Bule masuk kampung

Setelah puas melihat lihat medan desa itu. Mereka memutuskan untuk menemui Adiguna untuk mengajaknya bekerjasama sebagai celah untuk masuk ke desa itu. Namun di tengah jalan, Ferro meminta Ardhian untuk menepikan mobilnya. Ia tertarik dengan sekumpulan wanita tua dan muda tengah memilih kopi yang sudah di panen di salah satu perkebunan milik Asep.

Wanita yang tengah berkumpul itu, semuanya menoleh ke arah Ferro yang tengah mendekati mereka. Semua wanita itu saling berbisik dan tertawa kecil menatap Ferro.

"Cempaka lihat, ada bule masuk kampung," bisik salah satu wanita pada Cempaka yang tengah menunduk Lalu tertawa.

"Mana Lis?" Cempaka tengadahkan wajah menatap Lilis, lalu beralih menatap arah yang di tunjuk Lilis.

"Eh iya, itu bule nyasar kali," ucap Cempaka tertawa kecil di ikuti yang lainnya ikut tertawa.

Semua wanita itu terdiam menatap ke arah Ferro yang menyapa mereka menggunakan bahasa asing.

"Hallo."

Semua wanita itu ada yang terdiam, ada yang berbisik dengan yang lainnya, ada juga yang mengangguk pada Ferro sebagai jawaban.

"Mang bule, ada apa ke sini?" salah satu wanita paruh baya, nyeletuk begitu saja membuat yang lain tertawa terbahak bahak.

Ferro yang berniat melihat kopi, tidak mengerti bahasa yang di gunakan wanita itu, kedua alisnya bertaut menoleh ke arah Adhrian kenapa semua wanita itu tertawa. Pria itu mengangkat bahunya menatap Ardhian yang tersenyum sendiri. Karena Adhrian lebih mengerti bahasa yang di gunakan wanita tadi.

"Ada apa?"

"Mungkin mereka heran ada orang asing masuk kampung mereka." Ardhian menjelaskan.

Ferro menganggukkan kepala, ia menatap ke arah Cempaka yang terlihat bening di antara wanita lainnya. Ferro melepas kaca matanya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Namun Cempaka terlihat cuek lalu kembali fokus memilih kopi.

"Maaf Bu, saya mau tanya. Rumahnya Pak Adiguna di mana ya?" tanya Ardhian.

"Oh, di sana Pak!" tunjuk salah satu wanita paruh baya ke arah tengah pematangan sawah yang menguning. Ferro dan Ardhian menatap arah petunjuk wanita itu. Mereka melihat rumah besar dari ke jauhan.

Setelah bincang bincang sebentar dengan mereka, lalu Adhrian dan Ferro kembali melanjutkan perjalannya menemui Adiguna.

Sepeninggal mereka berdua, semua wanita yang sedang memilih kopi itu tertawa dan saling melontarkan candaannya.

"Bulenya cakep ya," kata Lilis.

"Ah kamu, lihat yang cakep aja ijo matanya," timpal Cempaka.

"Aku mau lah sama bule itu, nanti biar bisa di ajak ke sana," ucap Indah.

"Halah, bibi juga mau. Gini gini Bibi masih kuat." Wanita paruh baya itu menepuk dada menggoda gadis gadis itu.

"Bi Odah tuh gimana, kalau si Mang Endul mau di kemanain? karungin begitu?" ucap Marni. Detik berikutnya mereka tertawa terbahak bahak mentertawakan Odah.

Tak lama seorang pria paruh baya datang mendekat dengan membawa bakul nasi dalam gendongannya. "Aya naon ieu? (ada apa ini?) tanya pria itu.

" Ini Bi Odah, katanya mau menikah lagi sama Bule, Mang Asep," jawab Marni, kemudian tertawa di ikuti yang lain.

"Bule?" Mang Asep meletakkan bakul nasi di atas tanah.

"Iya, tadi ada bule datang kesini, Abah." Cempaka putri Mang Asep menceritakan kedatangan Ferro baru saja.

"Mau apa bule datang kesini?" tanya Mang Asep sembari membagikan piring kaleng, lalu mempersilahkan semua wanita itu untuk istirahat dan makan siang.

"Tidak tahu, Abah."

Kemudian mereka makn tanpa ada yang bicara, karena menurut suku Sunda. Makan sambil bicara itu di larang atau di sebut pamali. Mereka makan sampai kenyang lalu mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa atas nikmatNya hari ini. Kemudian mereka kembali melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit di bantu Asep, selaku pemilik kebun kopi. Tak lama mereka selesai, satu persatu wanita itu pulang ke rumah masing masing setelah mendapat upah dari Mang Asep. Kemudian pria itu menyuruh beberapa anak muda di desa itu untuk membawa kopi yang sudah di masukkan ke dalam karung, ke rumahnya.

