"Permisi, numpang lew—awh!"
Belum jadi Ratu mendapatkan tempat duduk, bis tersebut sudah melaju meninggalkan halte. Akibatnya, Ratu nyaris tersungkur saat mencoba menyelinap di antara penumpang lainnya yang tengah berdiri dan berpegangan pada gantungan tangan.
Ratu mendadak kosong. Seumur hidupnya, baru pertama kali ia naik transportasi umum. Selama ini Ratu hidup dengan penuh kemewahan. Ia diantar jemput oleh supir pribadi setiap hari. Atau, gebetan-gebetannya yang mengantar jemputnya. Ratu itu bak putri raja. Ia dilayani, dicintai dan dimanjakan oleh siapa pun yang menyukainya. Baru kali ini Ratu begitu effort mendekati seorang cowok. Padahal cowok itu baru saja dikenalnya beberapa jam lalu.
"Cantik banget, Neng? Sini berdiri dekat Aa'," ujar salah seorang penumpang laki-laki yang sudah berumur.
Ratu gamang. Tidak ada tempat duduk yang kosong di sana. Ratu hampir jatuh karena bus itu melaju kencang tanpa memikirkan kenyamanan penumpangnya.
"Atuh ... sini makanya. Pegangan aja ke tangan Aa'," goda lelaki itu sekali lagi.
Semua orang tertawa melihatnya. Seolah biasa bagi mereka melihat seseorang merayu perempuan cantik di dalam bis ini. Hal yang biasa bagi orang-orang itu, namun membuat Ratu merasa risih dan sedikit menyesal naik bis ini.
Di tengah kebingungannya itu, tiba-tiba Ratu merasa tangannya ditarik oleh seseorang. Ternyata orang itu Syailendra.
"Jangan ganggu teman saya," tegas Syailendra menatap para pria itu tajam.
"Oalah, temannya. Bilang dong..."
Mengabaikan celetuk-celetukan mereka, lelaki itu membawa Ratu ke bagian belakang bis. Ia tuntut tangan perempuan itu untuk berpegangan pada gantungan. Sementara ia berdiri di belakang Ratu, menutupi tubuh gadis itu dengan badannya. Perbuatannya itu membuat Ratu tersenyum, merasa dilindungi oleh lelaki ini.
"Kamu kenapa ngikutin aku?" tanya Syailendra. Suaranya terdengar dingin dan tenang.
Ratu menoleh, menemukan mata elang Syailendra yang menatapnya cukup intens.
"Pengen berteman," jawab Ratu santai.
"Stress," celetuk Syailendra, membuat mata Ratu membelalak mendengarnya.
"Apa kamu bilang? Stress?"
"Ya iya. Orang waras mana yang mengikuti orang lain sampai ke dalam bis hanya untuk berteman? Kamu sudah di luar batas."
"Hal biasa 'kan? Kecuali aku ngikutin kamu ke kamar mandi baru luar biasa. Nggak apa-apa kamu protes," Ratu cemberut.
"Untuk perempuan yang nggak pernah naik bis seperti kamu aku rasa ini bukan hal biasa."
"Lho, kamu tau aku nggak pernah naik bis?!"
"Bisa ditebak dari cara kamu berdiri dan hampir terjatuh karena berdesakan tadi. Kamu nggak biasa."
Ratu cengengesan. "Keren kan? Demi apa coba aku begini. Kapan lagi seorang most wanted naik bis?"
Syailendra mengembuskan napas singkat. Ia pandangi gadis itu dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Selama ini ia jarang bergaul dan terlihat tidak mau tahu terhadap lingkungan sekelilingnya. Begitu jam pelajaran habis, dirinya langsung pulang ke rumah. Oleh karenanya bagi Syailendra, wajah gadis ini asing. Ia tidak mengenal siapa Ratu dan kepopularannya di sekolah ini.
"Aku mau tagih janji kamu. Ayo traktir aku!"
"Sudah aku kasih uang, kamu malah menolak."
"No! Bukan uang. Aku mau kamu traktir. Trak-tir!" Ratu memperjelas omongannya.
"Nggak bisa. Itu hanya buang-buang waktuku."
"Ya udah, aku ikutin aja kamu ke rumah. Kayaknya seru kali ya kalau kita belajar bareng di rumah kamu?" tantang Ratu.
