Keesokan Pagi
Roni terbangun dan mendapati dirinya masih berada di tempat tidur Maya. Namun, Maya sudah tidak ada di sampingnya. Ia melihat bercak darah di atas sprei, membuatnya menggelengkan kepala, mengingat kejadian malam sebelumnya.
“Bukan hanya cantik, tubuhnya juga begitu mempesona. Maaf ya, Mbak, kalau aku terlalu bersemangat semalam,” gumamnya.
Roni bangkit, membersihkan tubuhnya yang masih lengket karena cumbuan semalam. Setelah selesai, ia bersiap untuk pergi ke kampus barunya, tempat ia diterima melalui program beasiswa.
Saat mengambil air minum di meja makan, ia mendapati sarapan yang sudah disiapkan oleh Maya. Sambil tersenyum, Roni merasa sangat berterima kasih atas kebaikan wanita itu. Ia menikmati makanannya dengan lahap sebelum berangkat.
Di Kampus Baru
Sementara itu, Maya yang berada di meja kerjanya di rumah sakit termenung, mengingat kejadian semalam. Senyuman kecil terlukis di wajahnya. Ia tidak menyangka dirinya menyerahkan tubuhnya pada pria yang baru ia kenal.
“Ah, kenapa masih terasa perih begini…” Maya meringis kecil sambil memijat pinggulnya.
Di sisi lain, Roni tiba di kampus barunya dengan penuh semangat. Ia tersenyum, meski pakaian yang ia kenakan sedikit lusuh. Namun, wajah tampannya berhasil menutupi kesan sederhana itu.
“Permisi, Sobat. Apa saya boleh bertanya di mana ruang pendaftaran?” tanya Roni dengan sopan pada seorang mahasiswa.
Setelah diberi arahan, Roni segera menuju ruang pendaftaran, menyerahkan formulir, dan resmi menjadi mahasiswa di kampus tersebut. Ia memutuskan untuk berkeliling, mencoba mengenal lingkungan barunya.
Sikap ramahnya menarik perhatian banyak orang. Beberapa mahasiswa wanita memperhatikan Roni dari kejauhan, membicarakan penampilan dan gaya santainya.
“Siapa dia? Sepertinya dia siswa baru. Tapi, kenapa bajunya lusuh begitu?” bisik salah satu dari mereka.
Namun, wajah Roni tetap berseri-seri, tidak peduli pada penilaian orang. Saat melewati sebuah tangga, Roni tanpa sengaja menabrak seorang gadis cantik yang sedang membawa buku.
“Maaf, Kak! Saya nggak sengaja,” kata Roni sambil segera memunguti buku yang jatuh.
Gadis itu hanya terdiam, memandangi Roni dengan tatapan terpukau. Ia tidak memperhatikan pakaian sederhana Roni, tapi lebih tertarik pada senyum manisnya.
“Tunggu…” ucap gadis itu pelan. Namun, Roni sudah berlalu, tidak mendengar panggilannya.
Di Lapangan Kampus
Roni melihat sekelompok mahasiswa bermain sepak bola di lapangan. Dengan ramah, ia menyapa mereka.
“Hai, Sobat! Apa saya boleh ikut bermain?” tanyanya sopan.
Awalnya, mereka ragu, tapi salah satu pemain yang lelah mempersilakan Roni menggantikannya.
“Baiklah, kamu gantikan aku,” kata seorang pemuda bernama Ben.
Setelah bergabung, Roni menunjukkan keahliannya dalam bermain bola. Gaya dan kelincahannya membuat semua orang terpesona.
“Hebat sekali! Siapa dia? Giringannya luar biasa,” seru para penonton.
Namun, tidak semua terkesan. Jack, salah satu pemain dari tim lawan, terlihat tidak menyukai Roni.
“Lihat, Jack. Dia lebih hebat darimu,” ujar Ari, teman Jack, sambil tersenyum mengejek.
“Diam kamu!” balas Jack kesal, menatap tajam ke arah Roni.
Itulah awal kisah Roni di kampus barunya, di mana ia mulai menarik perhatian banyak orang, baik teman maupun musuh. Namun, ia tetap menjalani semuanya dengan senyuman dan sikap ramah yang menjadi ciri khasnya.
Roni merasa cukup berkeliling kampus, lalu memutuskan untuk beristirahat sejenak guna menghilangkan keringat setelah bermain bola. Setelah beristirahat, ia kembali melanjutkan langkah, menjelajahi setiap sudut kampus dengan penuh semangat.
Ketika mahasiswa mulai pulang, Roni pun memutuskan untuk pulang. Namun, saat tiba di gerbang keluar, sebuah mobil berhenti di sampingnya. Seorang pemuda menyapanya.
"Hai, sobat. Mau ikut?" tanya pemuda itu yang ternyata Bobi, teman setim Roni saat bermain bola tadi.
Roni dengan sopan menolak, "Tidak usah, saya jalan saja. Dekat kok."
Namun, Bobi mendesaknya dengan ramah, "Ayolah, anggap saja sebagai perkenalan. Kami juga nggak langsung pulang, ini mau keliling sebentar. Ayo, ikut saja, nanti aku ajak keliling kota."
Akhirnya, Roni setuju. Dengan sedikit canggung, ia membuka pintu belakang mobil, tetapi terlihat bingung karena tidak tahu cara membukanya. Gadis di dalam mobil membukakan pintu untuknya.
"Terima kasih, Kak," ujar Roni dengan senyum. Ia menatap gadis itu, yang ternyata adalah Miya, adik Bobi sekaligus gadis yang ia tabrak sebelumnya.
