Bab 5. Pertengkaran

Musik pesta masih bergema, dentingan gelas, tawa para tamu, dan aroma bunga mahal memenuhi aula. Namun di sudut ruangan yang remang, duduklah Shanaira—sendirian di kursi emas yang ditarik menjauh dari keramaian. Gaun pastel sederhana membungkus tubuhnya yang tampak ringkih, dan mata sayunya terpaku pada segelas air di tangan.

Ia menolak makan. Ia bahkan tak tahu mengapa masih ada di tempat ini.

Di pelaminan, Ethan duduk kaku di samping Claira yang tampak menikmati sorotan. Tapi tatapan Ethan beberapa kali melirik ke arah pojok aula. Setiap kali matanya bertemu Shanaira, ia segera menunduk. Hatinya dililit rasa bersalah yang tak terucap. Tapi ia tak bergerak, tak berani berdiri, tak mampu menjelaskan apa pun.

Di tengah keramaian itu, seorang pria muncul dari balik kerumunan.

Tinggi, gagah, mengenakan setelan koki hitam bersih dengan potongan rapi. Wajahnya membawa garis tegas, namun mata abu-abu yang tajam tetap terasa teduh. Kulitnya keemasan, seperti sinar tropis yang menyatu dalam darah yang berbeda. Ia berjalan dengan langkah tenang, membawa nampan kecil berisi sepiring makanan lembut.

Pria itu mendekat, matanya tertarik pada Shanaira yang duduk terpisah dari kerumunan. Ia berhenti beberapa langkah di hadapannya, tak mengusik, hanya menatapnya dengan lembut.

“Maaf, apakah kau sudah makan?” suaranya dalam dan jernih, penuh perhatian.

Shanaira menoleh, sedikit bingung melihat pria yang berdiri di hadapannya.

“Aku tidak lapar,” gumamnya pelan.

Pria itu tersenyum, tidak tersinggung. “Kau tidak perlu makan untuk menyenangkan orang lain. Tapi kau harus makan… untuk dirimu sendiri.”

Ada jeda. Kalimat itu seperti menusuk lembut ke dalam hatinya. Ia memandangnya, mencoba menebak apakah pria ini hanya koki… atau seseorang yang lebih dari itu.

“Aku tidak tahu siapa kamu,” katanya perlahan, “tapi kau bicara seperti kau tahu rasa sakit orang lain.”

Pria itu duduk di kursi kosong di seberangnya, tidak mengusik, hanya menyodorkan piring ke arahnya. “Karena aku juga pernah ada di tempat sepertimu. Ditinggalkan, dihancurkan, dan tetap dipaksa tersenyum di tengah pesta yang tidak pernah kuundang.”

Shanaira menatap piring itu.

Pelan-pelan, ia mengambil garpunya. Mungkin untuk pertama kalinya sejak ia pingsan… ia makan.

Dan saat rasa hangat menyentuh lidahnya, untuk sejenak, dunia di sekelilingnya tak sekelam tadi.

Ethan melihat semua itu dari kejauhan—dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa… terancam.

Bukan oleh rasa bersalah.

Tapi oleh pria lain… yang mungkin akan menyentuh hati Shanaira dengan cara yang ia sendiri tak pernah bisa.

Ethan berdiri di sana, matanya mengikuti langkah-langkah Shanaira dan pria itu yang perlahan menghilang ke luar aula. Saat pria itu menarik kursi untuk duduk di samping Shanaira, Ethan merasa dunia seakan berhenti berputar. Hatinya semakin berdebar, namun tak ada yang bisa ia lakukan. Tangannya mengepal, cemas tak terhingga, seakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian yang diberikan pria itu pada Shanaira.

Pria itu telah pergi bersama Shanaira ke luar aula, menuju ke area yang lebih privat di hotel. Ethan merasa kepalanya berputar. Ia menginginkan penjelasan. Kenapa? Kenapa Shanaira lebih memilih berbicara dengan orang asing itu, yang bahkan tidak tampak mengenalnya? Kenapa pria itu tampak begitu dekat dengannya?

Ethan menoleh sekilas ke arah Claira, yang masih duduk di pelaminan, tersenyum penuh kemenangan. Mungkin ini saatnya untuk berbicara dengan Shanaira, menjelaskan segalanya. Namun, perasaan takut untuk semakin menyakitinya membelenggunya.

Shanaira… tidak ada lagi yang ia inginkan selain mengembalikan semuanya—meskipun ia tahu itu tidak mungkin.

Beberapa saat berlalu, Ethan memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Tanpa tujuan yang jelas, langkahnya membawa ia menuju area hotel yang lebih sepi, tempat ia akhirnya menemukan Shanaira dan pria itu duduk di luar, jauh dari keramaian.

Saat Ethan mendekat, suasana terasa aneh. Pria itu tidak ada lagi di sana. Hanya Shanaira yang duduk di bangku, menatap jauh ke depan, seolah melupakan dunia di sekitarnya.

“Shanaira…” suara Ethan terdengar ragu, tapi mencoba untuk tegar.

Shanaira tidak langsung menoleh. Ia hanya diam, merasakan kedekatannya yang semakin menjauh. Namun akhirnya, ia mengangkat wajahnya, dan mata mereka bertemu. Tidak ada kata-kata yang terucap segera. Hanya ada kesunyian yang menekan di antara mereka.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Shanaira, suaranya lirih, seperti mencoba menahan air mata yang hampir tumpah.

Ethan menggeleng pelan. “Aku hanya ingin melihatmu. Tapi siapa pria yang bersama mu tadi?” suaranya bergetar, meskipun ia mencoba menyembunyikan kecemasannya. “Kau tidak memberitahuku siapa dia. Kenapa dia begitu dekat denganmu?”

Shanaira menghela napas, memandangnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Itu bukan urusanmu, Ethan.”

Tapi Ethan tak bisa menahan diri. “Aku perlu tahu! Kamu… kenapa kamu tidak memberitahuku apa pun tentang apa yang terjadi? Apa yang sudah terjadi denganmu? Aku merasa… kehilanganmu.”

Shanaira menunduk, mencoba mengendalikan diri, merasakan kegelisahan yang tiba-tiba muncul begitu saja. “Kehilangan?"

"Hari ini harusnya hari bahagia kita, kau dan aku menikah, menjadi suami istri. Tanpa menungguku sadar kamu lebih memilih menikah dengan adik tiriku. Kau sudah menikahi Claira, Ethan. Kamu sudah memilih jalannya. Jangan datang lagi ke sini dan berharap ada sesuatu yang bisa diperbaiki. Semua sudah selesai.”

"Aku tidak punya pilihan." Hanya itu yang bisa ia katakan.

Ethan merasa tersayat oleh kata-kata itu. Ia ingin berkata lebih, mengungkapkan perasaan yang sudah lama terkunci, tapi setiap kata terasa terhalang oleh rasa sakit yang tak terucapkan. Dia berjalan ke arah Shanaira, berharap bisa mendekatinya, namun Shanaira segera berdiri, menghindari langkahnya.

“Jangan sentuh aku,” kata Shanaira dengan suara serak. “Aku sudah cukup terluka, Ethan. Aku tak ingin semakin terluka lagi.”

Ethan terpaku, hatinya seperti runtuh dalam diam. Ia tahu tidak ada jalan yang mudah. Tidak ada penjelasan yang bisa memperbaiki semuanya. Dan saat itu, ia menyadari, mungkin sudah terlalu terlambat untuk memperbaiki apa yang telah hancur.

“Terluka? Apa kau pikir hanya kamu yang terluka juga terluka Shanaira. Semua orang sedang dihancurkan oleh keputusanmu?” bentak Ethan.

Shanaira menatapnya, bingung dan tersinggung. “Keputusanku? Maksudmu apa?”

Ethan menahan napas, lalu berkata pelan namun tajam, “Kau hamil, Shanaira. Dan itu bukan anakku. Aku tidak pernah menyentuhmu. Siapa ayah bayi itu?"

Wajah Shanaira memucat. Ia menunduk, menggenggam erat sisi gaunnya. “Aku… aku bahkan baru tahu soal itu hari ini…”

Langkah kaki kembali terdengar. Pria yang sebelumnya menemani Shanaira datang lagi, tapi langkahnya terhenti mendengar pembicaraan itu. Ia mematung, menatap Ethan lalu ke Shanaira.

“Kau… hamil?” suaranya pelan, tak percaya.

Shanaira menatap ke arah pria itu, lidahnya kelu. Ia tak bisa berkata apa-apa.

Ethan melanjutkan, suaranya semakin nyaring, “Kalau saja kau tidak hamil… maka yang berdiri di altar tadi itu adalah kamu, bukan Claira!"

Shanaira tersentak. Kata-kata Ethan bagaikan belati.

“Kau pikir aku ingin ini terjadi?!” teriaknya, matanya mulai berkaca-kaca. “Kau pikir aku ingin membawa aib ini di tubuhku? Aku bahkan tidak tahu… siapa yang melakukannya padaku! Malam itu… malam ulang tahun Claira, dia memaksaku minum, dan aku—aku bangun di kamar hotel tanpa ingat apa pun!”

Pria itu melangkah maju, ekspresinya berubah dari kaget menjadi tajam. Ethan membisu. Seluruh emosinya kini tercampur: marah, bingung, terluka.

"Bagaimana kalau kamu gugurkan saja bayinya dan kita bisa bersama lagi. Aku akan mencari cara untuk menceraikan Claira.” Ethan mentap Shanaira penuh harap.

Shanaira menatap Ethan dengan mata berair. “Aku sudah cukup menderita, Ethan. Dan kau… kau tidak berhak menyalahkanku atas hidup yang gagal kau pertahankan sendiri. Dan menurut mu apakah semuanya akan baik-baik saja jika aku membunuh bayi dalam kandunganku?”

Ethan tak mampu berkata-kata. Untuk pertama kalinya, ia melihat luka itu—luka yang selama ini tersembunyi di balik senyum Shanaira.

Sementara pria itu berdiri di antara mereka, tak berkata-kata, hanya menatap Shanaira seperti melihat seseorang yang tiba-tiba sangat rapuh dan asing di waktu bersamaan.

Suasana beku. Angin malam berhembus pelan. Dan satu kebenaran pahit kini mengendap dalam hati masing-masing: tak ada satu pun dari mereka yang utuh setelah malam ini.

Terpopuler

Comments

Miu Nih.

Miu Nih.

aaahh... kasihan banget shanaria... ethan juga kasihan 😭😭

2025-05-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!