Jordi Si Usil

Jam pulang sekolah akhirnya tiba. Suara bel panjang yang dinanti-nanti berdentang nyaring, disambut riuh siswa-siswi yang langsung berhamburan keluar kelas. Jelita berjalan santai menuju gerbang sekolah, ditemani ketiga sahabatnya.

“Lit, kamu pulang sama siapa?” tanya Gladis sambil mengikat rambutnya yang sempat berantakan.

“Biasa, dijemput Kak Jordi,” jawab Jelita sambil memainkan resleting tasnya.

“Ahhh!! ingin ikut,” sahut Prilly, mata berbinar penuh harap.

Tanpa basa-basi, kepala Prilly langsung diketuk pelan oleh Fuji. “Kamu kan bawa kendaraan, ogeb.”

Prilly meringis, mengusap kepalanya. “Iya sih, tapi Kak Jordi gitu loh. Siapa yang nggak mau nebeng, siapa tahu bisa sekalian cuci mata.”

Gladis tertawa geli. “Kamu tuh niat banget cuci mata. Emangnya Kak Jordi mobil mewah?”

“Bukan soal mobilnya, tapi kegantengannya, guys! MasyaAllah banget!” Prilly menangkupkan tangan di dada, seolah sedang berdoa.

Jelita menggeleng pelan. “Dasar kalian, padahal kakakku itu nyebelin banget lho kalau di rumah.”

“Justru itu! Cowok yang nyebelin di rumah biasanya yang paling charming di luar,” celetuk Fuji, membuat semuanya tertawa.

Sesampainya di gerbang, terlihat sebuah mobil hitam berhenti perlahan. Jordi, dengan kemeja putih dan kacamata hitam, turun sebentar membuka pintu samping.

“Duh, lihat deh, kayak bodyguard Korea,” bisik Prilly sambil berusaha menjaga ekspresinya tetap kalem.

“Udah sana, Jel. Nanti Kakakmu bosan nunggu,” ucap Gladis sambil menyikut pelan lengan Jelita.

Jelita menoleh pada mereka dan melambaikan tangan. “See you besok!”

“Salamin Kak Jordi yaaa!” seru Fuji dan Prilly bersamaan, disambut tawa dari Gladis.

Jelita hanya menggeleng lagi sambil tertawa kecil, lalu masuk ke dalam mobil dan menutup pintu.

Jelita yang baru saja duduk dan menutup pintu mobil langsung merasa hawa aneh. Tatapan tajam dari kursi pengemudi membuatnya menoleh perlahan. Benar saja, Jordi sedang menatapnya lekat-lekat lewat kaca spion.

“Eh... ada apa?” tanya Jelita sambil meneguk ludah, sedikit waspada.

Suara Jordi terdengar dingin tapi jelas. “Salamnya mana, salimnya mana?”

“Oh,” gumam Jelita pelan.

Dengan ekspresi malas-malasan, ia pun bersandar ke arah Jordi, mencium punggung tangan kakaknya sekilas.

“Gitu doang?” Jordi melirik dari balik kacamatanya.

“Ya ampun, Kak! Aku tiap hari begini lho. Kayak mau ngelamar kerja aja tiap pulang sekolah,” keluh Jelita sambil memasang muka kesal.

“Justru karena tiap hari, harus makin niat. Itu namanya konsistensi,” balas Jordi santai, mulai menyalakan mesin mobil.

Jelita menghela napas. “Iya, iya! konsistensi. Tapi boleh nggak Kak Jordi jangan pasang tatapan kayak preman terminal tiap aku masuk mobil?”

Jordi tertawa pelan. “Nggak bisa. Emang muka aku begini dari sananya.”

Mobil pun melaju perlahan meninggalkan sekolah. Di dalam, suasana sedikit lebih santai. Jelita mulai membuka obrolan kecil sambil menggoda kakaknya yang katanya ‘kalem’ tapi kenyataannya super nyebelin kalau di rumah.

Sesampainya di rumah, mobil berhenti perlahan di garasi. Tanpa menunggu Jordi mematikan mesin sepenuhnya, Jelita sudah membuka pintu dan melompat turun sambil membawa tasnya.

“Asaaalamualaikuuum, Ma... Mamaaaa!” teriak Jelita lantang sambil masuk ke dalam rumah.

Terdengar suara langkah cepat dari arah dapur. “Astaga, Jelita... waalaikumsalam,” sahut sang Mama sambil mengusap tangan ke celemek yang ia kenakan.

“Kagetin Mama aja,” lanjutnya sambil menepuk pelan lengan anak gadisnya yang penuh semangat itu.

“Hehe, biar Mama tetap muda. Harus sering-sering kaget, katanya bagus buat jantung,” jawab Jelita dengan wajah ceria.

Jordi yang baru masuk dari belakang hanya geleng-geleng kepala melihat adiknya.

“Ma, Jelita nggak mau salim tadi di mobil. Malah ngeluh tatapan aku kayak preman,” adu Jordi dengan nada sok serius.

“Eh, kok ngadu sih!” protes Jelita cepat.

Mamanya terkekeh, “Kalian ini nggak pernah akur ya. Tapi kalau satu sakit, satunya yang nangis duluan.”

Jelita dan Jordi saling melirik, sama-sama berpura-pura tak peduli, tapi senyum kecil di wajah mereka tak bisa disembunyikan.

Jelita berbalik setelah mencium pipi mamanya. “Aku ke kamar dulu ya, Ma! Mau rebahan sebentar.”

“Iya, tapi jangan lupa turun makan siang. Mama masak ayam kecap favoritmu,” pesan sang Mama sambil tersenyum hangat.