"Kenalin, ini Seli pacarku, dan ini Miya, adik perempuanku," kata Bobi memperkenalkan kedua gadis di mobil itu.
"Halo, Miya. Halo, Seli. Kenalin, saya Roni, anak baru," ujar Roni ramah. Miya yang duduk di sebelah Roni hanya tersenyum malu-malu, merasa canggung berada begitu dekat dengannya.
Sepanjang perjalanan, Bobi dan Roni terlibat dalam obrolan hangat, sementara Miya lebih banyak diam, hanya sesekali tersenyum. Seli pun lebih memilih mengamati percakapan tanpa banyak ikut campur.
"Oya, Roni. Besok hari Minggu kami mau camping di pantai. Kamu mau ikut? Kita mau nginap beberapa malam di sana," ajak Bobi dengan antusias.
"Boleh, tapi saya nggak ngerepotin kan? Soalnya, saya nggak biasa yang seperti ini," jawab Roni polos.
"Udahlah, nggak usah mikir soal itu. Semua biaya aku yang urus. Anggap saja sebagai acara bareng sahabat. Mulai sekarang, kamu sahabatku. Kalau ada yang ganggu kamu, kasih tahu aku," kata Bobi tegas.
Mendengar itu, Roni merasa semakin sungkan. Dia tidak menyangka Bobi bukan hanya kaya, tetapi juga sangat baik hati.
"By the way, kamu tinggal di mana, Ron?" tanya Bobi.
"Saya ngekos di sekitar sini," jawab Roni.
"Kalau gitu, mau nggak tinggal bareng aku? Kebetulan di rumah ada kamar kosong," tawar Bobi.
Roni langsung menolak, "Tidak usah, Bob. Jadi sahabat kamu saja itu sudah lebih dari cukup. Kalau sampai tinggal bareng, saya malah makin malu."
Bobi tersenyum. "Baiklah, tapi ingat, kalau ada apa-apa, bilang ke aku. Jangan sungkan, ya."
Percakapan mereka terus mengalir. Roni sempat menoleh ke Miya yang masih diam. "Miya, kok diam saja dari tadi?" tanyanya.
"Miya memang pemalu, Ron. Tapi nanti kalau sudah akrab, dia nggak akan begitu lagi," jawab Bobi sambil tersenyum.
"Hehe, jangan malu-malu, Miya. Yang seharusnya malu tuh saya," gurau Roni. Miya hanya tersenyum kecil, menundukkan wajahnya.
Bobi benar-benar meluangkan waktu untuk mengajak Roni berkeliling kota, bahkan mengorbankan waktu romantisnya bersama Seli. Mereka mengunjungi berbagai sudut kota hingga akhirnya berhenti di sebuah restoran. Di restoran itu, Roni terlihat begitu kikuk—tidak tahu makanan apa yang harus dipesan atau cara duduk yang benar. Tingkah lugu dan kampungannya sempat menarik perhatian orang-orang sekitar. Beberapa bahkan mencibir, tetapi Bobi membela Roni.
"Dia ini sahabatku. Siapa pun yang menghina dia, sama saja menghina aku," ucap Bobi tegas, membuat orang-orang terdiam.
Bobi benar-benar menghargai Roni, karena sudah mencari tahu latar belakangnya. Ia tahu bahwa Roni bukan orang sembarangan. Dengan kecerdasan dan bakatnya, Roni berhasil masuk kampus bergengsi lewat jalur beasiswa.
Di tengah makan, Bobi berbicara kepada Miya, "Miya, banyak-banyaklah bergaul sama Roni. Dia pasti bisa menjagamu. Aku nggak suka kamu terlalu dekat sama Jack atau orang-orang yang nggak benar."
Roni yang mendengar itu bingung. "Kenapa, Bob? Bukannya banyak teman itu lebih seru?" tanyanya polos.
"Jack itu bukan orang baik, Ron. Aku nggak mau Miya salah langkah. Dia satu-satunya adik perempuanku. Sepertinya kalian akan satu kelas nanti. Jadi, tolong jaga dia, ya," pinta Bobi.
Roni mengangguk setuju walaupun masih belum sepenuhnya paham situasinya.
Setelah selesai makan, Bobi mengantar Roni kembali ke tempat tinggalnya. Namun, ketika Roni memintanya masuk, Bobi menolak karena harus menyelesaikan urusan mendesak.
"Baiklah, Bob. Hati-hati, ya," ucap Roni sebelum Bobi pergi.
Saat masuk ke rumah, Roni melihat Mbak Maya sedang asyik bekerja dengan laptop di sofa. Mbak Maya, yang sekarang sudah tidak malu-malu lagi mengenakan pakaian seksi di depan Roni, membuat pria itu kembali menelan ludah.
"Mbak, saya pulang," sapa Roni.
"Saya sudah siapkan makanan. Kamu tinggal ke dapur saja," kata Mbak Maya tanpa menoleh.
"Astaga, Mbak. Kenapa repot-repot? Saya jadi nggak enak. Lagi pula, tadi saya sudah makan bareng teman baru," jawab Roni.
Mbak Maya tersenyum kecil. "Kan Mbak sudah bilang, anggap saja rumah ini rumah sendiri. Jangan banyak alasan."
"Baiklah, Mbak. Maaf, tapi saya masih kenyang. Nanti saja kalau lapar, ya," kata Roni, mencoba menolak dengan sopan.
"Baik. Oya, tadi Bayu mencarimu. Dia pikir kamu di rumah. Nanti temui dia, ya. Katanya mau ngobrol," ujar Mbak Maya.
"Siap, Mbak. Saya akan temui dia sekarang," balas Roni, lalu segera pergi menemui Bayu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments