Matahari mulai terbit dari arah timur, suara ayam jantan berkokok saling bersahutan. Burung berkicau di atas dahan berkicau, terdengar merdu di telinga, menambah suasana asri desa pasir rengit di kaki bukit gunung salak.
Ambu Sari melangkah tergesa gesa membawa bakul, pulang dari sawah terdekat selepas membenarkan aliran air yang tersendat. Di tengah jalan ia berpas pasan dengan dua wanita yang memikul setandan pisang sudah berwarna kuning.
"Ambu dari mana?" tanya Odah yang menggunakan kerudung berwarna kuning.
"Saya teh, habis betulin aer." Kata ambu Sari memperhatikan pisang yang di bawa Odah.
"Oh!" sahutnya bibirnya sampai manyun. "Ambu, semalam ada maling? katanya nggak ketangkep." Kata Odah lagi.
"Saya juga dengar, tapi takut mau keluar rumah." Timpal Sadiyah.
Tangan ambu Sari menggaruk kepalanya lalu membenarkan tudung yang mau jatuh di atas kepalanya.
"Ambu juga nggak tau, tapi kata si abah mah nggak ketangkep malingnya." Jelas Ambu Sari.
Tangan Odah menepuk lengan Ambu Sari. "Padahal kampung kita teh aman, naha (kenapa) sekarang jadi ada maling ya?"
Ambu Sari mulutnya terbuka hendak menjawab, namun tidak jadi bicara karena suara putrinya memanggil.
"Ambu!!"
Ambu Sari menoleh ke arah Cempaka. "Apa neng?"
"Ari si ambu, bet ngobrol di sini? itu si abah nyariin!" kata Cempaka sedikit kesal.
"Astagfirulloh!" Ambu Sari menepuk keningnya. Lalu menoleh ke arah Odah dan Sadiyah. "Hayuk, ambu pulang dulu."
"Sok ambu!" jawab mereka berdua.
Sari dan Cempaka melangkah bersama menuju rumahnya. Sesampainya di halaman rumah, cempaka pergi ke kandang ayam untuk mengeluarkan semua ayam milik abahnya lalu memberikan makan. Sementara ambu Sari meletakkan tudung dan bakulnya di atas dipan. Lalu ia duduk di kursi, menemani suaminya.
"Abah mau ke kebun duluan, nanti si eneng nyusul saja belakangan." Kata abah Asep, mengangkat cangkir kaleng berukuran besar berisi teh panas lalu meniup teh nya pelan pelan.
"Neng!" panggil ambu Sari menoleh ke samping menatap Cempaka.
"Apa ambu?!" sahut Cempaka.
"Ambilkan bakar singkong sama gula merahnya di dapur!" perintah ambu Sari.
"Iya!" sahut Cempaka.
Ambu Sari mengalihkan pandangannya pada suaminya. "Abah, maling semalam teh nggak ketangkep?" tanya ambu Sari.
"Duka atuh (tidak tahu), semalam mau di kejar masuk ke perbatasan hutan. Tapi kata si abah Birawa jangan di kejar. Abah ge belum paham maksudna." Abah Asep menjelaskan kronologi kekadian semalam.
"Ada maling?" tanya Cempaka dari arah pintu, membawa dua bakar singkong di atas piring kaleng, lalu di letakkan di atas meja kemudian Cempaka duduk di samping ambu Sari.
"Ada, tapi abah ge belum tau pasti. Nanti sore di suruh kumpul di pendopo abah Birawa." Jawab abah Asep, seraya membelah singkong bakar, lalu ia ambil sepotong di padukan dengan gula merah.
Cempaka dan ambu Sari memperhatikan abah Asep mengunyah bakar singkong.
"Tong ningalikeun (jangan ngeliatin) we, sok di makan mumpung panas. Ngenah pisan euy(enak pisan)."
"Neng mah udah tadi abah, sok abah abisin." Kata Cempaka, lalu berdiri.
"Rek kemana neng?" tanya abah Asep.
"Mau ke dapur bah!" sahut Cempaka menoleh ke arah bah Asep.
"Abah duluan ke kebun, nanti kamu nyusul bawakeun makan ya!" pesan Asep.
"Iya abah!" sahut Cempaka lalu masuk ke dalam rumahnya.
Abah Asep dan Ambu Sari melanjutkan perbincangannya tentang maling sambil menikmati bakar singkongnya. Rupanya maling semalam jadi perbincangan hangat warga kampung pasir reungitm
****
Sekitar pukul sembilan pagi, Cempaka sudah selesai menyiapkan makan siang untuk para pekerja di kebun kopi, di bantu sahabatnya Lilis, membawakan bakul nasi. Sementara Cempaka membawa dua rantang kaleng yang beisi ikan asin, goreng tempe, sambal dan lalapan.
Mereka berdua berjalan menyusuri jalan menuju kebun kopi. Sepanjang jalan mereka berdua berbincang bincang, sesekali tertawa bersama.
"Kemarin di pasar, aku ketemu kang dadang sama perempuan, tapi aku nggak kenal siapa itu perempuannya." kata Lilis.
"Aku mah sudah tahu kelakuan si kang dadang, playboy cap gomeh!" umpat Cempaka di akhiri tertawa kecil.
"Iya pikasebeleun! (menyebalkan), laki laki mah nggak cukup satu, kaya si Lastri kasian ya, di madu sama suami nya." Timpal Lilis.
"Sudah ih jangan bicarain aib orang, kasihan tau!" Cempaka berhenti sejenak, meletakkan satu rantang di jalan lalu menyeka keringatnya yang jatuh di bulu matanya yang lentik.
"Kenapa?" tanya Lilis, berhenti melangkah, memperhatikan Cempaka.
"Tumben panas ini teh," Cempaka tengadahkan wajah menatap matahari, matanya menyipit.
"Musim kemarau atuh, biasa cuaca rada panas." Timpal Lilis.
Cempaka mengangguk, lalu mengambil rantangnya lagi. Mereka berdua melanjutkan langkahnya menuju kebun kopi yang sudah dekat. Namun langkah mereka terhenti, saat sebuah mobil berhenti tepat di depannya.
"Itu bukannya si bule yang kemarin?" bisik Lilis di telinga Cempaka, matanya tertuju pada Ferro yang baru saja keluar dari pintu mobil, di ikuti putra Adhiguna yang bernama Rendi.
"Kata abah, jangan dekati mereka. Ayo kita jalan sini saja." Kata Cempaka, lalu memutar arah jalan menuju pematang sawah.
Ferro dan Rendi memperhatikan kedua gadis itu berjalan.
"the girl in the village is pretty beautiful." Gumam Ferro namun jelas terdengar oleh Rendi.
Rendi hanya memajukan bibirnya. "Dasar bule buaya darat," ucapnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Ramdan
uuup
2022-01-15
0
farel
😂😂😂😂
2022-01-10
0
🔵⏤͟͟͞𝐑𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆🔰π¹¹™𒈒⃟ʟʙᴄ❤
gass keun makk
2022-01-10
0