“Oke sip, noted!” Jelita menjawab sambil mengacungkan jempol.

Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Jordi dari belakang.

“Eh, mandi dulu sana. Bau kecut abis sekolah,” sindir Jordi sambil melepas jaketnya dan meletakkan di gantungan dekat pintu.

Jelita sontak berbalik dengan wajah tak terima. “Excuse me?! Ini wangi body mist rasa cokelat, tahu!”

Jordi menaikkan alis. “Wangi cokelat kadaluarsa kali.”

“Duh, Kak! Bukan aku yang bau, itu bau perjuangan pulang sekolah!” bantah Jelita sambil melotot gemas.

Mama mereka tertawa mendengar adu mulut kakak beradik itu. “Udah-udah, kalian itu tiap hari kayak acara debat TV.”

Jelita mendengus sambil naik ke tangga. “Aku mandi nih, biar Kak Jordi nggak protes lagi. Tiap hari protes mulu, perasaan.”

“Jangan lupa pakai sabun beneran ya, jangan air doang!” teriak Jordi dari bawah.

Jelita balas teriak, “Dasar abang nyebelin!”

Jordi yang masih berdiri di ruang tengah tak kuasa menahan tawanya saat mendengar teriakan kesal Jelita dari lantai atas. Suara langkah kaki adiknya yang menghentak-hentak di tangga membuatnya makin geli.

“Dasar bocil gampang tersulut,” gumamnya sambil terkekeh.

Namun gelak tawanya langsung dihentikan oleh suara mamanya yang menatap dengan pandangan penuh arti.

“Jordi... kamu itu kenapa sih tiap hari kerjanya godain adikmu terus?” tegur Mama dengan nada lembut tapi jelas mengandung peringatan.

Jordi langsung cengengesan, “Biar dia nggak terlalu manja, Ma. Lagi pula, lucu lihat mukanya kalo lagi kesel.”

“Ih, kamu tuh ya,” Mama menggeleng pelan tapi ikut tersenyum. “Kalau suatu hari dia nggak ada, baru kamu tahu rasanya nyesel godain terus.”

Jordi terdiam sejenak. Senyum di wajahnya memudar tipis, tergantikan dengan sorot mata yang mendadak serius. Namun ia buru-buru menepis pikiran itu.

“Ah, Jelita mah kuat, Ma. Dia bahkan bisa marahin aku kayak singa,” balas Jordi sambil melanjutkan langkahnya ke arah dapur.

Di atas sana, Jelita sedang membuka lemari bajunya, bersiap mandi sambil terus menggerutu soal kakaknya.

Tak berselang lama setelah suara gemericik air dari kamar mandi berhenti, terdengar ketukan di pintu kamar Jelita.

Tok tok tok!

“Lit! Udah mandi belum? Ayo turun, waktunya makan siang!” terdengar suara Jordi dari balik pintu.

Jelita yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, mengangkat alis dengan malas. “Iyaaa, Kak! Baru juga selesai... sabar napa, nggak bakal kabur tuh ayam kecap!”

“Justru karena itu ayam kecap, makanya cepetan! Bisa-bisa aku sikat semua!” ancam Jordi dengan nada menggoda.

Jelita mengerucutkan bibirnya kesal, lalu buru-buru mengganti bajunya. “Dasar predator ayam kecap...!”

Sambil bersungut-sungut, ia mengenakan kaus dan celana pendek santainya, lalu bergegas keluar kamar.

“Kalau sampai paha ayamnya habis, aku mogok ngomong seharian!” teriaknya menuruni tangga dengan cepat.

Dari ruang makan, Jordi hanya tertawa puas. “Mau aku bungkusin ke kulkas juga, Lit?”

“Berani ya, Kak?!”

Mama mereka yang sudah duduk di meja makan hanya bisa geleng-geleng sambil tersenyum geli. “Kalian berdua ini... kalau nggak ribut sehari kayaknya nggak afdol.”

Jelita baru saja menarik kursi dan duduk di meja makan saat kepalanya menoleh ke sekeliling.

“Eh, Ma, Papa mana?” tanyanya sambil menuang air minum ke gelasnya.

Mama yang sedang membagi lauk hanya menjawab santai, “Belum datang, mungkin masih dijalan atau...”

Namun belum sempat Mama menyelesaikan kalimatnya, suara khas pintu depan terbuka terdengar. Diikuti suara sepatu dan suara berat yang sangat familiar bagi Jelita.

“Ada apa cari Papa, princess?” seru suara itu dari arah pintu masuk.

Jelita refleks menoleh dan tersenyum lebar. “Paaa!” serunya gembira.

Papa Jelita, mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut, muncul di ambang pintu ruang makan dengan senyum lebar. “Papa baru nyampe langsung ditanyain. Kangen banget ya?”

“Enggak juga,” sahut Jelita pura-pura cuek. “Cuma nanya doang, kok.”

“Tuh kan, cewek ini gengsi mulu,” celetuk Jordi sambil mencomot kerupuk.

Papa tertawa dan mengacak rambut Jordi sambil berjalan ke arah kursinya. “Kamu ini udah gede masih suka usilin adikmu.”

“Selamanya,” jawab Jordi dengan bangga.

Mereka pun mulai makan bersama, penuh kehangatan dan canda tawa khas keluarga.

Terpopuler

Comments

ᵉᶠ・゚:* 𝕰𝖑𝖑𝖊 *:・゚

ᵉᶠ・゚:* 𝕰𝖑𝖑𝖊 *:・゚

jadi gimana gitu rasanya kalau bayangin salah satu dari mereka berpisah selamanya 🥺

2025-04-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!