Bab 5: Tanda

Maelon terdiam. Tangannya perlahan menyentuh bagian yang disebutkan. Tidak ada luka. Tidak ada nyeri. Tapi kulitnya terasa hangat—tidak wajar.

Wanita bertopeng, yang sebelumnya selalu menjaga jarak, kini mendekat perlahan. Ia menarik sarung tangannya, menyentuh tanda itu dengan dua jari. Seketika ia mundur. Sorot matanya berubah. Dari datar menjadi… takut.

“Itu bukan luka biasa,” bisiknya.

“Itu penanda.”

“Penanda kelas-X.”

Maelon bingung. “Apa maksud kalian?”

Si pria mendengus. “Makhluk itu menandaimu. Bukan untuk melukai. Tapi untuk melacak. Kau… seperti sinyal.”

Hening menjalar seperti racun. Yang termuda di antara mereka—si pembawa tas—mendekat sambil menurunkan beban di punggungnya.

“Kita sudah berada di wilayah kosong. Tapi semalam, kau sadar? Suara itu… napas berat di antara pepohonan?”

“Itu bukan binatang.”

“Itu… dia.”

Maelon mulai mengerti. Tapi terlalu lambat.

“Kau harus pergi,” kata si wanita.

“Atau kami yang akan pergi. Tapi jika dia datang, dan kami berada dekat denganmu… kami mati. Semua.”

Maelon berdiri, ingin menjelaskan. Ingin berkata bahwa ia tak tahu. Bahwa ia juga korban. Tapi sebelum kata itu keluar, tombak dilemparkan ke arahnya. Bukan untuk membunuh—tapi untuk memperingatkan.

“Ini bukan tentang benci. Ini tentang bertahan,” ujar pria bermantel kulit.

“Kami tidak akan membunuhmu. Tapi jika kau mengikuti kami lagi, kami akan anggap kau bagian dari entitas itu.”

Maelon menatap mereka satu per satu. Tak ada kemarahan di wajah mereka. Hanya ketakutan. Ketakutan yang jujur, dan dingin. Lebih dingin dari malam itu.

Ia mengambil tombaknya. Mengangguk tanpa berkata apa-apa. Tidak ada air mata. Tidak ada teriakan. Hanya punggungnya yang perlahan menjauh ke dalam kabut, meninggalkan tiga sosok yang pernah ia kira… hampir seperti sekutu.

Dan saat langkahnya hilang di balik pohon-pohon mati, hanya satu hal yang menyertainya—bisikan samar yang kembali terdengar di telinganya, dari jauh… atau dari dalam:

"Ke mana pun kau pergi… aku akan melihatmu."

Kabut belum bubar saat Maelon terus melangkah. Hutan-hutan mati mulai membuka jalan menuju dataran berbatu, di mana langit selalu tampak lebih rendah, seolah siap runtuh. Ia tidak tahu ke mana harus pergi—hanya tahu ia harus menjauh. Dari manusia. Dari suara. Dari tanda ini.

Ia membenci tanda itu.

Bukan karena nyeri. Tapi karena sunyi yang dibawanya. Sunyi yang membelah dirinya dari segala yang hidup. Setiap langkahnya meninggalkan kepercayaan, satu demi satu. Hingga yang tersisa hanyalah gema jejak dan napas.

Ia menendang kerikil dengan marah—tapi amarah itu tak menjawab apa-apa.

Hingga ia menemukannya—sebuah tubuh. Separuh terkubur tanah dan lumut. Pakaian robek, tapi masih bisa dikenali: jas putih, seperti milik ilmuwan.

Maelon perlahan berlutut. Wajah mayat itu membusuk, namun matanya yang membelalak seolah menyimpan cerita yang belum selesai. Di tangannya tergenggam selembar kertas lusuh, nyaris hancur dimakan lembap. Maelon menariknya pelan.

Tulisan di kertas itu—masih bisa dibaca. Gemetar, patah-patah, namun cukup jelas:

"...Eksperimen Doctrina tahap keempat gagal. Subjek kehilangan kendali pada lapisan ketiga, berubah menjadi entitas tanpa bentuk tetap. Mereka kini kami sebut: Lunatics."

Maelon terdiam. Matanya menelusuri sisa kalimat dengan napas tertahan.

"Doctrina adalah kekuatan purba yang menghubungkan manusia pada sesuatu… di luar realitas biasa. Namun siapa pun yang tidak sanggup menaklukkannya akan kehilangan jati diri. Pikiran mereka terbakar, tubuh mereka... menyesuaikan dengan bentuk baru. Bentuk kegilaan."

