Maelon terdiam. Tangannya perlahan menyentuh bagian yang disebutkan. Tidak ada luka. Tidak ada nyeri. Tapi kulitnya terasa hangat—tidak wajar.
Wanita bertopeng, yang sebelumnya selalu menjaga jarak, kini mendekat perlahan. Ia menarik sarung tangannya, menyentuh tanda itu dengan dua jari. Seketika ia mundur. Sorot matanya berubah. Dari datar menjadi… takut.
“Itu bukan luka biasa,” bisiknya.
“Itu penanda.”
“Penanda kelas-X.”
Maelon bingung. “Apa maksud kalian?”
Si pria mendengus. “Makhluk itu menandaimu. Bukan untuk melukai. Tapi untuk melacak. Kau… seperti sinyal.”
Hening menjalar seperti racun. Yang termuda di antara mereka—si pembawa tas—mendekat sambil menurunkan beban di punggungnya.
“Kita sudah berada di wilayah kosong. Tapi semalam, kau sadar? Suara itu… napas berat di antara pepohonan?”
“Itu bukan binatang.”
“Itu… dia.”
Maelon mulai mengerti. Tapi terlalu lambat.
“Kau harus pergi,” kata si wanita.
“Atau kami yang akan pergi. Tapi jika dia datang, dan kami berada dekat denganmu… kami mati. Semua.”
Maelon berdiri, ingin menjelaskan. Ingin berkata bahwa ia tak tahu. Bahwa ia juga korban. Tapi sebelum kata itu keluar, tombak dilemparkan ke arahnya. Bukan untuk membunuh—tapi untuk memperingatkan.
“Ini bukan tentang benci. Ini tentang bertahan,” ujar pria bermantel kulit.
“Kami tidak akan membunuhmu. Tapi jika kau mengikuti kami lagi, kami akan anggap kau bagian dari entitas itu.”
Maelon menatap mereka satu per satu. Tak ada kemarahan di wajah mereka. Hanya ketakutan. Ketakutan yang jujur, dan dingin. Lebih dingin dari malam itu.
Ia mengambil tombaknya. Mengangguk tanpa berkata apa-apa. Tidak ada air mata. Tidak ada teriakan. Hanya punggungnya yang perlahan menjauh ke dalam kabut, meninggalkan tiga sosok yang pernah ia kira… hampir seperti sekutu.
Dan saat langkahnya hilang di balik pohon-pohon mati, hanya satu hal yang menyertainya—bisikan samar yang kembali terdengar di telinganya, dari jauh… atau dari dalam:
"Ke mana pun kau pergi… aku akan melihatmu."
Kabut belum bubar saat Maelon terus melangkah. Hutan-hutan mati mulai membuka jalan menuju dataran berbatu, di mana langit selalu tampak lebih rendah, seolah siap runtuh. Ia tidak tahu ke mana harus pergi—hanya tahu ia harus menjauh. Dari manusia. Dari suara. Dari tanda ini.
Ia membenci tanda itu.
Bukan karena nyeri. Tapi karena sunyi yang dibawanya. Sunyi yang membelah dirinya dari segala yang hidup. Setiap langkahnya meninggalkan kepercayaan, satu demi satu. Hingga yang tersisa hanyalah gema jejak dan napas.
Ia menendang kerikil dengan marah—tapi amarah itu tak menjawab apa-apa.
Hingga ia menemukannya—sebuah tubuh. Separuh terkubur tanah dan lumut. Pakaian robek, tapi masih bisa dikenali: jas putih, seperti milik ilmuwan.
Maelon perlahan berlutut. Wajah mayat itu membusuk, namun matanya yang membelalak seolah menyimpan cerita yang belum selesai. Di tangannya tergenggam selembar kertas lusuh, nyaris hancur dimakan lembap. Maelon menariknya pelan.
Tulisan di kertas itu—masih bisa dibaca. Gemetar, patah-patah, namun cukup jelas:
"...Eksperimen Doctrina tahap keempat gagal. Subjek kehilangan kendali pada lapisan ketiga, berubah menjadi entitas tanpa bentuk tetap. Mereka kini kami sebut: Lunatics."
Maelon terdiam. Matanya menelusuri sisa kalimat dengan napas tertahan.
"Doctrina adalah kekuatan purba yang menghubungkan manusia pada sesuatu… di luar realitas biasa. Namun siapa pun yang tidak sanggup menaklukkannya akan kehilangan jati diri. Pikiran mereka terbakar, tubuh mereka... menyesuaikan dengan bentuk baru. Bentuk kegilaan."
Ia membaca ulang kata itu: Lunatics. Sesuatu dalam dirinya tenggelam perlahan. Seperti ditarik ke dasar air yang tak dikenal.
Kertas itu berlanjut—huruf-huruf makin kacau, tinta luntur:
"Yang mengerikan… beberapa dari mereka tidak kehilangan bahasa. Mereka bisa bicara. Mereka bisa meniru manusia. Tapi mereka bukan manusia. Mereka hanya... kehendak yang dibentuk ulang oleh kegagalan."
Maelon teringat makhluk yang menandainya. Suara makhluk itu. Kalimat-kalimatnya yang terlalu rapi, terlalu sadar, terlalu… terencana.
Ia mengatupkan rahangnya. “Itu bukan Lunatics biasa,” gumamnya.
Tapi apa itu berarti… ia bersentuhan dengan kekuatan Doctrina? Ia bukan pengikut. Ia bukan terpilih. Ia bahkan tidak tahu cara memanggil kekuatan itu.
Namun tanda di punggungnya menyala lembut—seolah ikut membaca kalimat terakhir yang hampir tak terbaca:
"…hanya satu dari seribu yang bisa mengendalikan. Sisanya? Makanan bagi Dewa Blasphemy."
Maelon meremang. Ia menatap tubuh ilmuwan itu sekali lagi, lalu berdiri perlahan. Napasnya mulai berat. Tapi bukan karena luka. Bukan karena kelelahan.
Melainkan karena satu pertanyaan tumbuh di benaknya:
"Apakah aku… sedang berubah?"
Langkah Maelon tertatih melewati semak berduri dan puing reruntuhan yang sudah terlalu lama dibiarkan dilahap alam. Tangan kirinya masih menekan luka di pinggang, kain lusuh pemberian sang penjaga wanita telah basah oleh darah kering. Napasnya mulai pendek, bukan karena kelelahan, tapi karena dunia di sekelilingnya terasa berbeda—bukan asing, tapi seolah terlalu diam. Diam yang terlalu sadar.
Saat itulah, ia mendengarnya.
Bukan suara luar. Bukan hembusan angin atau ranting jatuh. Itu datang dari dalam kepalanya sendiri, namun bukan suaranya.
"Kau berjalan terlalu lambat, Maelon..."
Ia berhenti. Tubuhnya menegang. Ia memutar kepala ke kiri, lalu kanan. Tak ada siapa pun. Tapi suara itu jelas. Tajam. Lembut. Dekat. Suara seperti milik seorang pria—tapi seolah sudah lupa bagaimana rasanya menjadi manusia.
Ia melangkah lagi, lebih cepat kali ini. Tapi suara itu mengikuti, tidak lebih keras, hanya lebih nyata.
"Kau merasa tubuhmu lemah, bukan? Tapi jiwamu mulai merangkak ke tempat yang tak boleh dijamah."
Jantung Maelon berdegup tak karuan. Ia berhenti di balik pohon mati yang condong ke timur. Tanda di punggungnya terasa hangat… lalu panas… lalu berdenyut. Ia terjatuh berlutut. Tanah basah menyambut telapak tangannya. Kepalanya menunduk.
Dan untuk pertama kalinya… dunia berdenyut bersamanya.
Tanah di sekitarnya seolah bergerak dalam gelombang pelan, seperti napas makhluk purba. Bayangan pohon tak lagi tegak, tapi melengkung, seperti tertarik ke satu arah—arah yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia. Arah dari mana suara itu berasal.
"Tanda itu… bukan hanya milikmu. Ia adalah pintu. Kau baru mengetuknya. Tunggu hingga ia menjawab."
Maelon meremas tanah. Panik. Marah. Tapi juga... penasaran. Itu yang lebih menakutkan. Ia ingin tahu.
Saat ia membuka matanya, ia mendapati jarinya—bergetar. Tanpa sadar, ia menekan telapak tangannya ke tanah, dan... sesuatu menyambutnya.
Sekejap, ia tidak berada di hutan.
Ia berada di dalam reruntuhan batu. Gelap. Retak. Udara lembap seperti napas entitas yang sedang tidur. Di sekelilingnya, dinding-dinding penuh simbol tak dikenal, berdenyut pelan dalam cahaya biru tua.
Suara itu muncul lagi, kali ini lebih dalam, lebih jauh.
"Calvereth gagal… tapi bukan tanpa warisan. Kau harus bertahan hidup. Bertahan… untuk membawanya pulang."
Maelon terhuyung, lalu jatuh. Dan seketika ia kembali—kembali ke hutan yang sunyi. Ia berkeringat. Tubuhnya gemetar. Tapi napasnya perlahan stabil.
Tanda di tubuhnya… dingin.
Dan sunyi.
Seolah sesuatu telah menatap balik dari dalam tanda itu, lalu menutup pintunya—sementara.
Maelon berdiri. Masih bingung, tapi ada sesuatu yang berubah dalam cara ia melihat dunia. Seolah satu dimensi baru telah terbuka. Ia bisa merasakan hal-hal yang sebelumnya tidak ada. Gerakan samar di balik hutan. Jantung makhluk jauh di kedalaman. Bahkan… kematian yang belum terjadi, namun perlahan mendekat.
Dan di antara semua rasa itu, satu kesadaran tumbuh perlahan di benaknya:
"Aku... ditandai bukan untuk mati. Tapi untuk melihat sesuatu. Sesuatu yang belum pernah dilihat siapa pun."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Aisyah Christine
terus bertahan untuk hidup
2025-04-26
1