Ayesha terbangun ketika suara kokok ayam piaraan Bibi Leida, khadimat (asisten rumah tangga) mereka mulai beraksi. Tasbih mereka di setiap dini hari sebelum subuh tak pernah terlambat, dan inilah hal yang sangat membantu seisi rumah terjaga dari mimpi indah mereka sepanjang malam. Bergegas turun dari tempat tidur, gadis jelita berkulit putih dan tinggi semampai itu mengikat rambut lebat keemasannya dan kemudian menuju ke kamar mandi untuk bersiap-siap qiyamul lail seperti biasa. Sekitar 10 menit kemudian ia sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah basah dan berseri. Diambilnya mukena yang terletak di ujung kamarnya dan tak lama kemudian ia pun mulai hanyut dalam ibadah di sepertiga malam terakhir yang sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari sebelum tiba waktu subuh.
Ayesha baru saja menyudahi aktivitas sholat tahajjud dan tilawah qurannya yang merdu ketika ia mendengar suara bel yang tersambung dari dalam kamar Maxwell. Sejurus kemudian ia menatap layar komputer di meja samping tempat tidurnya yang ternyata menampilkan semua aktivitas di kamar Maxwell. Ada CCTV yang memang khusus dipasang di ruang tersebut, yang letaknya tak akan disadari oleh siapapun yang berada di dalamnya. Ayesha dan kakeknya sengaja memasang alat tersebut di figura lukisan tulisan Allah berbahasa Arab yang berada di dinding kamar yang saat ini digunakan Maxwell selama masa pengobatannya dan letak CCTV tersebut tepat menghadap ke wajah pasien yang terbaring. Ayesha mengamati layar komputer.
Apakah Ali akan segera datang? Ia masih menunggu. Di layar nampak pria yang masih lemah terbaring itu gusar dan mulai menekan kembali tombol di sisi bed nya. Ayesha kembali memperhatikannya. Apakah ia hendak buang hajat lagi? Pikirnya. Dan ia melihat lelaki asing itu mulai memegangi perutnya. Ayesha pun langsung berpaling dan me-minimize komputernya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya salah tingkah. CCTV itu dipasang untuk mengamati kondisi setiap pasien emergency yang dirawat di kamar itu agar update kondisi di dalamnya bisa diketahui tanpa terlewatkan sedikitpun. Namun jika ada hal pribadi di dalamnya Ayesha pun langsung menahan pandangannya. Selama ini kamar rawat itu hanya pernah dipakai dua kali yaitu ketika seorang wanita paruh baya yang sedang sekarat dan kemudian koma yang kakak dan kakeknya temukan di lorong jembatan salah satu kota kecil di negeri itu beberapa tahun yang lalu dan kini Maxwell, seorang pemuda antah berantah yang kondisinya juga tak jauh berbeda yang lebih dramatis lagi Ayesha sendiri yang menemukan dan membawanya seorang diri dari tempat yang sangat jauh, tempat yang sebenarnya ia ingin relaksasi dari beragam kegiatan rutinitas dunia yang sangat melelahkan dengan melatih kembali kemampuan berkuda dan memanahnya.
Ayesha tahu apa yang harus dilakukannya. Ia bergegas keluar masih dengan balutan mukenanya dan ditambah dengan cadar yang seperti biasa dipakainya menuju kamar Ali yang letaknya tepat di samping kamar Maxwell. Setelah melewati dapur dan ruang tengah ia pun berhenti di depan sebuah kamar dan langsung mengetuknya. Karena tak ada respon Ayesha mengetuk lebih keras. Tak lama pintu pun terbuka. Ali nampak gelagapan seperti baru terbangun sambil mengucek matanya. Ia tertegun melihat siapa yg datang.
“Non Ayesha? Ada apa?”
“Pasien kita memanggilmu brother. Cepatlah. Ia sudah sangat gelisah.”
“Oh ya non. Maaf saya gak dengar tadi”
“Ohya brother Ali sebaiknya brother seterusnya menemani pria itu sepanjang tidur di kamarnya karena mungkin beberapa hari ini proses detoksifikasi melalui cairan buang air besar akan sangat melelahkan. Dan tahu sendiri kan gimana psikologi orang yang kemudian nantinya akan merasa sangat lemah dan melelahkn orang lain”.
Ali mengangguk. Ia paham apa yang dimaksud oleh tuannya. Setelah minta maaf kembali dan menutup pintunya sendiri, ia pun beralih ke pintu kamar di sampingnya lalu masuk karena memang tidak dikunci. Sekilas Ayesha mendengar suara Ali yang meminta maaf pada Maxwell dan gadis itu pun tak mendengar apapun lagi karena ia segera berlalu kembali ke kamarnya.
Sementara itu, di kamar Maxwel, Ali seperti sebelumnya mengurusi hajat Maxwell dengan telaten dan wajah ceria, serta tak lupa dengan celotehannya yang khas, sehingga membuat siapapun yang mendengarnya akan terhibur dan mengurangi beban di hatinya. Setelah selesai, Ali pun membereskan semua peralatannya dan bermaksud membersihkan tubuh Maxwell seperti biasa agar lelaki itu merasa lebih fresh.
“Bolehkah aku bersihkan tubuh tuan sekarang? Agar tuan lebih fresh lagi”.
“Tentu…saja…. Thanks…brother”,
Ali tersenyum mendengarnya dan mulai melakukan pekerjaannya sambil bersenandung riang.
Maxwell merasa kaku menyampaikan kata-katanya. Ia bersusah payah mengucapkannya karena tenggorokannya masih sakit. Seumur hidupnya, kata “terimakasih” sangat jarang diucapkannya. Namun di bumi asing ini ia mulai terbiasa karena ia memang seharusnya melakukannya. Semua kebaikan Ali dan Ayesha yang nampak tulus menolongnya perlahan meruntuhkan tembok kesombongannya selama ini yang merasa tak akan pernah membutuhkan pertolongan orang lain.
Setelah Ali selesai, Maxwell memberi tanda dengan menunjuk tape mini di dekatnya. Ali tersenyum kembali.
“Tuan ingin aku menghidupkan ini?”
Maxwell mengangguk. Matanya berbinar senang. Ali memahaminya dengan baik.
Ali pun menghidupakan tape mini yang ditunjuk Maxwell dan tertegun ketika mendengar suara lantunan qori’ membaca QS Arrahman di dalamnya. Tuan James suka mendengarkan Murottal Quran? Batinnya takjub. Sepertinya Allah akan segera memberikan hidayahNya pada pria tampan ini. Semoga dia mampu memeluk hidayah itu dengan erat dan tidak pernah melepaskannya. Ali mulai berkaca-kaca. Ia teringat masa lalunya. Dengan rasa penasaran ia pun bertanya,
“Tuan James….apakah Anda menyukai Murottal Quran ini?”
Maxwell mengangguk. Oh jadi ini namanya suara Murottal Quran? Batinnya. Ia bingung tidak paham.
Dengan susah payah ia pun bertanya pada Ali.
“Apakah…. Murottal….. Quran…. Itu… Brother… Ali? Aku… tidak… tau…. Yang…jelas…hatiku…merasa…tenang….sejuk…mendengarnya…”
“Tuan…. Murottal Quran yang kita dengarkan ini adalah perkataan-perkataan Allah yang dibukukan dalam sebuah mushab bernama Al Quran, kitab suci orang Muslim. Perkataan Allah ini diturunkan pada Nabi terkasih kami Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Kemudian sepeninggal nabi kami para sahabatnya berinisiatif membukukan perkataan Allah Tuhan kami ini dalam bentuk kitab, dan sekarang yang kita dengar ini adalah bacaan Quran itu sendiri. Ya perkataan Allah itu disebut Quran. Ia bukan sekedar firman Tuhan tapi juga sebagai pedoman hidup dan bahkan solusi dari semua persoalan hidup di dunia ini”, jelas Ali panjang lebar sambil tersenyum.
Maxwell hanya terpaku mendengarkan. Kemudian Ali menuju ruangan di sudut dekat pintu, dimana ada sebuah buku tebal terletak di atas meja kecil di atas karpet tebal. Ia mengambilnya dan bergerak kembali menuju ke arah Maxwell.
Maxwell melihat dengan seksama benda di depannya dan dengan penasaran bertanya. Ali lalu meletakkan mushab Quran tersebut di dekat tape mini di samping Maxwell.
“Brother Ali…apakah….ini kitab Quran yang engkau katakan tadi…? Kitab suci…kalian…umat…Islam?”