Ia membaca ulang kata itu: Lunatics. Sesuatu dalam dirinya tenggelam perlahan. Seperti ditarik ke dasar air yang tak dikenal.

Kertas itu berlanjut—huruf-huruf makin kacau, tinta luntur:

"Yang mengerikan… beberapa dari mereka tidak kehilangan bahasa. Mereka bisa bicara. Mereka bisa meniru manusia. Tapi mereka bukan manusia. Mereka hanya... kehendak yang dibentuk ulang oleh kegagalan."

Maelon teringat makhluk yang menandainya. Suara makhluk itu. Kalimat-kalimatnya yang terlalu rapi, terlalu sadar, terlalu… terencana.

Ia mengatupkan rahangnya. “Itu bukan Lunatics biasa,” gumamnya.

Tapi apa itu berarti… ia bersentuhan dengan kekuatan Doctrina? Ia bukan pengikut. Ia bukan terpilih. Ia bahkan tidak tahu cara memanggil kekuatan itu.

Namun tanda di punggungnya menyala lembut—seolah ikut membaca kalimat terakhir yang hampir tak terbaca:

"…hanya satu dari seribu yang bisa mengendalikan. Sisanya? Makanan bagi Dewa Blasphemy."

Maelon meremang. Ia menatap tubuh ilmuwan itu sekali lagi, lalu berdiri perlahan. Napasnya mulai berat. Tapi bukan karena luka. Bukan karena kelelahan.

Melainkan karena satu pertanyaan tumbuh di benaknya:

"Apakah aku… sedang berubah?"

Langkah Maelon tertatih melewati semak berduri dan puing reruntuhan yang sudah terlalu lama dibiarkan dilahap alam. Tangan kirinya masih menekan luka di pinggang, kain lusuh pemberian sang penjaga wanita telah basah oleh darah kering. Napasnya mulai pendek, bukan karena kelelahan, tapi karena dunia di sekelilingnya terasa berbeda—bukan asing, tapi seolah terlalu diam. Diam yang terlalu sadar.

Saat itulah, ia mendengarnya.

Bukan suara luar. Bukan hembusan angin atau ranting jatuh. Itu datang dari dalam kepalanya sendiri, namun bukan suaranya.

"Kau berjalan terlalu lambat, Maelon..."

Ia berhenti. Tubuhnya menegang. Ia memutar kepala ke kiri, lalu kanan. Tak ada siapa pun. Tapi suara itu jelas. Tajam. Lembut. Dekat. Suara seperti milik seorang pria—tapi seolah sudah lupa bagaimana rasanya menjadi manusia.

Ia melangkah lagi, lebih cepat kali ini. Tapi suara itu mengikuti, tidak lebih keras, hanya lebih nyata.

"Kau merasa tubuhmu lemah, bukan? Tapi jiwamu mulai merangkak ke tempat yang tak boleh dijamah."

Jantung Maelon berdegup tak karuan. Ia berhenti di balik pohon mati yang condong ke timur. Tanda di punggungnya terasa hangat… lalu panas… lalu berdenyut. Ia terjatuh berlutut. Tanah basah menyambut telapak tangannya. Kepalanya menunduk.

Dan untuk pertama kalinya… dunia berdenyut bersamanya.

Tanah di sekitarnya seolah bergerak dalam gelombang pelan, seperti napas makhluk purba. Bayangan pohon tak lagi tegak, tapi melengkung, seperti tertarik ke satu arah—arah yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia. Arah dari mana suara itu berasal.

"Tanda itu… bukan hanya milikmu. Ia adalah pintu. Kau baru mengetuknya. Tunggu hingga ia menjawab."

Maelon meremas tanah. Panik. Marah. Tapi juga... penasaran. Itu yang lebih menakutkan. Ia ingin tahu.

Saat ia membuka matanya, ia mendapati jarinya—bergetar. Tanpa sadar, ia menekan telapak tangannya ke tanah, dan... sesuatu menyambutnya.

Sekejap, ia tidak berada di hutan.

Ia berada di dalam reruntuhan batu. Gelap. Retak. Udara lembap seperti napas entitas yang sedang tidur. Di sekelilingnya, dinding-dinding penuh simbol tak dikenal, berdenyut pelan dalam cahaya biru tua.

Suara itu muncul lagi, kali ini lebih dalam, lebih jauh.

