langkah pelan terdengar menuruni tangga, lalu berhenti di ambang pintu.

"Nona…" panggil Bibi Im dengan suara ragu.

"Iya, Bibi," jawab Mia pelan, ia tersenyum lemah sambil melangkah masuk.

Mia menarik kursi di sebelah Christopher kemudian duduk perlahan. Suasana di ruangan itu mendadak sunyi. Tidak ada percakapan apapun. Hanya bunyi sendok garpu yang bertemu dengan piring, terdengar seperti dentingan waktu yang terlalu tajam di malam itu.

Kemudian aroma samar dari o-bat luka mulai tercium di udara. Christopher melirik ke arahnya, kemudian raut wajahnya langsung berubah menjadi jijik. Ia mengerutkan kening, menatap Mia dari ujung kepala hingga tangan yang dibalut dengan perban.

"Bau o-batmu sangat men-usuk hidungku," ucapnya dingin. "Melihat wajahmu yang bengkak saja membuatku mual. Apa kau ini tidak sadar, sejelek apa penampilanmu sekarang?"

Mia menundukkan kepala. Jemarinya mencengkeram sendok di tangannya, seakan jika dia tidak menggenggamnya dengan erat, maka hatinya yang rapuh akan jatuh berkeping-keping di lantai sekarang juga. Ia menahan napas sejenak sebelum menjawabnya.

"Aku sudah meminum o-bat. Nanti akan aku kompres dengan es. Aku akan pastikan… bekasnya tidak akan terlihat lagi."

Christopher tidak menanggapinya. Tatapannya lurus ke depan, begitu dingin dan tidak peduli.

"Aku akan kembali ke rumah Ibu selama beberapa hari," katanya kemudian. "Pastikan tidak ada satu pun bekas luka yang terlihat saat aku kembali nanti. Kalau sampai Ibu melihatnya… kau tahu aku tidak akan diam saja."

Mia hanya mengangguk pelan. Tidak ada keberanian yang tersisa untuk menatap wajah suaminya.

Beberapa saat kemudian, Christopher menatap layar ponselnya. Alisnya berkerut tajam, beberapa detik kemudian ekspresinya berubah muram. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya marah, tapi Mia belum sempat menanyakannya, ketika suara meja terbalik menggelegar memecah keheningan.

BRAKK!

Piring dan gelas jatuh berserakan, sebagian pecah menghan-tam lantai marmer. Mia sontak terkejut, ia refleks menunduk dan menutupi kepalanya dengan kedua tangannya.

Tanpa sepatah kata pun, Christopher berjalan cepat keluar dari rumah. Tidak lama kemudian, suara mobilnya terdengar meninggalkan halaman dengan kecepatan tinggi.

Mia masih terpaku di kursinya. Napasnya memburu, sementara matanya menatap semua kekacauan di lantai. Sisa-sisa makan malam kini bercampur dengan pecahan kaca. Dan rasa ketakutannya sudah terlalu akrab di rumah itu.

Dalam sunyi yang terasa menyesakkan, ia berbisik kepada dirinya sendiri.

'Sampai kapan aku harus menanggung semua ini sendirian…?'

-🐣-

Ruangan kerja Christopher tenggelam dalam keheningan yang begitu menegangkan. Hanya suara detik jarum jam dinding yang terdengar samar. Lampu gantung di atas meja memberikan cahaya temaram yang memantulkan bayangan lelah di wajah pria yang kini duduk dengan punggung tegak di balik meja besar dari kayu mahoni itu.

Christopher memandangi berkas tebal di tangannya. Semakin ia membaca berkas itu, raut wajahnya perlahan berubah.

"Apakah informasi ini sangat akurat?" tanyanya pelan, namun nadanya terdengar tajam.

Brian, sekretaris pribadinya yang berdiri tegak di hadapannya, tidak menunjukkan keraguan sedikit pun. "Sangat akurat, Tuan," jawabnya dengan tegas. "Alasan mengapa kami dulu kesulitan melacak keberadaan Ahn Lusy… itu dikarenakan ada seseorang yang dengan sengaja menghapus seluruh jejaknya. Tetapi kali ini, kami menemukan petunjuk yang sangat kuat. Saya sangat yakin, keberadaannya akan segera terungkap dengan secepatnya."

Christopher mengernyit. Jari-jarinya mengepal perlahan di atas berkas yang kini nyaris diremasnya. Matanya menajam menatap Brian dengan tatapan dingin.

"Katakan dengan jelas," suaranya pelan tapi men-usuk, "apa hubungannya ini dengan Mia?"