Mang Asep dan Cempaka berjalan menyusuri pematang sawah yang menguning, di sela sela langkahnya Mang Asep menceritakan kalau ada pemuda dari desa lain yang bernama Dadang datang berkunjung ke rumah mencari Cempaka.

"Aku tidak suka sama Dadang, Abah," ucap Cempaka.

"Eh, jangan begitu. Kalau tidak suka, jawab saja pakai bahasa alus. Jangan suka nyakitin hati orang. Nanti kamu di apa apa-in." Mang Asep memberikan nasehat.

"Iya, Abah."

Sesampainya di rumah, Mang Asep langsung mengarahkan para pekerjanya untuk menjemur kopi terlebih dahuli selagi panas. Sementara Cempaka langsung membersihkan diri. Setelah selesai, gadis itu langsung menemui Ibunya yang bernama Sari.

"Neng, tadi ada si Dadang." Bu Sari langsung menceritakan sambil berdiri menatap Cempaka. Di tangannya memegang kayu bakar.

"Ah si Ambu, kenapa di biarin. Besok besok kalau kang Dadang datang lagi, bilang saja kalau aku sudah punya pacar. Beres kan Ambu?" Cempaka menoleh sesaat ke arah Bu Sari sembari menuangkan teh hangat ke dalam gelas.

"Neng, jangan menyuruh Ambu berbohong," sungut Bu Sari.

"Itu bukan bohong Ambu, tapi dusta sedikit," sahut Cempaka sembari tertawa kecil menggoda Bu Sari.

"Apa bedanya, ah si eneng suka begitu sama orang tua." Bu Sari mencubit gemas lengan Cempaka. Namun gadis itu hanya tertawa kecil sambil berlalu begitu saja meninggalkan Bu Sari di dapur

***

Sesampainya di rumah Adiguna, mereka berdua di sambut baik oleh pria itu. Tanpa banyak basa basi. Adhrian sebagai moderator antara Ferro dan Adiguna langsung menyampaikan inti kedatangan mereka yang ingin menguasai perkebunan kopi milik warga.

Tentu hal itu di sambut baik Adiguna, jika berhasil Adiguna akan mendapatkan sekian persen dari kopi tersebut. Terlebih Adiguna memiliki dendam masa lalu dengan mang Asep. Dia sangat ingin melihat Mang Asep terpuruk.

Setelah mereka sepakat, Adiguna meminta Ferro untuk menempati rumah Adiguna yang lain supaya memudahkannya melancarkan aksinya. Karena bahasa yang di gunakan Ferro tidak mungkin di mengerti warga sekitar. Adiguna akan membantunya sebagai moderator penghubung warga.

"Aku setuju, kalau begitu kami permisi dulu untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Besok kami akan kembali lagi kesini," ucap Adhrian.

"Baik, senang bekerjasama dengan anda semua." Adiguna berdiri lalu mengulurkan tangannya. Ferro dan Adhrian menjabat tangan Adiguna bergantian. Lalu mereka meninggalkan rumah Adiguna untuk kembali ke Jakarta.

Sepanjang perjalanan pulang, Ferro tidak berhenti mengagumi keindahan Indonesia. Berbeda dengan tempatnya tinggal di Luar Negeri. Tidak lupa, ia juga memuji kecantikan Cempaka yang natural. Meski hanya sesaat mereka bertemu. Namun kecantikan Cempaka sudah terpatri dalam hatinya. Adhrian tidak ingin Ferro melenceng dengan niat awalnya. Kemudian pria itu mengingatkan Ferro.

"Wanita di sini memang cantik cantik, tapi kau harus ingat. Jangan tergoda dengan wanita di sini. Bukankah kau hanya mengincar kopinya saja?"

Ferro menganggukkan kepalanya, lalu tertawa kecil sembari menepuk pundak Adhrian.

"Kau tenang saja, aku tidak mungkin jatuh cinta pada gadis desa itu," jawab Ferro santai.

Terpopuler

Comments

ርቿረረ'ᵒᶠᶠ ️æ⃝᷍𝖒

ርቿረረ'ᵒᶠᶠ ️æ⃝᷍𝖒

up

2022-01-11

0

Risfa

Risfa

Kang bule Ferro mah boong, barusan lihat Cempaka sdh kesengsem eh

2022-01-09

0

Mela Wati

Mela Wati

dikit amt ceritanya euy....knp gk dilanjutin thhhor..

2021-10-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!