"Calvereth gagal… tapi bukan tanpa warisan. Kau harus bertahan hidup. Bertahan… untuk membawanya pulang."

Maelon terhuyung, lalu jatuh. Dan seketika ia kembali—kembali ke hutan yang sunyi. Ia berkeringat. Tubuhnya gemetar. Tapi napasnya perlahan stabil.

Tanda di tubuhnya… dingin.

Dan sunyi.

Seolah sesuatu telah menatap balik dari dalam tanda itu, lalu menutup pintunya—sementara.

Maelon berdiri. Masih bingung, tapi ada sesuatu yang berubah dalam cara ia melihat dunia. Seolah satu dimensi baru telah terbuka. Ia bisa merasakan hal-hal yang sebelumnya tidak ada. Gerakan samar di balik hutan. Jantung makhluk jauh di kedalaman. Bahkan… kematian yang belum terjadi, namun perlahan mendekat.

Dan di antara semua rasa itu, satu kesadaran tumbuh perlahan di benaknya:

"Aku... ditandai bukan untuk mati. Tapi untuk melihat sesuatu. Sesuatu yang belum pernah dilihat siapa pun."

Terpopuler

Comments

Aisyah Christine

Aisyah Christine

terus bertahan untuk hidup

2025-04-26

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Teralis
2 Bab 2: Dibuang ke Luar Tembok
3 Bab 3: Selamat
4 Bab 4: Sekutu?
5 Bab 5: Tanda
6 Bab 6: Kejatuhan Calvereth Aetheron
7 Bab 7: Kekuatan Baru
8 Bab 8: Kenangan Pemilik Sebelumnya
9 Bab 9: Reruntuhan Misterius
10 Bab 10: Ritual Peningkatan Lapsus
11 Bab 11: Tingkat 1 - Reah (Retakan)
12 Bab 12: Tawaran Yang Mencurigakan
13 Bab 13: Misi
14 Bab 14: Pabrik Terbengkalai
15 Bab 15: Menyerang
16 Bab 16: Pertarungan Tanpa Harapan
17 Bab 17: Penyelamat (Savior)
18 Bab 18: Jeffrie Nova
19 Bab 19: Perjalanan Jauh
20 Bab 20: Penjelasan Doctrina
21 Bab 21: Penjelasan Lebih Lanjut
22 Bab 22: Desa Ordo Nirakarna
23 Bab 23: Anak Baru
24 Bab 24: Latihan
25 Bab 25: Dunia Lapisan Pertama
26 Bab 26: Latihan Stamina
27 Bab 27: Ritual Nullis
28 Bab 28: Masih Latihan
29 Bab 29: Latihan Diluar
30 Bab 30: Pengalamannya Nyata
31 Bab 31: Menuju Tingkat 2
32 Bab 32: Eksplorasi
33 Bab 33: Tingkat 2 Lapsus - Drelm (Getaran)
34 Bab 34: Gerakan Mencurigakan
35 Bab 35: Tugas Patroli
36 Bab 36: Masa Lalu
37 Bab 37: Melawan
38 Bab 38: Persiapan
39 Bab 39: Perang
40 Bab 40: Kekuatan Roy Terungkap
41 Bab 41: Pertarungan Berakhir
42 Bab 42: Menjelajah
43 Bab 43: Menjelajah (2)
44 Bab 44: Menemukan Senjata Terkutuk
45 Bab 45: Vivi Meningkat
46 Bab 46: Kembali Ke Teralis
47 Bab 47: Menyusup Masuk Kota
48 Bab 48: Bertemu Kembali
49 Bab 49: Nalaya
50 Bab 50: Mother Creator
51 Bab 51: Mimpi
52 Bab 52: Dilema
53 Bab 53: Terkepung
54 Bab 54: Artefak Dewa
55 Bab 55: Kekuatan Aetheron
56 Bab 56: Rahim Iblis Yang Melahirkan Anak-Anak Penderitaan
57 Bab 57: Neraka?
58 Bab 58: Kehampaan Dalam Pembalasan
59 Bab 59: Kematian Bu Rantini
60 Bab 60: Mengakhiri
61 Bab 61: Menyelamatkan
62 Bab 62: Mimpi Aneh, Maelon Bangun.
63 Bab 63: Sejarah Ordo Nirakarna
64 Bab 64: Naif
65 Bab 65: Perasaan (1)
66 Bab 66: Perasaan (2)
67 Bab 67: Perasaan (3)
68 Bab 68: Volume 1 Tamat Judul Lapisan Satu
69 Bab 69: Dunia Pecahan Waktu — Fractura Temporum
70 Bab 70: Paradoxians
71 Bab 71: Desa Waktu Mati
72 Bab 72: Penunda
73 Bab 73: Mirare Tenebris
74 Bab 74: Vorem Chronis
75 Bab 75: Chronovarion
76 Bab 76: Siklus Looping
77 Bab 77: Penjaga Terakhir
78 Bab 78: Portal Lapisan ke-3
79 Bab 79: Lapisan Ke 3 Karnastra
Episodes