“Ya tuan James… tuan benar. Kalau boleh tau apakah agama Tuan? Maaf jika saya lancang”
“Aku…tidak…punya…agama…”
Ali menarik nafas sejenak. Ia sudah menduga. Masih banyak orang atheis di luar sana.
“Tuan… alangkah ruginya kalau kita tidak mengenal pencipta kita. Padahal kita hidup Karena Dia yang menciptakan kita. Dan kelak kita mati juga karena Dia yang mencabut nyawa kita. Dan kita ini akan kembali pada Pencipta kita.”
Ali berhenti sesaat. Ia melirik Maxwell yang nampak tertegun dan mendengarkan dengan seksama semua yang disampaikan Ali.
“Tuhan yang menciptakan kita ini punya tujuan, dan kebanyakan manusia tidak ingat dan tidak sadar apa tujuan hidupnya di dunia ini, yaitu semata-mata beribadah kepadaNya, melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Dan ketika kita manusia mampu melakukannya dengan baik, maka kelak Tuhan pencipta kita akan memberikan balasan yang setimpal pada kita, yaitu memberikan syurga yang luar biasa besar kenikmatan di dalamnya, yang nikmatnya tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pula pernah terbersit sedikitpun dalam pikiran karena memang pengetahuan manusia amatlah terbatas.”
Maxwell terkesima. Dia tidak menyangka ada konsep pemikiran seperti itu dalam kepala pria muda di hadapannya. Ia seperti dihadapkan pada petuah orang-orang tua pemuka agama yang pernah ia tonton di televis yang itu pun secara tidak sengaja pernah ia buka channelnya karena gak sengaja.
“Sebaliknya, jika kita manusia tidak mampu dan tidak mau melakukan ibadah kepada Rabb pencipta kita, bahkan dengan pongah melanggar segala larangannya seperti berbuat jahat pada orang lain maupun lingkungannya maka Allah, pencipta kita juga sudah menyiapkan pembalasan yang setimpal, yaitu neraka, yang kekejaman di dalamnya juga tidak pernah terlintas sedikitpun dalam bayangan pemikiran kita.”
“Lalu…bagaimana..jika..seseorang…yang…sudah berbuat kesalahan dan ingin…menebusnya…apakah ia juga…akan dibalas oleh Tuhan….kalian”
“Tuhan kita Tuan…hakekatnya pencipta kita semua adalah sama. Satu zat yang sama. Hanya saja pengetahuan manusia yang berbeda membuat mereka memberi nama pencipta berbeda-beda dan membuat cara beribadah menyembahnya juga berbeda-beda. Tuan paham maksud saya”
Maxwell mengangguk. Ia tahu banyak nama agama dan keyakinan pada Tuhan di dunia ini. Dan tentu saja agama-agama yang berbeda itu membuat manusia yang memeluknya juga mempunyai cara yang berbeda dalam beribadah.
“Dalam agama kami, seseorang yang sudah bertaubat, tidak mau lagi melakukan kesalahan yang sama maka ia akan diampuni oleh Rabb, Allah swt. Allah akan merahmatinya dan memberinya hidayah untuk bersegera menuju syurgaNya. Dan berbahagialah kita semua jika termasuk ke dalam golongan hamba Allah yang suka bertaubat dan menebus setiap kesalahan yang kita lakukan”
Maxwell terpana. Agama ini sungguh ringan. Ia mulai tertarik. Sambil menutup mata karena mulai merasa mengantuk, Maxwell terus meresapi suara dari tape mini disampingnya. Sebelumnya ia tersenyum pada Ali sebagai isyarat terimakasih dan mempersilakan Ali untuk pergi. Sebenarnya Ali berniat untuk tinggal dan menemani Maxwell sepanjang hari tapi pria itu menolaknya dan mengatakan untuk tidak mengkhawatirkannya. Ia yakin akan baik-baik saja dan ingin tidur kembali karena semalam memang sulit tidur. Ali pun berpesan untuk tidak lupa memanggilnya jika ada perlu.
Tak berapa lama setelah Ali pergi , ia tertidur ditemani murottal quran yang terus mengalun merdu di dekatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Indah Nihayati
bagus thor
2022-03-02
1
나의 왕자
ceritanya bagus aku suka
2021-11-15
1
Ida Lailamajenun
ceritanya bagus knp like nya sedikit,ayoo readers like" yg banyak bantu author utk membalas lelahnya bikin cerita menarik ini
2021-11-13
1