Mendengar hal itu membuat Syailendra panik. "Kenapa kamu malah membuntutiku sampai ke rumah? Apa kamu nggak ada kerjaan lain selain merusuh sejak tadi?!"
Ratu menggeleng. "Enggak ada. Kebetulan free."
"Astaga. Kamu!" Kepala Syailendra pusing meladeni gadis satu ini. Dirinya yang kaku, tidak pernah bergaul dengan perempuan, akhirnya kewalahan sendiri didekati oleh perempuan hyperaktif seperti anak ini.
"Makanya, ayo traktir aku. Pilihannya dua. Traktir aku, atau kita ke rumah kamu buat belajar bareng! Kamu harus balas kebaikan aku yang udah selamatin modul kamu," paksa Ratu.
"Ya sudah, ya sudah. Ayo kita cari tempat makan."
Karena tidak mau diusik sampai ke rumahnya, maka Syailendra terpaksa menyetujui ajakan perempuan itu. Ia menyetop bus di halte tempat pemberhentian terdekat.
Ratu mengintili Syailendra seperti anak ayam yang mengintili induknya. Wajahnya sangat riang. terlebih saat melihat wajah Syailendra yang kelihatan terpaksa. Harusnya Ratu tersinggung karena cowok ini tidak tulus mentraktirnya. Tapi entah kenapa Ratu merasa bahagia, serasa berhasil melakukan misi tersulit dalam hidupnya.
"Syai, tunggu!"
Jalan Syailendra sangat cepat. Ratu jadi keteteran mengejarnya setelah turun dari bis dan membayar ongkos.
Tidak muluk-muluk, Syailendra langsung masuk ke bakso yang ada di dekat halte. Tidak ada kata-kata manis serupa; kamu mau makan apa? Kita makan di mana? Dan kata-kata sejenisnya sebagai basa-basi. Lelaki itu blak-blakan. Ia yang membayar, jadi semua harus ikut aturannya.
"Makan bakso?"
"Kenapa? Malu makan di warung pinggir jalan?"
"Bukan gitu. Kalau di sini, kita bakal susah belajar barengnya. Aku kan pengen sekalian belajar bareng sama kamu."
"Sudah aku bilang, jangan membuang waktuku." Syailendra sedikit menuntut.
"Ini bukan masalah membuang waktu. Tapi—hei!"
Belum selesai Ratu bicara, Syailendra melenggang ke meja paling pojok dan duduk di sana. Terpaksa Ratu mengikutinya dan mengambil tempat duduk di sebelah lelaki itu. Sembari menduduki bangku, Ratu amati wajah datar yang sangat pelit senyum tersebut. Syailendra sangat dingin seperti kulkas tujuh pintu. Tidak seperti lelaki kebanyakan yang ketika di depannya berlomba-lomba cari perhatian.
"Baksonya dua mangkok yang, Kang. Es teh dua!" sorak Syailendra pada si akang tukang bakso.
"Kamu sering makan di sini?" tanya Ratu.
"Ya."
"Kalau gitu pasti enak, dong, baksonya? Aku percaya selera kamu."
"Dicoba aja nanti."
Dan setelahnya, sembari menunggu pesanan datang, Syailendra mengecek kembali jawaban soal yang tadi ia coret-coret di modul.
Melihat hal itu membuat Ratu makin tertarik menggali informasi tentang lelaki itu lebih jauh. Terutama tentang kepintaran Syailendra di bidang akademis. Anak itu pintar. Sangat pintar malah. Tapi kenapa hanya dijadikan peserta cadangan?
Syailendra ini ibarat harta karun tersembunyi di SMA Cakrawala. Jika dibilang culun, lelaki itu bahkan masih terlihat keren seperti anak remaja pada umumnya. Dia tidak terlalu taat pada aturan sekolah yang mana mengharuskan baju di masukkan ke dalam celana. Sumpah, cowok ini aneh dan misterius. Ratu bahkan sulit menebak kepribadiannya.
"Omong-omong, tadi kenapa kamu kabur pas ada sesi foto bareng? Padahal foto itu kan mau dipajang di mading sekolah dan dimasukin ke koran kota." Ratu membuka pembicaraan, membuat Syailendra yang tengah menyibak modul itu menghentikan kegiatannya sejenak.
"Buat apa foto? Aku hanya peserta cadangan," jawabnya singkat.
Ratu jadi geli sendiri melihat cowok itu sibuk dengan bukunya. Maka, ia ambil buku di tangan Syailendra, lalu ia sembunyikan di belakang punggung.
"Bukuku!"
"Aku lagi ngomong sama kamu. Harusnya kamu tuh natap aku. Bukan malah asyik sama buku. Aku kesel tau!"
"Kamu nggak lihat aku lagi apa?"
"Tapi ada orang lain di sekitar kamu. Jangan dibiasain begitu. Bergaul, Syai, bergaul!"
Syailendra mendecak sebal. Sesaat pandangan mereka bertemu di titik yang sama. Mata tajam bak elang milik Syailendra bertatapan dengan manik coklat milik Ratu. Syailendra jadi kaku sendiri karena ditatap selekat itu. Dari jarak yang dekat pula.
"Aku bilangin, ya. Kamu tuh pintar. Aku aja kalah cepat dari kamu ngerjain soal-soal. Makanya aku kaget pas kamu diumumin jadi peserta cadangan. Kamu pantasnya jadi peserta utama," sekali lagi, Ratu mengingatkan.
Syailendra tidak menjawab. Ia ambil kembali bukunya dari tangan Ratu, lalu menyimpannya ke dalam tas. Wajah lelaki itu terlihat tanpa ekspresi.
"Aku serius. Kamu sepintar itu, Syai," ulang Ratu.
"Biasa saja."
"Enggak. Kamu tuh luar biasa. Enggak biasa aja!"
"Buktinya aku hanya jadikan peserta cadangan. Sudahlah. Jangan membahas ini lagi!"
Bersamaan dengan itu bakso pesanan mereka datang. Pada akhirnya mereka berdua fokus menghabiskan makanan. Beda dengan Syailendra yang tampak biasa saja karena sudah sering makan di sini, Ratu malah heboh sendiri karena baru tahu ada bakso seenak ini. Biasanya Ratu makan bakso di restoran atau di gerai bakso terkenal. Tidak bakso pinggir jalan yang harganya murah seperti ini. Semangkoknya dua belas ribu saja. Tapi rasanya lebih enak dari pada bakso di restoran yang harganya mencapai lima puluh ribu.
"Kayaknya kamu harus sering-sering ajakin aku makan di sini!" seru Ratu.
Syailendra menahan suapannya. "Sering?"
"Ya. Karena ke depannya, aku bakal deketin kamu terus. Khususnya selama lomba ini berlangsung."
Syailendra baru saja akan memprotes, namun Ratu lebih dulu memotongnya. "Jangan protes. Aku peserta utama. Peserta cadangan harus nurut. Demi kelangsungan pertandingan," kata Ratu sambil mengedip genit.
Syailendra mendecak, namun meski begitu tidak lagi terdengar protes dari mulutnya.
"Pulang naik taksi aja. Atau minta jemput sama orang rumah kamu."
Ucapan itu membuat Ratu menoleh. Mereka sudah selesai makan bakso, dan saat ini sudah berada di luar warung bakso tersebut.
"Kenapa begitu?"
"Kalau kamu ngerasa enggak aman, jangan pernah naik bis lagi." Syailendra berujar, yang mana tanpa ia sadari membuat Ratu menahan senyum. Hal sederhana, namun bagi Ratu entah kenapa sangat berarti. Meski tidak bilang, Ratu bisa merasakan lelaki ini sedang menjaganya.
"Telfon orang rumah kamu. Atau pesan taksi untuk pulang. Biar aku tunggu sampai ada yang datang jemput kamu."
Alih-alih mematuhi ucapan Syailendra, Ratu malah terdorong memegang tangan lelaki itu. Hal tersebut membuat Syailendra menatap ke bawah, tepatnya ke arah tangan mereka berdua yang saling bersentuhan. Hangat, lembut dan basah karena keringat.
"Aku belum mau pulang," kata Ratu, membuat Syailendra mengerutkan dahi. "Kamu ... harus temenin aku ke toko buku. Ya, ya, ya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments