Bab 2 - Lelaki Misterius

Bel pulang sekolah berbunyi. Ratu, Sasa dan Heri berkumpul di ruang latihan olimpiade untuk membahas soal bersama. Ratu sangat antusias datang ke pertemuan kali ini karena ingin melihat wajah Syailendra yang namanya dimasukkan ke peserta cadangan itu. Sejak mendengar penjelasan Heri, rasa penasaran Ratu menjadi-jadi.

Syailendra. Rasanya Ratu pernah mendengar nama itu ketika diumukan di lapangan sebagai juara kelas waktu kelas sepuluh. Tapi ia tidak pernah melihat wajah lelaki itu. Ratu merasa baru keluar dari goa karena tidak tahu apa-apa.

"Ayang, nanti kita bareng-bareng terus, ya? Pokoknya Ayang harus terus sama aku."

Suara meringik Sasa yang duduk di seberang mejanya itu membuat telinga Ratu bising. Dua temannya itu memang terkenal bucin. Alangkah malang nasib Ratu karena satu tim dengan orang pacaran. Habis sudah dirinya menjadi tim hore.

"Iya, Ayang. Aa' akan tetap sama Ayang. Kita belajar bareng, terus jalan deh habis belajar untuk ngerefresh pikiran." Heri menjawab.

"Ayang baik banget, sih. Pengertian sama aku...."

"Iya, dong. Ayangnya siapa dulu?"

"Ayangnya Acha!" jerit Sasa riang.

Kesal, Ratu menggeplak meja. "Duh, bisa diem nggak sih? Kalian bikin telinga aku sakit!"

"Halah, bilang aja lo iri hati ngelihat kami so sweet begini. Makanya, cari pacar tuh bener-bener. Jangan dideketin aja. Dipacarin juga dong sekalian," sahut Heri. mencebikkan lidah.

"Bener tuh, Ra. Kamu kayaknya harus open minded deh. Percuma dekat sana-sini tapi hasilnya zonk. Ujung-ujungnya ngintilin orang pacaran mulu," ledek Sasa.

"Nyenyenye. Berisik!" gerutu Ratu yang membuat dua orang itu tertawa puas.

Bersamaan dengan itu terdengar suara ketukan heels memasuki ruangan. Ratu, Sasa dan Heri menoleh bersamaan. Itu adalah Bu Susan—guru kimia mereka. Dan di belakangnya terdapat seorang lelaki dengan tubuh tinggi dan wajah yang bisa dikategorikan tampan. Lelaki itu membawa modul di tangannya.

"Maaf karena ibu lama datangnya, ya. Tadi ada rapat sebentar." Bu Susan menduduki kursi di depan ruangan itu—tepat di sebelah papan tulis. Sementara lelaki yang baru datang tersebut menduduki kursi sebelah Ratu.

Ratu menatap lelaki itu lekat-lekat. Anak mana ini? Kenapa tampan sekali? Bahkan kalau boleh diadu, cowok ini lebih tampan dibanding Aldo yang mengejar-ngejarnya tadi. Tapi kenapa ia baru melihat anak ini sekarang?

"Kalian udah baca-baca materi yang ibu kirim di grup wa tadi kan?"

"Udah, Bu...," jawab mereka serentak.

Ratu memerhatikan gerak-gerik lelaki tersebut. Ketimbang ikut menjawab pertanyaan Bu Susan, cowok itu malah sibuk membaca modul. Benar-benar aneh.

"Sebelum masuk ke materi untuk persiapan olimpiade, ibu mau nanya dulu. Kalian semua udah saling kenal, kan?"

"Udah, tapi sama yang ini belum." Ratu antusias menjawab.

Lelaki itu menoleh ke arahnya. Detik itulah mereka bertemu pandang untuk pertama kalinya. Ternyata wajah lelaki itu jika dilihat dari dekat memang sangat tampan. Hidungnya mancung, alisnya tebal, kulit yang tidak terlalu putih, tapi tidak terlalu cokelat. Pas kontras warnanya dengan warna kulit laki-laki pada umumnya.

"Endra, kamu kenalkan diri sama temen-temen ya? Mereka ini satu tim sama kamu. Walau di sini kamu hanya peserta cadangan, tetap kamu harus menjaga kekompakan sama mereka," suruh Bu Susan.

Ratu, Sasa dan Heri menantikan respon Syailendra. Cowok itu mengangguk tanpa suara. Benar-benar irit bicara.

"Aku Syailendra. Panggil saja Endra."

Singkat, padat jelas. Tanpa embel-embel apa pun, lelaki itu kembali menatap modul di tangannya dan bersikap abai seolah tidak ingin tahu nama teman-temannya yang lain. Hal itu membuat Heri mendecak-decakkan lidah jengkel.

"Wuih, songong amat. Nggak pengen kenalan sama kami, kah?" Heri berseru.

"Udah, biarin aja," tegur Sasa.

"Tap—"

"Ya sudah, ya sudah. Kita nggak punya banyak waktu untuk bergurau. Nanti saja di luar ajang kenal-kenalannya. Sekarang, bisa kita masuk ke materi?" tanya Bu Susan.

"Bisa, Bu." Semuanya serentak menjawab. Suara Syailendra yang paling kecil di antara mereka.

Dan setelah itu mulailah proses pembahasan soal sekaligus penyampaian tata tertib perlombaan. Untuk sampai ke tahap olimpiade, mereka ada beberapa kali sesi latihan yang mengharuskan mereka berkumpul di tempat ini.

Selama Bu Susan menjelaskan, tatapan Ratu tidak beralih dari Syailendra. Anak itu fokus pada soal-soal yang ada di buku dan mengerjakannya dengan sangat cermat. Ratu mengintip. Ia takjub dengan kepintaran seorang Syailendra meski mereka baru pertama kali bertemu hari ini.

"Halo," sapa Ratu.

Syailendra tersentak mendapati Ratu yang menggeser posisi duduk ke arahnya. Sama seperti anak-anak ambis pada umumnya yang enggan memberi contekan pada orang lain, Syailendra menjauhkan buku soal itu dari jangkauan Ratu. Lelaki itu menutup tulisannya dengan tangan tanpa menoleh ke arah Ratu.

"Hei, aku sama sekali nggak pengen nyontek. Aku juga bisa kok kerjain soal-soal itu. Aku cuma pengen kenal sama kamu."

"Tadi udah, kan?" Dingin, datar dan tenang. Menyebalkan memang. Apa Syailendra ini introvert atau alergi bergaul dengan manusia lain? Kenapa kaku sekali?!

"Ya maksud aku bukan kenal secara formal gitu. Tapi ... kita ini kan satu tim. Harus kompak, dong. Kamu nggak dengar kata Bu Susan?" Ratu masih mencoba mengajak lelaki itu bicara.

"Aku hanya peserta cadangan. Tanpa kehadiranku pun lomba tetap berlangsung."

"Hei, Syai. Ak—"

"Endra. Namaku Endra!" Syailendra mengeja.

Ratu malah terkekeh. "Lucu tauk dipanggil Syai-Syai. Biar beda aja."

Syailendra diam, tidak menyahut. Kesabaran Ratu hampir terkikis menghadapi manusia satu itu.

"Aku serius pengen kenal sama kamu. Kita semua teman. Jadi—"

"Aku sibuk. Tolong jangan mengganggu."

Ratu menganga mendengar hal itu. Seumur hidupnya bergaul dengan berbagai macam manusia, tidak pernah ia temui manusia dengan karakter dingin seperti ini. Ratu merasa pesonanya diabaikan. Padahal semua orang berlomba-lomba di luar sana ingin dekat dengannya. Namun lelaki ini malah mengabaikannya. Ada rasa jengkel tersendiri di hati Ratu.

"Ra, bagi jawaban nomor dua!"

Sasa menyenggol kaki Ratu dari seberang meja. Ternyata hal itu tidak luput dari pengamatan Syailendra. Meski sibuk mengerjakan soal. Ekor matanya melirik pergerakan antara Sasa dan Ratu sejak tadi. Karena suara mereka membuat konsentrasinya buyar.

"Jangan dibiasakan menyontek. Kerjakan dulu soalnya, nanti baru dibahas sama-sama." Syailendra bersuara, membuat ketiga orang itu menoleh dengan ekspresi kaget. Terutama Heri.

"Widih, ternyata lo bisa ngomong juga, ya? Enggak bisu ternyata." Heri meledek.

"Kamu udah siap, Ndra?" timpal Sasa, bersikap sok akrab.

"Hampir," sahut Syailendra.

Sekali lagi Ratu dibuat ternganga. Takjub dirinya dengan kehebatan lelaki misterius itu. Tapi kenapa Syailendra diletakkan pada posisi peserta cadangan? Padahal Ratu akui, Syailendra sangat pintar. Bahkan kepintaran lelaki itu melebihi dirinya. Harusnya Syailendra menjadi peserta utama. Dan harusnya ... lelaki itu menjadi salah satu most wanted sekolah karena ketampanan dan kejeniusannya.

Ah ... ternyata MIPA 4 memiliki harta karun tersembunyi ....

***

"Syai! Yuhu. Tungguin!"

Ratu terengah-engah mengejar cowok bernama Syailendra yang kini sampai di depan gerbang. Jalan lelaki itu sangat cepat. Ratu kewalahan mengejarnya. Belum selesai pertemuan tadi, Syailendra sudah pulang duluan tanpa berbasa-basi. Hal itu membuat Ratu kerepotan menyusul cowok itu karena meninggalkan modulnya di meja.

Syailendra menoleh ke balik bahu. Alisnya menukik, terlihat bingung kenapa Ratu mengejar-ngejarnya. Rasa penasarannya itu baru terjawab setelah Ratu mengulurkan modul ke tangannya.

"Punyamu! Lain kali jangan asal pulang gitu aja. Ketinggalan, kan, barang-barang kamu," ujar Ratu ngos-ngosan.

Lelaki itu baru teringat jika modulnya tertinggal di atas meja. Itu semua karena ia keluar dari ruangan secara terburu-buru saat mereka mengambil gambar untuk dikirimkan ke Kepala Sekolah.

"Terima kasih," sahut Syailendra, yang kemudian memutar badan dan melanjutkan langkah menuju jalan raya--

"Udah, gitu doang?" decak Ratu tak habis pikir. "Nggak ada imbalan, nih, karena udah ngembaliin buku kamu?"

Syailendra berhenti melangkah. Ia menoleh dengan tampang datarnya. "Kamu mau apa?"

Ratu terkikik. Ia dekati cowok itu, lantas berkata, "setidaknya traktir aku makan gitu." Lalu mengedipkan mata.

Syailendra menghela napas, lantas mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celananya. Ia letakkan satu lembar uang warna biru di tangan Ratu.

"Ambil aja. Cari makan sendiri."

Ratu ternganga menatap rupiah di tangannya. Hei! Seorang Ratu Anggrianto memiliki banyak uang saku. Dia tidak butuh diberi uang. Yang Ratu butuhkan itu adalah lelaki itu mau ia dekati. Masa tidak peka juga, sih?

Belum sempat Ratu menjawab, Syailendra melanjutkan langkahnya menuju halte bis depan sekolah. Ratu mengerjapkan mata. Ia baru tahu anak sekeren Syailendra ternyata ke sekolah menggunakan bis alih-alih naik kendaraan seperti anak-anak lainnya.

Entah apa yang ada di pikiran Ratu hingga gadis itu nekat membuntuti Syailendra. Begitu bis sampai di depan halte, Ratu ikut-ikutan naik bis tersebut karena Syailendra sudah masuk duluan.

Percayalah ... ini kali pertama seorang Ratu—anak orang terpandang—mau capek-capek naik bis hanya demi sebuah perkenalan dengan lelaki misterius ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!