Brian tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya ia menarik napas dan menjawabnya dengan hati-hati. "Menurut kesaksian salah satu saksi yang kami temukan… sebelum Ahn Lusy menghilang, dia sempat bertemu dengan Nona Mia. Dan saat itu, Nona Mia diketahui sempat memu-kulnya."

Sejenak, ruang kerja itu terasa hening.

Christopher menunduk perlahan, matanya menatap kosong ke arah dokumen yang ada di tangannya, kata-kata barusan telah merobek sesuatu dalam pikirannya. Ia tidak mengatakan apa-apa. Tetapi diamnya jauh lebih menakutkan daripada amarahnya.

Lampu gantung yang remang itu menyoroti wajahnya yang kini diliputi oleh bayangan gelap. Ia memandangi meja kosong di depannya, seolah sedang mencari jawaban di antara serpihan kenangannya dimasa lalu.

"Mata Lusy… saat itu merah dan bengkak," gumamnya pelan, namun suaranya berat.

"Dia datang kepadaku, sambil menangis… lalu meminta putus," lanjutnya. Pandangannya menerawang jauh. "Aku pikir… itu karena ibuku. Aku pikir dia tidak kuat dengan tekanan keluargaku."

Tangannya mengepal di atas meja, sendi-sendi jarinya memutih karena kekuatan genggaman itu.

"Tapi ternyata..." bisiknya lirih.

Sejurus kemudian, nadanya berubah menjadi dingin dan datar.

"Keluar."

Brian langsung menunduk sopan. "Baik, Tuan." Tanpa membantah, ia meninggalkan ruangan dengan langkah cepat.

***

Hujan turun saat mobil hitam mewah melaju melewati jalanan kota yang sepi. Cahaya lampu jalan memantul di permukaan jendela yang dibasahi oleh hujan gerimis. Di kursi kemudi, Christopher duduk diam, tubuhnya bersandar namun matanya terbuka lebar, ia menatap kosong ke luar jendela.

Kilasan kenangan datang tanpa diundang.

"Kita… aku mau kita putus saja, Chris,"

suara Lusy bergetar, wajahnya penuh dengan air mata.

"Aku… aku tidak bisa lagi denganmu…"

Waktu itu, Christopher tidak pernah benar-benar mengerti. Ia hanya merasa marah, dikhianati, dan tersesat oleh keputusan mendadak dari wanita yang paling ia cintai.

Kini, potongan-potongan puzzle yang selama ini ia abaikan mulai membentuk gambaran yang begitu menyakitkan.

"Jadi, itu sebabnya kau menghilang dariku…" bisik Christopher dalam hati, matanya menyipit. "Karena dia?"

Tangannya mengepal di atas pahanya, menampakkan urat-uratnya yang menegang. Amarah dan kesakitan pun bercampur menjadi satu, menyelimuti dadanya dengan kabut yang sangat pekat.

***

Diruang tengah rumah itu tampak hangat dan begitu terasa nyaman. Lampu kuning yang temaram menambah kesan tenang pada malam yang sudah mulai larut. Di atas sofa, Mia duduk sambil memeluk bantal kecil, matanya menatap ke layar televisi yang sedang menampilkan acara ringan. Namun, pikirannya tidak benar-benar tertuju ke sana.

Sesekali, matanya melirik ke arah jam dinding. Jarumnya sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tetapi sosok yang ia tunggu belum juga pulang.

Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat dari dapur.

"Nona Mia…" suara lembut Bibi Im memecah kesunyian malam itu, ditangannya membawa segelas susu hangat. "Jangan menunggu Tuan Chris lagi, ya. Minumlah ini, lalu tidurlah lebih awal. Wajah Nona sudah terlihat sangat lelah."

Mia tersenyum kecil, ia mencoba menyembunyikan kekecewaan yang diam-diam menyusup di hatinya. "Baiklah, Bibi. Terima kasih."

Ia menerima gelas itu dan meminumnya perlahan. Kehangatan susu itu sedikit menenangkan perasaannya yang terus diliputi rasa gelisah.

Setelah mengucapkan selamat malam, Mia berdiri dan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Namun, belum sempat ia sampai di pertengahan anak tangga, suara mobil terdengar dari halaman depan.

Bunyi mesin yang sudah dikenalnya sangat baik.

"Kak Chris pulang..." bisiknya dengan senyum lega yang langsung merekah di wajahnya.

Tanpa berpikir panjang, Mia membalikkan badan dan berlari menuruni anak tangga. Langkahnya ringan, dan hatinya dipenuhi harapan bahwa malam ini mereka bisa berbicara dengan tenang, mungkin bahkan bisa tertawa bersama, walaupun hanya sebentar.

"Kak!" serunya ceria begitu pintu sudah terbuka.

Tapi sambutan yang ia dapat bukanlah pelukan atau sapaan hangat seperti yang ia harapkan.

Christopher masuk dengan langkah tergesa, mimik wajahnya tampak begitu gelap, dan matanya menyala penuh dengan amarah.

"Lee Mia…" desisnya dengan tajam, penuh akan dendam.

"Syallan. Kau… binatang kepa-rat!"

Seketika, wajah Mia membeku. Senyum di bibirnya lenyap dalam sekejap. Kedua matanya membelalak dan tubuhnya seketika gemetar. Ia secara refleks mundur dua langkah, matanya mencari-cari penjelasan dalam sorot tajam pria itu.

"K-Kak?" suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Setitik rasa takut mulai merayap masuk kedalam hatinya, menghancurkan harapan yang baru saja tumbuh beberapa detik lalu.

Di hadapannya, Christopher tampak seperti orang asing, bukan seperti Christopher yang dia kenal.

.

.

.

.

.

.

.

-TBC-

Episodes
1 Bab 1
2 Bab 2
3 Bab 3
4 Bab 4
5 Bab 5
6 Bab 6
7 Bab 7
8 Bab 8
9 Bab 9
10 Bab 10
11 Bab 11
12 Bab 12
13 Bab 13
14 Bab 14
15 Bab 15
16 Bab 16
17 Bab 17
18 Bab 18
19 Bab 19
20 Bab 20
21 Bab 21
22 Bab 22
23 Bab 23
24 Bab 24
25 Bab 25
26 Bab 26
27 Bab 27
28 Bab 28
29 Bab 29
30 Bab 30
31 Bab 31
32 Bab 32
33 Bab 33
34 Bab 34
35 Bab 35
36 Bab 36
37 Bab 37
38 Bab 38
39 Bab 39
40 Bab 40
41 Bab 41
42 Bab 42
43 Bab 43
44 Bab 44
45 bab 45
46 Bab 46
47 Bab 47
48 Bab 48
49 Bab 49
50 Bab 50
51 Bab 51
52 Bab 52
53 Bab 53
54 bab 54
55 Bab 55
56 Bab 56
57 Bab 57
58 Bab 58
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 Bab 65
66 Bab 66
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 Bab 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 Bab 84
85 Bab 85
86 Bab 86
87 Bab 87
88 Bab 88
89 Bab 89
90 Bab 90
91 Bab 91
92 Bab 92
93 Bab 93
94 Bab 94
95 Bab 95
96 Bab 96
97 Bab 97
98 Bab 98
99 Bab 99
100 Bab 100
101 Bab 101
102 Bab 102
103 Bab 103
104 Bab 104
105 Bab 105
106 Bab 106
107 Bab 107
108 Bab 108
109 Bab 109
110 Bab 110
111 Bab 111
112 Bab 112
Episodes

Updated 112 Episodes

1
Bab 1
2
Bab 2
3
Bab 3
4
Bab 4
5
Bab 5
6
Bab 6
7
Bab 7
8
Bab 8
9
Bab 9
10
Bab 10
11
Bab 11
12
Bab 12
13
Bab 13
14
Bab 14
15
Bab 15
16
Bab 16
17
Bab 17
18
Bab 18
19
Bab 19
20
Bab 20
21
Bab 21
22
Bab 22
23
Bab 23
24
Bab 24
25
Bab 25
26
Bab 26
27
Bab 27
28
Bab 28
29
Bab 29
30
Bab 30
31
Bab 31
32
Bab 32
33
Bab 33
34
Bab 34
35
Bab 35
36
Bab 36
37
Bab 37
38
Bab 38
39
Bab 39
40
Bab 40
41
Bab 41
42
Bab 42
43
Bab 43
44
Bab 44
45
bab 45
46
Bab 46
47
Bab 47
48
Bab 48
49
Bab 49
50
Bab 50
51
Bab 51
52
Bab 52
53
Bab 53
54
bab 54
55
Bab 55
56
Bab 56
57
Bab 57
58
Bab 58
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
Bab 65
66
Bab 66
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
Bab 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
Bab 84
85
Bab 85
86
Bab 86
87
Bab 87
88
Bab 88
89
Bab 89
90
Bab 90
91
Bab 91
92
Bab 92
93
Bab 93
94
Bab 94
95
Bab 95
96
Bab 96
97
Bab 97
98
Bab 98
99
Bab 99
100
Bab 100
101
Bab 101
102
Bab 102
103
Bab 103
104
Bab 104
105
Bab 105
106
Bab 106
107
Bab 107
108
Bab 108
109
Bab 109
110
Bab 110
111
Bab 111
112
Bab 112

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!