"Memangnya apa yang ingin kamu sampaikan di meja makan tadi, sayang???." tanya Irin pada putranya. Ya, setelah berhasil meyakinkan sang suami serta izin dari pria dicintainya itu, Irin lanjut menemui Irhan di kamarnya.
"Jangan bilang kalau Kamu berniat meninggalkan rumah, Irhan???." sebelum Irhan menjawab Irin lebih dulu menebaknya ketika melihat putranya hendak memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper.
Irin menghentikan pergerakan Irhan, menatap intens wajah putranya. "Jawab mama, Irhan!!!." desaknya.
"Jarak antara apartemen Irhan dan perusahaan lebih dekat, dengan begitu mulai malam ini Irhan akan pindah ke apartemen." jawab pemuda itu. Tetapi, Irin yakin bukan itu alasan utama putranya sampai ingin meninggalkan rumah.
"Kamu sudah dewasa, mama percaya bahwa kamu bisa menjaga diri dengan baik, dan Mama tidak akan menentang keputusanmu, nak." Irin memilih menghargai keputusan putranya ketimbang harus berdebat dengan Irhan sebelum keberangkatannya ke Singapura besok.
Merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, Irin pun berlalu. Namun sebelum benar-benar berlalu, wanita itu kembali menoleh pada sang putra. "Maaf jika keputusan mama meminta papa menikah lagi telah mengecewakan kalian semua." setelahnya, Irin pun berlalu meninggalkan kamar putranya.
Setelah kepergian ibunya, Irhan menjatuhkan bobotnya di tepi tempat tidur, mengusap wajahnya dengan kasar. "Kalau pun harus meminta papa untuk menikah lagi, kenapa harus dengan Kafisha, mah, yang usianya bahkan lebih muda dari Irhan." Irhan menghela napas kecewa.
"Tok...tok...tok....boleh mbak masuk, Fisha???." suara dari balik pintu mengalihkan atensi Kafsha dari kegiatannya merapikan tempat tidurnya.
"Silahkan, mbak!!!."
Ceklek
Pintu terbuka, memperlihatkan wajah cantik Irin yang kini tengah mengembangkan senyum pada Kafisha. "Lagi ngapain??? Mbak ganggu, nggak???." tanya Irin.
Kafisha menggelengkan kepala. "Nggak ganggu kok, mbak."
Irin ikut duduk di tepi tempat tidur, bersebelahan dengan madunya itu. "Seperti yang mbak bilang tadi Fisha, mbak akan segera berangkat ke Singapura."
Irin mengusap lembut punggung Fisha ketika melihat raut wajah madunya itu berubah sendu.
"Mbak titip mas Ardian ya...!!!."
"Tapi, mbak.." potong Kafisha.
"Mbak percaya kamu pasti bisa. Sebenarnya mas Ardian itu orangnya baik dan juga penyayang, hanya saja mungkin beliau belum terbiasa dengan situasi yang ada. dengan begitu mbak minta sama kamu, berusaha lah bersikap layaknya seorang istri untuk mas Ardian!!! Penuhi kebutuhan mas Ardian karena kamu juga istrinya, termasuk_." Irin menjedah kalimatnya kala menyaksikan Kafisha menggelengkan kepala dengan cepat. Sepertinya wanita berusia sembilan belas tahun tersebut paham dengan maksud ucapannya.
"Mbak percaya, kamu pasti bisa Fisha." tanpa menunggu jawaban Kafisha, Irin pun segera berlalu meninggalkan madunya itu dengan wajah bingungnya. Tentu saja Kafisha bingung, bingung bagaimana cara menyiapkan semua kebutuhan Ardian sementara melihatnya saja Ardian sepertinya enggan.
*
"Sungguh, mommy tidak mengerti dengan jalan pikiran kamu, Irin. Tidak di masa lalu tidak di masa sekarang, kamu selalu saja membenarkan tindakan bodoh yang sudah kamu lakukan. Bisa-bisanya kamu meminta Ardian menikah lagi. dan lebih parahnya lagi, kamu pun ikut bahagia atas kehamilan wanita itu. Benar-benar gila." kesal mommy, tak habis pikir dengan jalan pikiran Putri semata wayangnya itu. Jika ditanya darimana mommy mengetahui tentang kehamilan madu putrinya tersebut, tentu saja dari mulut keponakannya yang berprofesi sebagai dokter kandungan di rumah sakit tempat Kafisha di rawat kemarin.
Perkataan sang mommy mampu membuat Irin menghela napas berat mendengarnya.
"Please Mom, Irin sedang tidak ingin membahas ini semua. Irin ingin kita fokus saja untuk kesembuhan Daddy." balas Irin dengan nada rendah.
"Terserah kamu saja, mommy pusing memikirkan semua tindakan gila kamu itu." mommy beranjak dari Sofa, hendak menemui suaminya di kamar.
