Berdiam diri di penginapan seharian benar-benar membuat Jenar suntuk. Ia tidak sadar ketiduran berjam lamanya hingga saat ia bangun hari sudah malam saja. Kini perut Jenar lapar. Ia rasa dirinya harus mencari makan ke luar sana demi kenyamanan tidurnya malam ini.
Meski sepertinya ia tidak akan bisa tidur karena masih galau memikirkan Hanif.
Beruntung kaki Jenar sudah bisa digerakkan walau belum terlalu pulih. Maka di sinilah gadis itu berada, tepatnya di restoran penginapan. Mungkin dengan duduk di sini seraya menatap ombak di bawah sana bisa merelaks pikirannya. Daripada waktunya seharian ini terbuang sia-sia karena tiduran di kamar.
Mencari tempat duduk, mata Jenar tidak sengaja terarah pada meja di dekat pagar pembatas, yang mana memperlihatkan sosok lelaki yang tadi pagi menolongnya. Jenar bisa melihat dengan jelas wajah itu karena lelaki itu duduk menyamping.
Entah apa yang menggerakkan kaki Jenar menuju ke sana, yang jelas Jenar dengan ceria menghampiri lelaki itu seperti menghampiri teman sendiri. Jujur, sejak tadi ia memikirkan Gena, berharap mereka bertemu lagi di lain kesempatan. Dan ternyata semesta mengabulkan keinginannya.
“Gena,” panggil Jenar, membuat cowok yang sedang menyeruput kopi itu menoleh padanya.
“Eh? Kamu di sini juga?” Gena menatap Jenar dengan ekspresi bahagia. Alam bawah sadarnya menyuruh ia berdiri untuk menggeser kursi agar bisa Jenar duduki. Perlakuan sederhana, namun bisa membuat gadis yang baru lulus kuliah itu tersipu malu.
“Ketemu lagi deh!” kekeh Jenar ceria.
“Kakinya udah baikan?” Gena bertanya.
Jenar mengangguk. Ia menggerak-gerakkan kakinya untuk menunjukkan pada Gena. “Udah agak mendingan.”
“Syukurlah....” Gena bergumam pelan. “Mau pesan apa? Biarin aku panggil pelayannya.”
“Aku mau kopi kayak kamu aja. Sama nasi goreng seafood. Aku belum makan dari siang tadi.”
Maka Gena pun memesankan makanan untuk Jenar. Usai makanan datang, mereka pun makan bersama dengan lahap sembari bertukar cerita satu sama lain. Mereka benar-benar menikmati kebersamaan, tak merasa canggung sedikit pun karena keduanya sama-sama ekstrovert dan nyambung diajak bicara. Jenar seolah mendapat teman baru di sini. Tadinya ia takut dan ragu berlibur di pantai ini. Namun, kalau ada Gena, semua bisa dipertimbangkan.
Jenar sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa menaruh rasa percaya pada pria asing yang bahkan belum genap sehari berkenalan dengannya. Begitu juga dengan Gena. Lelaki itu merasakan kenyamanan tersendiri saat bicara dengan Jenar. Padahal selama ini ia cukup tertutup pada perempuan.
Makanan yang mereka santap habis, namun topik pembahasan mereka tak habis-habis. Dari yang semula duduk berhadapan, kini mereka duduk bersisian seraya menghadap ke arah pantai. Debur ombak di malam itu menjadi pengiring kebersamaan.
“Jadi orang tua kamu udah meninggal pas Covid kemarin?” Gena bertanya setelah Jenar menceritakan tentang dirinya.
“Iya. Sekarang aku tinggal sama Kakak aku. Dia yang jadi pengganti ayah dan ibu buat aku,” kata Jenar, sedih.
Gena sekali lagi menemukan kecocokan tentang mereka. “Kok bisa samaan ya? Orang tuaku juga udah meninggal. Aku juga tinggal sama kakak.”
“Eh, serius?”
Gena mengangguk. “Aku belajar hidup mandiri karena nggak mungkin terus minta ke Kakak. Aku ... punya kedai kopi. Sekarang juga cabangnya udah sepuluh. Dengan itu aku bantu-bantu Kakak. Ya, anggaplah kami saling tolong menolong. Aku nggak mau bikin Kakakku kerepotan ngurus semua sendiri. Beda sama kamu yang perempuan, aku kan laki-laki. Jadi mau nggak mau harus bisa mengayomi Kakakku.”
Entah apa yang ada di pikiran Gena sampai ia berani menceritakan tentang pribadinya pada perempuan yang baru dikenal. Rasanya memang semengalir itu mengobrol dengan Jenar hingga ia lupa gadis ini baru saja dikenalnya.
“Kamu keren banget udah punya usaha. Aku? Boro-boro usaha. Kuliah aja baru lulus. Argh! Rasanya aku nggak mensyukuri hidup banget karena galau terus kerjaannya. Mana kabur ke sini segala gara-gara patah hati. Harusnya aku cari kerja gitu, ya? Atau bikin usaha kayak kamu. Ih, pokoknya aku malu sama diriku sendiri!” omel Jenar panjang lebar.
Kening Gena mengerut menangkap pembicaraan gadis itu. “Apa tadi? Kamu ... datang ke sini karena patah hati?”
Jenar mengangguk. Sudah keceplosan, ya tanggung-tanggung kalau tidak diceritakan sekalian.
"Sebenarnya aku melarikan diri ke sini,” kekeh Jenar pahit. “Cinta pertamaku kemarin tunangan sama cewek lain. Rasanya sakit banget. Aku nggak sanggup ngehadapin kenyataan. Makanya aku ke sini. Terdengar konyol memang. Tapi serius, rasanya sakit banget buat aku. Aku cinta sama dia dari dulu. Ya salah aku juga karena nggak jujur. Sampai akhirnya cintaku bertepuk sebelah tangan,” kata Jenar.
Matanya perih saat menceritakan itu. Selang sedetik pemandangan langit malam di depannya mengabur karena terhalang cairan bening yang siap terjun dari pelupuk.
Melihat Jenar menangis, Gena refleks menggerakkan ibu jarinya ke pipi gadis itu, lantas menyeka air mata Jenar yang mulai berjatuhan. Detik itu juga Jenar menoleh hingga membuat pandangan mereka bertemu di titik yang sama. Dada Jenar menghangat merasakan kelembutan jari Gena yang bergerak di pipinya.
“Maaf, aku nggak bermaksud—“
“Enggak apa-apa. Aku yang minta maaf karena cengeng banget di depan kamu,” potong Jenar cepat.
“Nggak cengeng kok. Kamu manusia, makanya kamu berhak nangis. Aku kalau jadi kamu juga nangis banget. Kamu hanya perlu membiasakan diri. Aku tahu sakit banget rasanya. Tapi, satu yang pergi, pasti bakal datang gantinya seribu kali lebih baik. Kamu harus percaya itu. Kamu cantik, kamu berharga. Aku yakin yang dapatin kamu nanti benar-benar beruntung.”
Air mata Jenar makin mengalir mendengar kata-kata manis itu. Jujur, Jenar terharu. Ia merasa menemukan sosok yang mendukungnya, yang mengerti akan dirinya, yang mau memahaminya. Selama ini ia hanya punya Hana dan Leknor sebagai kakak. Dan entah kenapa pria asing ini bisa membuatnya merasa nyaman dan percaya begitu saja.
“Jangan nangis lagi,” kata Gena. Tidak tega melihat perempuan itu menangis di sisinya, maka Gena arahkan kepala Jenar menuju bahunya.
Jenar pun tidak segan tiduran di bahu Gena. Ia menangis di sana, melepaskan beban yang melilit perasaannya. For God Shake! Rasanya benar-benar nyaman. Dada Jenar bergetar saat berkontak fisik dengan lelaki di sampingnya ini.
Hening mengambil alih suasana. Hanya keheningan yang mengisi mereka bersama sentuhan-sentuhan ringan yang Gena berikan untuk menenangkan perasaan Jenar. Ia usap kepala gadis itu, lalu turun ke bahu dan berakhir di lengan.
Jenar menikmati sentuhan itu. Tangannya yang semula diam kini melingkari lengan Gena. Tak malu pula ia menyembunyikan wajahnya di bahu lebar cowok itu.
Ini sangat nyaman bagi mereka berdua. Tak ada satu pun dari mereka yang berniat mengakhiri posisi ini.
“Tadi kamu bilang punya 10 kedai kopi. Pasti sukses banget ya kamu sekarang? Aku jadi kepengen mampir ke kedai kopi kamu,” ujar Jenar.
“Boleh. Aku pasti senang kalau kamu mau berkunjung,” sambut Gena.
“Tapi ... omong-omong soal usahaku, aku juga lagi stress sebenarnya karena ditipu sama temanku sendiri. Makanya aku ke sini buat jernihin pikiran,” ujar Gena.
Gantian, kini ia yang bercerita.
“Oh ya? Ditipu kenapa?”
“Aku yang salah terlalu percaya sama dia karena dia sahabatku. Tapi ya udah lah, semua udah terjadi. Mau gimana lagi?”
Jenar mengusap punggung tangan Gena yang besar untuk memberikan ketenangan. “Sabar ya. Temen emang gitu sekarang. Suka nusuk dari belakang. Ke depannya jangan gampang percaya aja sama orang lain. Harus bisa memilah teman pokoknya.”
Cerita antara mereka pun berlanjut. Keduanya bercengkerama menembus malam, membiarkan waktu bergulir tanpa ada yang berniat mengakhiri.
Jam demi jam berlalu. Cerita mereka semakin asyik saja layaknya sepasang kekasih yang sedang bertukar pikiran. Gena tak segan memberikan jaketnya untuk Jenar agar gadis itu tak kedinginan.
Bahkan sampai mentari terbit pun, keduanya masih di sana. Entah itu karena waktu yang bergulir terlalu cepat, atau karena mereka yang sengaja mengulur waktu agar kebersamaan ini tidak secepatnya berakhir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments