Seumur hidupnya, Syailendra tidak pernah berpikir akan menuruti keinginan seorang gadis. Ralat. Ia tidak pernah menuruti keinginan siapa pun. Ia hidup hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk siapa-siapa. Dari kecil ia dilatih untuk tidak terlihat dan terlalu bersinar, sehingga cowok itu tidak memiliki keinginan memiliki teman.
Dan sekarang, ada gadis asing yang masuk ke hidupnya. Sayangnya, ia harus ikut aturan dari gadis itu karena faktanya ia adalah peserta cadangan di tim mereka. Peserta cadangan harus menurut apa kata peserta utama. Terlebih perlombaan ini diadakan secara team, bukan personal.
Kalau aku tahu jadinya begini, aku nggak mau nerima tawaran Pak Edi untuk jadi peserta cadangan. Ia membatin jengkel.
Sejujurnya, Syailendra tidak pernah mendaftarkan dirinya atas perlombaan apa pun di sekolah. Bahkan selama ini pun ia tidak pernah ditunjuk oleh guru. Namun sejak naik ke kelas dua belas dan bertukar guru matematika, ia jadi diperhatikan oleh guru yang terkenal killer itu.
Satu minggu lalu, Pak Edi menunjuknya untuk jadi peserta cadangan olimpiade sains tingkat kota. Syailendra awalnya menolak, namun karena terus dibujuk oleh gurunya itu, Syailendra menerima tawaran tersebut. Tanpa sepengetahuan orang tuanya....
Maka di sinilah mereka berada saat ini. Bukan toko buku mewah seperti yang digambarkan oleh Ratu, melainkan pasar buku Palasari, atau lebih tepatnya tempat yang menjual aneka buku bekas dengan harga miring. Syailendra yang mengajak Ratu ke tempat ini.
"Kamu sering datang ke sini?" tanya Ratu sambil bercelingak-celinguk kiri-kanan, melihat jajaran kios yang menjual aneka buku dan majalah bekas. Sangat estetik.
"Lumayan."
"Buku-bukunya lengkap, enggak? Kalau nggak kita ke toko buku aja."
"Aku punya langganan di sini." Syailendra menunjuk ke kios paling ujung. Kios koko-koko China yang ia dengar sudah 20 tahun berjualan di sini. Dari tahun 2000-an.
Setibanya mereka di kios itu, Syailendra langsung menyapa si Koko yang sering dipanggil dengan sebutan Koko Gong.
"Kamu orang bawa anak gadis, yaaa? Siapa dia? Pasangan?" goda lelaki bermata sipit tersebut.
Syailendra tertawa mendengarnya. Tawa yang jarang sekali ia perlihatkan di sekolah. "Ini teman saya, Koh."
"Cantik sekali yaa."
Ratu tersipu malu. Ia ulurkan tangannya untuk menyalami si Koko. "Ratu, Koh...."
"Wah ... sepertinya kalian ini serasi. Coba, coba saya baca masa depan kalian."
Syailendra menggeleng, namun Ratu langsung mengangguk antusias. Anak itu malah paling semangat karena menurutnya ramalan-ramalan itu sesuatu yang seru.
"Ayo, Koh. Baca masa depan aku dan dia gimana. Ahahah. Aku nggak sabar nih!"
Syailendra memegang tangan Ratu sebagai kode; tidak usah. Tapi Ratu malah bersikeras memaksa diramal. Syailendra jadi menyesal datang ke tempat ini. Ia lupa jika selain menjual buku, Koko Gong juga membuka jasa ramalan, baik itu zodiak, maupun ramalan jodoh. Lelaki itu berpegangan pada kebudayaan China lama.
"Kapan bulan lahir kalian?"
"Aku Juni."
Koko Gong dan Ratu serentak menoleh ke arah Syailendra. Terpaksa lelaki itu memberi tahu tanggal lahirnya. "November."
Maka Koko Gong mulai menghitung-hitung dengan kertas dari buku tuanya. Syailendra geleng-geleng kepala. Ia hanya menganggap hal tersebut mainan belaka.
