Ruangan suite itu sunyi. Hanya suara detik jam di dinding dan dengungan samar dari luar jendela yang terdengar. Claira duduk di tepi tempat tidur, memandangi Ethan yang mulai gelisah dalam tidurnya. Ia masih belum bergerak, belum berani meninggalkan kamar itu. Masih setengah terjebak dalam kebingungan dan sesal karena membiarkan dirinya memeluk kebohongan tadi.
Tiba-tiba, Ethan mengerang pelan. Matanya terbuka—masih merah, berat, dan buram oleh alkohol. Ia menatap Claira.
“Shana… jangan pergi…”
Claira tercekat.
“Ethan, aku bukan—” Tapi kata-katanya terhenti. Ethan telah bangkit, tangannya menyentuh wajahnya lembut, matanya berkaca-kaca.
“Aku takut kehilanganmu…”
Claira berusaha menarik diri, “Ethan, kau salah orang—aku Claira—”
Tapi Ethan tidak mendengar. Dalam pikirannya, satu-satunya wajah yang ia lihat adalah Shanaira. Satu-satunya nama yang menggema adalah nama itu. Dan dalam kekacauan pikirannya, ia hanya tahu satu hal: ia ingin memeluk cinta hidupnya.
Pelukan berubah jadi ciuman. Claira sempat mendorong pelan, tapi sentuhan itu menggores sisi rapuh dalam dirinya—sisi yang selama ini iri, terluka, haus akan kasih sayang. Sisi yang ingin merasakan dicintai walau hanya sekali. Bahkan jika itu bukan untuk dirinya.
Air matanya jatuh, dan ia membiarkan Ethan melanjutkan—karena di matanya, Ethan tidak sedang mencintai Claira malam itu.
Ia hanya sedang merindukan Shanaira.
---
Pagi datang terlalu cepat.
Sinar matahari pagi menembus tirai tipis, menyinari ruangan yang tenang. Ethan menggeliat pelan, lalu membuka mata. Seketika, tubuhnya menegang. Pikirannya mencoba mengingat—dan apa yang ia lihat membuat jantungnya nyaris berhenti.
Claira duduk di tepi tempat tidur, mengenakan kembali gaun malamnya dengan tangan yang gemetar. Matanya merah. Wajahnya kosong.
“Claira…?” bisik Ethan.
Claira menoleh perlahan. “Sekarang kau sadar?”
Ethan langsung duduk, napasnya mulai sesak. “Tunggu… apa yang… aku—aku pikir—”
“Shanaira?” Claira menyelesaikannya. Senyumnya hambar. “Ya. Aku tahu.”
Ethan memejamkan mata, memukul dahinya dengan telapak tangan. “Tuhan… Claira, aku—aku tidak tahu apa yang kulakukan. Aku... mabuk… aku benar-benar—”
Claira berdiri. “Sudah, Ethan. Aku tahu. Kau tidak mencintaiku. Malam ini... bukan untukku. Hanya sebuah kesalahan yang tak sengaja kau buat.”
Pintu tertutup pelan.
Ethan terduduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke karpet. Tangannya terkepal di wajah.
***
Kamar pengantin dihiasi elegan dengan nuansa putih gading dan sentuhan bunga peony segar. Cermin besar berdiri di sudut ruangan, memantulkan sosok Shanaira Monard yang sedang bersiap mengenakan gaun pengantinnya. Matanya teduh, namun bayang kelelahan tampak samar di bawahnya—malam sebelumnya ia nyaris tidak bisa tidur, bukan karena gugup, melainkan karena hatinya terus berdebar tak karuan.
Di sisi kursi panjang, duduk Oma Aini yang memandangi cucunya dengan senyum penuh haru. Tangannya gemetar sedikit saat membenarkan selendang renda tipis di bahu Shanaira.
“Kamu cantik sekali, Nak...” suara Oma Aini nyaris berbisik, serak oleh emosi. “Akhirnya kamu bisa mulai hidupmu sendiri, tanpa perlu tunduk pada keluarga yang tak pernah menghargaimu.”
Shanaira mengangguk pelan, tak berkata apa-apa. Ia hanya menggenggam tangan omanya erat-erat.
Namun ketenangan itu segera terusik oleh suara tumit tinggi yang mengetuk lantai marmer dan aroma parfum tajam yang familiar menusuk hidung. Refina, ibu tiri Shanaira, melangkah masuk tanpa undangan. Di belakangnya, berdiri Claira, diam dan dingin.
“Wah, wah… akhirnya anak durhaka ini menikah juga,” ucap Refina dengan senyum tajam. “Kupikir tidak akan ada lelaki waras yang mau dengan anak pembawa sial.”
Oma Aini berdiri dari kursinya. “Refina, ini bukan waktunya—”
“Tenang saja, Ma. Aku cuma ingin memastikan kalau gaunnya pas. Tak lucu kalau dia terlihat murahan di altar nanti.”
Shanaira tetap diam. Ia sudah terbiasa. Bertahun-tahun telinganya ditempa kata-kata seperti itu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain. Pandangannya bertemu dengan Claira yang berdiri tak jauh darinya.
Mata Claira tampak gelap, penuh dendam dan pergolakan batin. Dia menatap Shanaira seolah menyimpan sesuatu yang tidak bisa dia ucapkan. Ketegangan itu terasa aneh. Biasanya Claira akan ikut menyindir, tapi hari ini... dia hanya diam.
“Kau tidak akan pernah pantas jadi bagian dari keluarga ini, Shanaira,” gumam Refina sambil memutar bola mata. “Tapi untunglah, mulai besok kau akan berganti nama. Tidak perlu membawa-bawa nama Monard lagi.”
Shanaira menatap Refina dalam diam. Lalu ia tersenyum. Tipis, tenang.
“Benar. Aku tidak akan membawa nama kalian lagi. Dan untuk pertama kalinya... aku merasa ringan.”
Oma Aini mendekat, menggandeng tangan Shanaira. “Ayo, sayang. Jangan dengarkan mereka. Hari ini milikmu. Fokuslah pada kebahagiaanmu.”
Shanaira menoleh sekali lagi pada Claira. Mata mereka bertemu.
Claira ingin mengatakan sesuatu. Tapi yang keluar hanya gumaman lirih, “Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, ya...”
Shanaira mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”
Claira membuka mulutnya, tapi membatalkannya. Tatapannya berubah tajam. “Lupakan. Selamat atas pernikahanmu, Kak.”
Ia berbalik dan keluar ruangan tanpa menoleh lagi.
Shanaira berdiri membeku, perasaan tidak nyaman mulai merayap di dadanya. Ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang disembunyikan. Tapi ia belum tahu apa.
Dan waktu terus berjalan.
Hari bahagianya akan segera dimulai.
Tapi akankah tetap bahagia… jika kebenaran terungkap?
***
Ruang ganti pengantin pria dipenuhi aroma parfum maskulin dan suara riuh para sahabat Ethan yang sedang membantu merapikan dasinya. Namun, Ethan hanya berdiri diam di depan cermin. Matanya yang biasanya cerah kini buram, menatap pantulan dirinya sendiri seperti tak mengenal siapa yang ia lihat.
“Bro, tenang aja. Lo bakal jadi pengantin paling keren hari ini,” ujar salah satu sahabatnya sambil menepuk punggungnya. “Gue udah liat calon istri lo. Cantik gila.”
Ethan memaksakan senyum. “Iya... makasih.”
Begitu sahabat-sahabatnya keluar meninggalkan ruangan untuk memberikan waktu bagi Ethan bersiap sendiri, keheningan menyergap. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskannya dengan berat.
Tangannya terangkat, menyentuh kerah kemeja putih yang sudah rapi, tapi dadanya terasa sesak. Sangat sesak.
Bayangan malam tadi terus menghantui.
Claira.
Ia tidak ingat semua detail. Tapi cukup untuk menyadari—ia melakukan sesuatu yang tidak seharusnya ia lakukan. Ia telah mengkhianati perempuan yang ia cintai, dan yang lebih menyakitkan… ia bahkan tidak melakukannya dengan sadar.
Ethan duduk di ujung bangku panjang, menyandarkan siku ke lutut dan memegang kepalanya.
“Apa yang harus gue lakuin…” bisiknya pelan.
Ia ingin jujur. Tapi jika ia jujur… akankah Shanaira masih mau menikah dengannya? Akankah ia menghancurkan seluruh hari yang seharusnya menjadi milik mereka berdua?
Bayangan wajah Shanaira muncul dalam pikirannya. Senyumnya. Matanya yang selalu hangat setiap kali menatapnya.
Dan lalu... wajah Claira menyusup diam-diam. Tatapan terakhirnya sebelum meninggalkan kamar tadi pagi. Bukan hanya marah. Tapi penuh luka yang dalam. Luka yang mungkin tak akan bisa ditebus.
Ethan berdiri, melangkah ke jendela. Dari atas, ia bisa melihat taman tempat pernikahan mereka akan berlangsung. Kursi-kursi putih tertata rapi. Tenda hias terbentang. Semua terlihat sempurna.
Kecuali hatinya.
Ponselnya berdering. Nama "Claira" muncul di layar.
Ethan menatap layar itu lama… lalu mematikannya.
Ia memejamkan mata.
“Kau harus tetap berdiri hari ini, Ethan…” bisiknya sendiri. “Untuk Shanaira. Meski kau merasa tak pantas.”
Tapi di hatinya, ia tahu—kebohongan tak pernah bisa tinggal lama. Dan cepat atau lambat… luka ini akan terbuka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Marchel
Kasian shan, di awal cerita harus menanggung bawang.. semoga shan bahagia ya dan yang jadi lakinya tetap setia
2025-04-27
0
Miu Nih.
aaahh 😫😫 penyesalanku berakhir dengan penyesalan... kasihan shanaria ku, huhu...
2025-05-01
0