Bab 3 - Sunset

Jenar mengerjap saat merasakan sinar mentari menelisik masuk ke retinanya. Perlahan netra cantik itu terbuka, dan hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit ruangan yang dibuat dengan kayu jati. Sejenak Jenar termenung mengumpulkan nyawa. Selang semenit barulah ia sepenuhnya sadar dan akhirnya bangkit ke posisi duduk.

Jenar menepuk jidat. Ia baru ingat semalam dirinya mengobrol dengan Gena di restoran hotel sampai subuh. Mereka bercerita hal random yang akhirnya berlanjut tanpa ada yang mau memutus obrolan. Mengingat hal itu membuat pipi Jenar merona. Terbayang olehnya skinship ringan yang mereka lakukan. Serasa mereka pasangan, padahal nyatanya hanya dua orang yang lari dari masalah dan kebetulan bertemu di tempat yang sama.

“Jen, Jen. Lo tuh ke sini mau lupain dokter Hanif. Eh, malah gebet cowok,” kekeh Jenar. “You’re bitch, Babe!”

Bagaimana tidak nakal? Anak gadis mana yang langsung nemplok sama cowok asing seperti yang Jenar lakukan?

Omong-omong soal deep talk mereka semalam, Jenar jadi kagum pada sosok Gena. Pesona pria matang memang beda. Apalagi cowok itu memiliki sepuluh kedai kopi. Ah, selama ini ia hanya tertarik pada dokter. Ia menganggap dokter itu keren. Itu semua karena ia menyukai dokter Hanif. Tapi kalau dipikir-pikir, pengusaha boleh juga ....

Jenar menggeleng samar, mengusir pikirannya yang berkelana entah ke mana-mana. Masih pagi, sudah mengkhayal. Bisa-bisa dipatok ayam rejekinya.

Sebentar. Masih pagi? Jenar melirik jam di dinding dan terkejut mendapati jam yang menunjukkan angka sepuluh pagi. Ah, pantas saja terik mentari hangatnya terasa beda. Apalagi sekarang perutnya terasa keroncongan karena tidak sarapan.

Jenar menghela napas. Bisa rusak jadwal liburannya hari kedua kalau ia terus-terusan ada di kamar ini. Alhasil Jenar beringsut turun dari ranjang, lantas menuju kamar mandi. Namun baru beberapa langkah, ia baru sadar jika kakinya sudah bisa sedikit mendingan. Ya, walau masih sedikit sakit ketika diajak berjalan. Tapi setidaknya sudah tidak separah kemarin.

“Je? Kamu masih di dalam?”

Suara lelaki dari luar serta ketukan di pintu membuat Jenar mengangkat wajahnya. Dari suaranya, ia sudah tahu itu siapa. Alam bawah Sadar Jenar membuat dada perempuan itu bergetar. Ia yang semula ingin ke kamar mandi pun berubah haluan membukakan pintu untuk cowok itu.

“Gege!” sorak Jenar bahagia.

Gege. Kalau dipikir nama itu lucu juga untuk cowok tersebut. Jenar dari semalam sudah memanggil lelaki itu dengan nama akrab.

“Hai! Morning, cantik,” sapa Gena. Wajah cowok itu tampak sumringah. Pakaiannya juga sudah rapi. Kalau Jenar tebak, sih, sudah mandi.

“Kamu udah rapi aja? Kapan bangunnya?”

“Setengah jam yang lalu. Begitu aku bangun, aku langsung mandi. Dan rencananya mau ajakin kamu makan pizza di dekat sini.” Gena menjelaskan. Ia kemudian menekukkan wajahnya, menyembunyikan senyum yang sejak tadi membuat bibirnya berkedut. “Itu pun kalau kamu mau ....”

“Mau, mau, mau!” kata Jenar antusias.

Tampangnya yang lucu itu membuat debar di dada Gena semakin bertebaran. Apalagi wajah bangun tidurnya. Semakin menunjukkan usia Jenar lima tahun lebih muda darinya.

Dasar anak kecil baru tamat kuliah. Gena menyeletuk dalam hati.

“Kalau gitu siap-siap, gih. Aku tungguin kamu beberes,” ujar Gena yang langsung diangguki Jenar.

“Oke. Tunggu bentar!”

Dan setelahnya bocah 22 tahun itu langsung pergi ke kamar mandi. Gena mengamati langkah Jenar yang sudah sedikit lurus ketimbang kemarin. Gena menghela napas lega mengetahui Jenar sudah memulih. Tadinya, sewaktu ia bangun tidur, orang pertama yang diingat Gena adalah Jenar. Terbayang olehnya betapa kesepian Jenar di sini. Maka ia ajak saja gadis itu jalan bersama. Toh mereka ke sini sama-sama berniat healing, ‘kan?

Gena lantas duduk di kursi teras. Tanpa ia sadari, wajahnya sejak tadi berseri-seri meski semalam kurang istirahat. Dan tak terhitung pula beberapa kali Gena menoleh ke pintu, menanti Jenar siap berbenah. Tiap detik terasa lama bagi Gena. Padahal Jenar baru meninggalkannya beberapa menit saja.

Butuh dua puluh menit lamanya Gena menunggu sampai akhirnya sosok perempuan yang ia tunggu itu menampakkan diri.

“Hai, maaf lama, ya! Kacamata hitam aku nggak ketemu tadi.”

Jenar muncul dengan pakaian santainya. Celana jeans kulot yang dipadukan dengan crop top hitam. Sebagai outer, Jenar menutup tubuh rampingnya itu dengan kemeja putih yang seluruh kancingnya dibuka. Gena meneguk salivanya susah payah. Jenar benar-benar cantik. Bukan cuma muka, melainkan sebatang badan. Kulit gadis itu putih mulus, dan bagian tubuhnya pun berisi di tempat yang tepat.

“Kamu kenapa bengong? Ayo!” ajak Jenar yang kini tak segan meraih tangan Gena.

Gena mengerjapkan mata karena kaget. “Eh, iya. Ayo.”

Melihat Jenar yang masih kesusahan berjalan membuat Gena berinisiatif. “Sini aku bantuin,” gumam Gena dengan suara rendahnya. Ia papah tubuh gadis itu menuju motornya yang terletak di depan penginapan. Sebelah tangan Jenar ia angkat dan lingkarkan ke bahunya dari belakang. Sementara tangan Gena melingkari pinggang gadis itu.

Gena tidak sadar jika perbuatannya itu berhasil membuat tubuh Jenar membeku. Aliran darah dalam tubuh gadis itu memanas, jantungnya berdebar tak karuan. Dan yang lebih membuat perut Jenar seperti diterbangi kupu-kupu yaitu saat ia sadar Gena ke sini naik motor.

“Lho, kamu bawa motor?” tanya Jenar. Karena setahunya, dari cerita Gena tadi malam, ia ke sini naik mobil.

“Iya. Aku sewa. Nggak enak banget jalan-jalan di pantai pakai mobil. Kenapa? Kamu nggak suka ya? Mau aku ganti ke mobil aja?”

Jenar segera menggeleng. Tadi ia hanya membayangkan momen berduaan dengan Gena di atas motor. Bayangkan saja apa yang bisa pasangan lakukan di atas motor? Pelukan? Senderan? Saling lihat di spion? Bisa mati karena salah tingkah Jenar membayangkan itu!

“Nggak, kok. Seneng justru naik motor,” jawabnya.

Maka Gena tersenyum. Ia selipkan rambut Jenar ke belakang telinga. “Berangkat yuk?”

“Ayuk!”

Dan setelahnya Gena membantu Jenar naik ke motor. Padahal sudah Jenar bilang ia bisa sendiri, tapi Gena benar-benar mengkhawatirkannya. Jenar sampai tidak bisa menahan senyumnya di depan Gena gara-gara perbuatan cowok itu.

“Pegangan yang erat!” suruh Gena seraya mengambil tangan Jenar untuk ia letakkan di perutnya.

Terpopuler

Comments

Wirda Wati

Wirda Wati

kereeen thort

2025-04-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!