Updated 79 Episodes

1
Bab 1: Teralis
2
Bab 2: Dibuang ke Luar Tembok
3
Bab 3: Selamat
4
Bab 4: Sekutu?
5
Bab 5: Tanda
6
Bab 6: Kejatuhan Calvereth Aetheron
7
Bab 7: Kekuatan Baru
8
Bab 8: Kenangan Pemilik Sebelumnya
9
Bab 9: Reruntuhan Misterius
10
Bab 10: Ritual Peningkatan Lapsus
11
Bab 11: Tingkat 1 - Reah (Retakan)
12
Bab 12: Tawaran Yang Mencurigakan
13
Bab 13: Misi
14
Bab 14: Pabrik Terbengkalai
15
Bab 15: Menyerang
16
Bab 16: Pertarungan Tanpa Harapan
17
Bab 17: Penyelamat (Savior)
18
Bab 18: Jeffrie Nova
19
Bab 19: Perjalanan Jauh
20
Bab 20: Penjelasan Doctrina
21
Bab 21: Penjelasan Lebih Lanjut
22
Bab 22: Desa Ordo Nirakarna
23
Bab 23: Anak Baru
24
Bab 24: Latihan
25
Bab 25: Dunia Lapisan Pertama
26
Bab 26: Latihan Stamina
27
Bab 27: Ritual Nullis
28
Bab 28: Masih Latihan
29
Bab 29: Latihan Diluar
30
Bab 30: Pengalamannya Nyata
31
Bab 31: Menuju Tingkat 2
32
Bab 32: Eksplorasi
33
Bab 33: Tingkat 2 Lapsus - Drelm (Getaran)
34
Bab 34: Gerakan Mencurigakan
35
Bab 35: Tugas Patroli
36
Bab 36: Masa Lalu
37
Bab 37: Melawan
38
Bab 38: Persiapan
39
Bab 39: Perang
40
Bab 40: Kekuatan Roy Terungkap
41
Bab 41: Pertarungan Berakhir
42
Bab 42: Menjelajah
43
Bab 43: Menjelajah (2)
44
Bab 44: Menemukan Senjata Terkutuk
45
Bab 45: Vivi Meningkat
46
Bab 46: Kembali Ke Teralis
47
Bab 47: Menyusup Masuk Kota
48
Bab 48: Bertemu Kembali
49
Bab 49: Nalaya
50
Bab 50: Mother Creator
51
Bab 51: Mimpi
52
Bab 52: Dilema
53
Bab 53: Terkepung
54
Bab 54: Artefak Dewa
55
Bab 55: Kekuatan Aetheron
56
Bab 56: Rahim Iblis Yang Melahirkan Anak-Anak Penderitaan
57
Bab 57: Neraka?
58
Bab 58: Kehampaan Dalam Pembalasan
59
Bab 59: Kematian Bu Rantini
60
Bab 60: Mengakhiri
61
Bab 61: Menyelamatkan
62
Bab 62: Mimpi Aneh, Maelon Bangun.
63
Bab 63: Sejarah Ordo Nirakarna
64
Bab 64: Naif
65
Bab 65: Perasaan (1)
66
Bab 66: Perasaan (2)
67
Bab 67: Perasaan (3)
68
Bab 68: Volume 1 Tamat Judul Lapisan Satu
69
Bab 69: Dunia Pecahan Waktu — Fractura Temporum
70
Bab 70: Paradoxians
71
Bab 71: Desa Waktu Mati
72
Bab 72: Penunda
73
Bab 73: Mirare Tenebris
74
Bab 74: Vorem Chronis
75
Bab 75: Chronovarion
76
Bab 76: Siklus Looping
77
Bab 77: Penjaga Terakhir
78
Bab 78: Portal Lapisan ke-3
79
Bab 79: Lapisan Ke 3 Karnastra

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!