Benar-benar seperti pasangan sungguhan!
Menghabiskan waktu makan pizza sambil minum kopi nyatanya tidak membuat kedua orang itu puas bersama. Padahal mereka duduk di kafe itu berjam lamanya. Kini, Jenar minta diajak ke hutan bakau sampai nanti sunset tiba. Maka Gena pun menuruti kemauan bocah itu. Gena juga sudah menyewa motor ini seharian. Jadi ia rasa dirinya akan rugi jika pulang sekarang.
“Mau jalan sekarang?” tanya Gena.
Jenar yang barusan meneguk kopi terakhirnya itu mengangguk. “Iya, ayok. Tapi kayaknya kesiangan kalau ke hutan bakau sekarang. Gimana kalau kita makan ice cream dulu?”
“As your request ...”
Sekali lagi Jenar bahagia. Ia merasa semua permintaannya dituruti oleh Gena tanpa keberatan sekali pun. Sebagai ungkapan bahagianya, Jenar memeluk lengan Gena erat-erat sambil mengoceh lucu. Hal itu membuat Gena secara tidak sadar menggerakkan jemarinya untuk mencubit ringan pipi gembul itu.
“Senang sekarang, hm?” tanya Gena.
“Banget! Akhirnya liburan aku nggak sia-sia! Aaaa! Makasih Gege!”
Asal kamu bisa lupa sama cinta pertamamu itu, batin Gena.
****
“Gege, nanti kita ke sana ya!”
“Aaa Gege, Jeje mau seblak! Mampir dulu yaaaa!”
“Ge, tengok itu ada anak anjing lucuuuu!”
“Ge, mau makan baksooo!”
Suara heboh Jenar mengisi pendengaran Gena sejak tadi. Gadis itu tak henti mengoceh di belakangnya. Ia kabulkan permintaan yang satu, dan setelahnya Jenar minta lagi permintaan selanjutnya. Alih-alih cuma makan ice cream, perut mereka kini kembung diisi oleh seblak dan bakso.
Jenar benar-benar bahagia. Beban hidup dan beban pikirannya menguap saat ia bersama Gena. Jenar merasa menemukan orang yang bisa memahaminya, yang memperlakukannya lembut seperti tuan putri, yang tidak pula bosan mendengar bawelannya.
Tidak masalah baru kenal sehari. Waktu tidak menentukan segalanya, bukan? Kalau nyaman, ya apa salahnya? Bahkan ada orang yang butuh waktu satu tahun lamanya untuk mencari kecocokan, dan pada akhirnya tidak bersama karena merasa tidak cocok. Tapi yang Jenar rasakan pada Gena beda. Meski tidak ada niatnya sekarang menjalin hubungan dengan pria itu.
Perlahan Jenar menyandarkan pipinya di punggung Gena. Kedua tangannya melingkar di perut cowok itu dari arah belakang. Sesekali pula Gena menurunkan sebelah tangannya dari stang motor untuk menggenggam jemari lembut Jenar. Keduanya sangat nyaman dengan posisi itu.
Kini mereka dalam perjalanan menuju hutan bakau dikarenakan hari sudah menunjukkan pukul empat sore.
“Ge, aku beneran penasaran deh,” celetuk Jenar.
Gena memundurkan kepalanya ke belakang. “Apa?”
“Kamu benar jomblo kan? Aku ngerasa bersalah. Takut banget kalau ternyata kamu ada cewek. Ngelihat kita kayak gini, apa nggak sakit hati dia?”
Gena menepuk pelan pipi Jenar. “Sudah aku bilang, aku single. Nggak ada pacar. Jangan mikir terlalu jauh!”
“Ya wajar aja, ‘kan? Kita baru kenal kemarin tapi udah sedekat ini. Coba? Siapa yang nggak kepikiran?”
Gena malah usil. “Kamu yang nempelin aku terus.”
“Ih, mana ada! Kamu ya yang nemplok mulu kerjaannya!”
Gena tertawa. “Dasar bocah.”
“Enak aja bocah. Kamu tuh bentar lagi mau kepala tiga. Ih, nggak malu!” ledek Jenar.
Mereka terus bergelut sepanjang perjalanan. Pemandangan pantai menjadi latar kebersamaan mereka. Siapa pun yang melihat keduanya, pasti beranggapan mereka adalah sepasang pasutri yang menikmati waktu bulan madu.
Akhirnya, gerbang hutan bakau itu terlihat juga. Gena memarkirkan motornya, lantas menggenggam tangan mungil Jenar untuk masuk ke hutan tersebut. Sepanjang jalan, Jenar menggandeng tangan Gena, tak membiarkan lelaki itu lepas dari sisinya.
Mereka melintasi jembatan kayu yang membelah hutan. Sesekali pula berhenti karena Jenar ingin berfoto. Kebetulan, Jenar menyamakan warna bajunya dengan baju Gena. Jadilah mereka terlihat seolah sedang memakai baju couple.
“Mau foto berdua nggak?” Jenar berinisiatif.
Gena mengangguk. “Boleh. Ayo foto berdua untuk kenang-kenangan.”
Lantas mereka pun mengatur posisi kamera di atas tripod, mengatur timer, dan terambillah gambar mereka berdua. Tidak banyak pose, namun terlihat estetik karena Gena yang mengatur posisi mereka. Ya. Gena hobi fotografi. Jadi ia tahu posisi dan angel yang pas untuk berfoto.
Habis berfoto, mereka melanjutkan jalan-jalan ke penghujung jembatan. Pemandangan alam yang sangat asri membuat pikiran mereka semakin jernih. Untuk sesaat, Gena bisa melupakan sakit hatinya karena ditipu sahabat sendiri. Jenar pun juga sama. Untuk sehari ini, otaknya melupakan Hanif. Yang terisi di benak Jenar hanyalah momen kebersamaan mereka saat ini.
Waktu bergulir sangat cepat. Kini, cahaya mentari mulai berubah warna menjadi kemerah-merahan. Momen senja ini dimanfaatkan oleh mereka dengan baik. Gena mengajak Jenar duduk di ujung jembatan, tepatnya di dekat pondokan. Kaki mereka menjuntai ke bawah. Tangan mereka menyandar di pagar jembatan. Dari sini, pesona pantai pangandaran itu tampak elok mengisi penglihatan.
Bisakah mereka menghentikan waktu sejenak agar kebersamaan ini tidak berakhir cepat?
“Je,” panggil Gena, suaranya terdengar berat dan dalam.
“Iya?”
“Kamu sadar nggak?” Gena menoleh, dan di saat bersamaan Jenar menoleh. Pandangan mereka bertemu di titik yang sama.
“Sadar apa?”
Gena menggerakkan tangannya mengusap puncak kepala Jenar. Ia pandangi gadis itu dengan sorot mata lembut. Amat lembut hingga tatapan itu sampai ke relung hati Jenar.
“Kamu .... cantik. Sangat cantik. Bahkan lebih cantik dari sunset yang kita lihat.”
****
Menghabiskan waktu bersama melihat sunset, keduanya tidak sadar hari sudah malam saat sampai di hotel. Hari ini benar-benar berkesan untuk Jenar. Ia berhasil menyingkirkan bayang-bayang Hanif dan bersenang-senang dengan Gena di sini.
Seharian bersama membuat Jenar lebih mengenal Gena. Meski hitungannya baru kenalan, Jenar merasa sudah lama mengenal pria itu dan memiliki rasa nyaman saat bersamanya.
“Sorry, ya, pulangin kamu agak malam,” kata Galih sambil membukakan pintu kamar penginapan Jenar.
Jenar pun berdiri di depan pintu dan menatap Galih sembari tersenyum. “Aku yang justru minta maaf karena repotin kamu. Makasih juga, ya, buat hari ini. Aku seneng banget diajak seru-seruan.”
“Sama-sama. Aku lega kalau kamu bisa lupain masalah perasaan kamu itu. Kamu nggak sepantasnya sedih atas sesuatu yang hilang.”
Jenar tentu paham arah ucapan Gena. Lelaki itu membahas Hanif—pria yang kemarin malam Jenar ceritakan pada lelaki itu. Namun mengingat soal Hanif, Jenar pun jadi teringat pada teman Gena yang menipunya perkara usaha kopi.
Jenar berkata, “berlaku buat kamu juga.”
Alis Gena terangkat sebelah. “Apanya?”
“Kalau mau dengar saran aku, lebih baik kamu tata dari awal semuanya. Hilang satu, bakal tumbuh seribu yang lebih baik. Mungkin aku nggak ngerti gimana tentang usaha food beverage kamu itu. Tapi aku paham rasa kecewa kamu yang dikihanati temen sendiri. Ya ... setidaknya, nanti seandainya temen kamu datang, terus jelasin semuanya, kamu dengar penjelasan dia. Maksudku, coba berdamai sama diri sendiri.”
Menarik napas, ia kembali melanjutkan, “masalah kita jelas beda. Kalau aku nggak ada yang perlu diperbaiki lagi. Aku kehilangan cinta pertamaku. Tapi kamu? Kamu kehilangan sahabat kamu. Apalagi kamu bilang kemarin temen kamu mau berusaha jelasin ke kamu tapi kamu tolak terus telfonnya, ‘kan? Jadi gini, Ge. Kadang kita perlu dengarin sudut pandang orang lain sebelum nyimpulin sesuatu. Itu menurutku ya...”
Sejujurnya Jenar takut-takut mengutarakan hal ini pada Gena. Mana tahu pria itu tersinggung karena ucapannya. Namun mau bagaimana lagi? Jenar juga ingin Gena berdamai dengan dirinya sendiri. Karena ia tahu lari dari masalah seperti ini tidaklah baik. Masalah mereka berbeda. Ia ... patah hati karena cinta. Jadi memang perlu disembuhkan. Beda dengan Gena yang masalahnya tentang kesalahpahaman. Masih bisa diperbaiki, pikir Jenar.
“Makasih sarannya, ya.” Hanya itu yang bisa Gena katakan.
Jenar tentu mengangguk paham. Apa pun keputusan Gena, itu bukan urusannya. Tidak ada haknya juga mengatur lelaki itu karena mereka hanyalah dua orang asing yang dipertemukan di tempat pelarian.
“Kamu masuk, gih. Sudah malam.”
“Iya, Ge. Kamu balik ke penginapannya hati-hati, ya.”
Gena mengangguk. “Besok kita janjian di pantai ya? Aku besok mau surfing.”
“Oke. Nanti chat aja.”
Fyi, kemarin malam mereka sudah bertukar nomor ponsel. Jenar yang minta duluan, dan Gena langsung mau memberikan. Mereka hanya ingin saling kabar-kabari selama masih di tempat wisata ini. Hanya sebatas itu.
Dan setelah berpamitan, Gena pun pergi dari penginapan Jenar bersama motor yang ia sewa. Bahkan setelah jejak Gena menghilang pun, Jenar masih saja di pintu memerhatikan arah yang tadi Gena lalui.
Seketika dada Gena berdegup kencang. Rasa ini sama persis seperti dulu ketika ia jatuh cinta pada Hanif saat pertama kalinya.
“Nggak mungkin,” celetuk Jenar menepis pikirannya. “Nggak mungkin secepat itu. Ini pasti cuma rasa nyaman. Nyaman karena cuma dia orang yang gue temui di sini saat gue nggak punya siapa-siapa ...”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Wirda Wati
semoga hubungan mereka berkelanjutan..
2025-04-14
0