Setelah kepergian mommy, Irin menghela napas panjang, kemudian menyandarkan bahunya pada sandaran sofa ruang tengah kediaman orang tuanya. Ya, sejak setengah jam yang lalu Irin telah tiba di kediaman orang tuannya, sebab besok pagi mereka akan segera bertolak meninggalkan tanah air.
"Masa lalu......" Cicit Irin seraya memejamkan matanya. setiap kali mendengar kata masa lalu selalu saja mampu membuat da_danya terasa sesak, dan pikirannya pun melayang jauh.
*
Keesokan paginya, Irin dan kedua orang tuanya telah bertolak menuju bandara dengan diantarkan oleh Ardian, yang pagi tadi menyambangi kediaman mertuanya.
"Aku berangkat ya mas. titip anak-anak dan juga..." Irin tak melanjutkan kalimatnya saat menyadari perubahan dari raut wajah suaminya.
"Bukankah sudah berulang kali aku katakan, gadis itu bukan anak kecil lagi yang masih membutuhkan penjagaan Irin, terlebih dariku." cetus Ardian dengan wajah kesalnya hingga membuat Irin mau tak mau berhenti membahas tentang Kafisha.
Terlihat jelas jika Ardian begitu berat melepas kepergian istri pertamanya itu, terbukti dari tatapannya yang kembali terlihat sendu. namun begitu, Ardian hanya bisa pasrah ketika rombongan istrinya mulai memasuki terminal keberangkatan. pria itu terus memandangi punggung sang istri hingga tak lagi terlihat oleh pandangannya. "Aku sangat mencintaimu Irin. aku akan menunggumu kembali, sayang." batinnya.
Usai menyaksikan pesawat yang ditumpangi oleh istri dan mertuanya meninggalkan bandara internasional Soekarno-Hatta, barulah Ardian meninggalkan tempat itu. kembali ke rumah untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya menjadi pilihan Ardian selanjutnya. setahun belakangan ini memang terasa sangat berat bagi seorang Ardian. Menjalani situasi yang bertolak belakang dengan hatinya, memiliki istri kedua atas permintaan Irin sendiri, begitu menyiksa baginya.
Seharian dihabiskan Ardian di kamar, bahkan untuk makan siang dan malamnya pun, pria itu meminta bibi mengantarkannya ke kamar. suatu hal yang hampir tidak pernah dilakukan Ardian sebelumnya, kecuali jika dirinya sedang sakit.
Keesokan paginya.
Kafisha membuka pintu kamarnya saat mendengar suara ketukan dari arah luar.
"Maaf jika bibi mengganggu waktu istirahat Non Fisha." kata bibi tak enak hati.
"Enggak kok, bi. Memangnya ada apa, bi???."
"Bibi hanya ingin menyampaikan pesan Ibu, beliau meminta Non Fisha untuk menyiapkan pakaian kerja bapak selama Ibu nggak ada." Ternyata Irin juga berpesan pada ART agar mengingatkan Fisha.
Kafisha masih diam saja.
"Non....Non Fisha...." suara serta sentuhan di bahunya sekaligus mengembalikan kesadaran Kafisha.
"Ba_baik bi." jawab Kafisha terbata, seperti tak yakin dengan jawabannya sendiri, apakah ia memiliki keberanian melakukannya atau tidak.
Sesaat setelah kepergian Bibi, mau tak mau Kafisha pun memberanikan diri menuju kamar utama, kamar yang dihuni oleh Ardian dan Irin tentunya.
Sesampainya di depan kamar Ardian, Kafisha tak langsung masuk, ia diam sejenak, menghela napas dalam guna mempersiapkan diri sebelum menghadapi sikap sinis Ardian.
Dret.
Kafisha mengetuk telah mengetuk pintu beberapa kali, namun tak kunjung mendapat sahutan. hingga pada akhirnya ia memutuskan memutar handle pintu hingga terbuka setengahnya, menyembulkan kepala ke dalam guna memastikan keberadaan pemilik kamar. Kafisha Seperti mendapat keberuntungan ketika tidak mendapati keberadaan Ardian di dalam sana.
"Mumpung pak Ardian nggak ada di kamarnya, sebaiknya aku bergerak cepat." batin Kafisha.
Baru saja hendak membuka lemari pakaian, Suara pintu kamar mandi sontak mengalihkan atensi Kafisha ke sumber suara.
Deg
Kafisha sontak menundukkan pandangannya ketika melihat Ardian keluar kamar mandi hanya dengan mengenakan sehelai handuk yang dililitkan pada pinggangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Iin Yuliana
ᥲ⍴ᥲ sіһһ ᥲᥣᥲsᥲᥒ іs𝗍rіᥒᥡᥲ mᥲksᥲ kᥲᥕіᥒ ᥣgі... sᥱm᥆gᥲ ᥴr𝗍ᥒᥡᥲ msһ ᥱᥒᥲk ძі ᥒіkmᥲ𝗍іᥒ
2025-04-20
0
Felycia R. Fernandez
ku kira getar hp kk Thor...
tok ...tok...kk 🤔
2025-04-19
0