"Yang satu shio singa, yang satu lagi shio naga. Waduh, ini cocok sekali kalian menjadi pasangan. Kalau menikah, rumah tangganya akan makmur dan dilimpahi banyak rejekinya. Sayang sekali statusnya hanya berteman. Ah, nggak masalah. Sekarang berteman, nanti kan bisa—"
"Saya beli buku teknik-teknik Kimia yang kemarin saya keep. Tolong diambilin Koh, bukunya." Memotong ucapan Koh Gong yang tampaknya semangat sekali membacakan ramalan, wajah Syailendra tampak memerah dengan rasa sedikit memanas.
Entahlah, Syailendra tidak suka saja dengan ramalan. Namun berbanding terbalik dengan wajahnya yang kusut, Ratu malah semangat minta Koh Gong melanjutkan perkataannya.
"Syai ini ganggu banget, deh. Tunggu dulu, aku mau tahu kelanjutannya apa!"
Syailendra mendecak jengkel. "Kita ke sini beli buku. Bukan untuk diramal. Sudah aku bilang, kan? Jangan buang waktuku!"
"Ih ngeselin banget! Jadi orang jangan kaku-kaku gitu, kenapa? Ak—lho, mau ke mana?!"
Belum selesai Ratu bicara, Syailendra pergi meninggalkannya sendirian di sana. Ratu mendecak sebal melihat lelaki itu. Ia menggerutu dengan tampang cemberut, membuat Koh Gong geleng-geleng kepala.
"Dasar anak muda," kata Koh Gong terkekeh. Ia ambilkan buku yang diminta Syailendra tadi dan ia serahkan ke tangan Ratu.
"Ini bukunya. Temanmu memang kayak gitu. Dia formal, apa adanya, nggak neko-neko. Nggak suka dibercandain," jelas Koh Gong.
Ratu mengangguk setuju. "Iya. Dia jutek banget. Susah dideketin."
"Tapi kalau seandainya kamu berhasil meluluhkan hatinya, kamu akan jadi perempuan beruntung. Pegang kata-kata Koko."
Ratu mengerjap tak paham. Melihat hal itu Koko Gong melanjutkan, "sudah sana, susul dia. Nanti dia keburu jauh larinya."
"Ah—iya!" Ratu mengeluarkan sejumlah uang dari dalam sakunya, lantas menyerahkannya ke Koh Gong sebelum akhirnya berlari menyusul Syailendra.
Lelaki itu cepat sekali larinya. Baru saja ia tinggal sebentar, Syailendra sudah menghilang duluan. Bercelingak-celinguk keliling pasar pun ia tak menemukan kehadiran lelaki itu.
"Dia udah pulang duluan ya? Kok tega banget sih," celetuk Ratu.
Gadis itu terus berjalan ke arah kiri pasar. Karena tidak pernah ke sini, Ratu jadi bingung di mana keluarnya. Dapat ia rasakan titik-titik air berjatuhan di kulit dan puncak rambutnya. Menengadah ke atas, Ratu baru sadar hujan mulai turun. Mati-matian ia menyembunyikan buku yang ia beli tadi ke dalam tas. Ia peluk tas tersebut di depan dada, lalu mencari tempat berteduh.
Baru saja ia melangkah, seseorang menahan tangannya dari belakang hingga membuat Ratu berteriak kencang, mengira orang itu adalah penjahat—
"Ini aku!"
—teriakan itu berhenti saat ia menoleh ke belakang dan menemukan Syailendra menutupi kepalanya dengan jacket.
"Makanya, jangan membuang waktu. Begini jadinya." Perkataan itu terdengar pelan, namun tegas.
Ratu cemberut. Bulir air itu menghiasi wajah putih mulusnya. "Aku pikir kamu udah pulang."
Tanpa menjawab perkataan Ratu, Syailendra rapatkan badan mereka, lalu menutupi kepala mereka dengan jaket.
"Ayo aku antar pulang."
Hanya itu yang Syailendra katakan sebelum akhirnya mereka keluar dari area pasar tersebut. Selama di perjalanan menuju gerbang pasar, Ratu berkali-kali melirik Syailendra. Timbul rasa nyaman dan terlindungi yang tak pernah ia dapatkan dari semua gebetannya selama ini.
Syailendra ... berbeda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments