Bab 2: Dibuang ke Luar Tembok

Waktu kehilangan makna di dalam kendaraan baja yang membawa Maelon. Tidak ada jendela. Tidak ada cahaya. Hanya getaran kasar roda dan desisan mesin tua yang mengguncang setiap tulangnya. Ia tak tahu berapa lama ia telah dikurung. Satu jam? Sehari? Mungkin lebih. Satu-satunya suara yang menemani hanyalah derak rantai di pergelangan dan hembusan napasnya sendiri yang perlahan jadi dingin.

Sampai akhirnya, kendaraan berhenti.

Pintu terbuka. Cahaya merah senja membutakan sesaat. Dua penjaga menariknya turun, lalu membawanya melalui lorong panjang yang basah dan berkarat. Udara berbau garam, tanah asam, dan sesuatu yang lebih busuk... sesuatu yang bukan dari dunia manusia.

Maelon melihatnya, Gerbang Timur. Salah satu dari empat pintu besar di Teralis, yang konon tak pernah dibuka kecuali dalam keadaan darurat. Dan hari ini, entah kenapa, gerbang itu terbuka.

Di kejauhan, hutan besi dan kabut gelap menyambut mereka. Suara dari balik kabut... bukan suara binatang. Bukan suara alam. Itu adalah nyanyian—dalam nada rendah dan berlilit, seperti suara anak kecil yang bernyanyi di dalam air.

Seorang pria berjas hitam dengan lencana bersinar menghampirinya. Matanya tajam, kulitnya pucat seperti lilin.

“Maelon Herlambang,” katanya, seolah membaca dari naskah yang sudah usang, “kau adalah salah satu dari lima individu yang terpilih untuk Operasi Perisai Hidup.”

Maelon tak menjawab.

“Kau akan ditempatkan di titik luar Lapisan Satu, dan ditugaskan untuk menarik perhatian entitas kelas-X demi melindungi infrastruktur utama tembok. Jika kau mati dalam satu menit, kau akan dikenang. Jika kau bertahan lima menit, kau akan dicatat. Jika kau selamat—dan itu belum pernah terjadi—mungkin kau akan menjadi sesuatu yang lebih besar dari manusia.”

Lalu pria itu tersenyum. Tapi senyumnya kosong, seperti topeng yang retak.

Maelon dijebloskan ke dalam lift besi yang turun jauh ke bawah tanah, menuju sebuah ruangan berdinding baja. Di sana, ia diberi satu pakaian lusuh berwarna oranye, dan sebuah kalung logam dengan angka identifikasi. Tidak ada senjata. Tidak ada pelindung.

Seorang petugas wanita menyerahkan selembar kain tipis.

"Untuk menutupi matamu, kalau kau tidak ingin melihat kematianmu sendiri," katanya datar.

Lalu gerbang terbuka.

Di hadapannya terbentang lanskap luar tembok, dunia liar. Pohon-pohon hitam dengan cabang seperti pisau. Tanahnya tak bergerak, seolah hidup. Dan kabut... kabut yang tidak mengikuti arah angin, tapi bergerak menuju siapa pun yang bernapas.

Di kejauhan, suara-suara bergetar.

Langkah kaki—tapi terlalu banyak. Napas—tapi terlalu dalam. Dan suara jeritan… seperti bayi... seperti binatang... seperti mimpi buruk yang baru lahir.

Maelon melangkah, sendirian, menuju tengah lapangan terbuka.

Langit di atasnya retak merah seperti luka terbuka. Dan ketika makhluk itu muncul, dari balik kabut, tubuhnya tidak bisa berkata apa-apa.

Hanya matanya yang menatap.

Tiga pasang mata. Tiga wajah. Satu tubuh. Dan seribu tangan yang merangkak seperti laba-laba.

Dan saat makhluk itu menatap Maelon, waktu berhenti.

Dalam bisikan yang hanya ia dengar, sesuatu berbicara.

“Darahmu... mengandung janji.”

“Kau tidak seharusnya mati seperti ini.”

“Berdoalah... dan Aku akan menoleh padamu.”

Dan Maelon, untuk pertama kalinya, menjawab.

“Dewa Blasphemy... jadikan aku kutukan untuk dunia yang membuangku.”

Maelon berlutut di atas tanah yang lembap, kedua telapak tangannya menempel pada permukaan dingin yang nampak hidup karena rintihan angin. Kabut menyelimuti segala sesuatu, menutup pandangan dan meredupkan warna dunia di sekelilingnya.

Ia baru saja mengirimkan doa—sebuah bisikan lirih kepada Dewa Blasphemy yang selama ini dikenal hanya melalui desas-desus dan ketakutan. Namun, tak ada jawaban yang datang dari langit. Tak ada seberkas cahaya yang mampu mengusir kegelapan; hanya hening yang menekan, menyisakan kehampaan.

Di balik kabut itu, terdengar langkah-langkah lambat yang menghitung detik-detik terakhir. Tanah di bawah kaki Maelon bergoyang halus, seolah ikut merasakan keputusasaan. Setiap jejaknya di jalan yang berlumpur dan lengket menampakkan bekas-bekas penderitaan, tanda bahwa ia telah berjuang sekuat tenaga, namun segala upayanya telah sia-sia.

Tanpa ia sadari, makhluk itu muncul perlahan dari balik kepulan kabut yang pekat. Wujudnya tinggi dan kurus, tubuhnya terselimuti asap yang menyembunyikan setiap detail, kecuali dua mata gelap yang menatap tanpa ampun. Tangan-tangan panjangnya, menjuntai seperti dahan kering, menambah kekaburan sosok yang mengerikan itu. Di antara tangan-tangan itu, terdapat satu tangan kecil yang tampak rapuh, seperti ironi yang mengingatkan akan kelemahan yang pernah ada.

Ketika makhluk itu membuka mulut, bukan raungan yang terdengar, melainkan suara tawa—tawa seorang perempuan yang menyimpan kegetiran. Tawa itu, meski lembut, menusuk dalam situasi yang penuh kehancuran.

“Dunia telah melupakanmu, sejak kau pertama kali menangis.”

“Tak seorang pun peduli, bahkan entitas yang kau panggil telah berpaling.”

Maelon mencoba meronta, berteriak meminta keadilan atau sekadar kelegaan, namun setiap jeritan tersedot oleh kebisuan malam yang menyelimuti. Ia mencakar tanah, mencoba meronta diri dari cengkeraman keputusasaan, namun setiap usaha hanya semakin membuatnya tenggelam dalam lumpur yang lengket.

Hingga akhirnya, tubuhnya tak sanggup lagi bergerak. Ia terdiam—bukan karena damai, tetapi karena kelelahan jiwa yang tak lagi mampu menolak kenyataan. Dalam keheningan yang mencekam itu, tiada pintu yang terbuka, tiada secercah kekuatan yang bangkit untuk menyelamatkannya. Hanya ada air mata yang mengalir pelan, bercampur dengan tanah yang kotor, sebagai saksi bisu dari nasibnya yang telah tertulis.

Di situ, dengan seluruh harapan yang telah terkikis, Maelon menerima kenyataan yang pahit. Tidak ada keajaiban yang datang. Tidak ada kekuatan yang tiba-tiba menyelamatkannya. Hanya keputusasaan yang terus merayap, hingga akhirnya segala perlawanan tersisihkan oleh keheningan yang abadi.

Dalam detik-detik yang terasa memanjang tanpa belas kasihan, makhluk itu melompat keluar dari kabut—kepalanya tiga, masing-masing membawa ekspresi yang berbeda: murka, kosong, dan kesenangan yang menyakitkan untuk dipandang.

Maelon, yang sudah kehilangan arah dan harapan, secara naluriah melemparkan tubuhnya ke samping. Cakar-cakar runcing yang seharusnya merobek tubuhnya hanya menggores pinggangnya. Luka itu dalam. Darah mengalir deras, membasahi kain lusuh yang membungkus tubuh ringkihnya.

Ia terhuyung, namun tetap berdiri. Rasa sakitnya tajam dan membakar, tetapi bukan itu yang paling menyakitkan.

Makhluk itu—untuk pertama kalinya—tersenyum.

Bukan senyum manusia, bukan pula senyum kehidupan. Melainkan senyuman bengkok, lebar, dan dingin yang memancarkan satu pesan: penderitaan adalah hiburan. Senyum itu lebih menusuk dari luka di tubuhnya.

“Kau hanya menunda kematian dari nyawamu yang tidak berharga,” suara makhluk itu bergema dalam kepala Maelon, seperti racun yang menyusup tanpa ampun.

Maelon menggertakkan gigi. Napasnya tercekat, matanya berair bukan karena tangis, tapi karena amarah dan rasa takut yang bercampur dalam jumlah yang sama.

Ia berlari. Bukan lagi untuk melarikan diri, tapi karena tubuhnya memaksanya untuk bertahan—meskipun tak ada tempat yang aman.

Di antara reruntuhan dan tulang-tulang yang separuh terkubur lumpur, matanya menangkap sesuatu: sebuah tongkat logam panjang, ujungnya runcing, nyaris tersembunyi di balik potongan kain yang telah membusuk. Ia jatuh ke lutut, meraih benda itu dengan tangan gemetar, dan mencengkeramnya seolah-olah itu adalah satu-satunya hal nyata yang tersisa dalam dunia yang telah kehilangan makna.

Dengan napas terengah dan luka terbuka yang terus mengucurkan darah, Maelon berdiri kembali. Tongkat itu bukan senjata sejati—hanya besi tua yang kebetulan berbentuk ancaman. Tapi malam itu, besi tua itu menjadi satu-satunya harapan melawan maut.

Makhluk berkepala tiga itu memperhatikan gerakan kecil itu dengan ketertarikan aneh. Ketiga kepalanya miring bersamaan, seolah menilai apakah pantas bagi makhluk kecil dan menyedihkan ini untuk melawan balik.

Maelon tidak tahu cara bertarung. Ia tidak memiliki kekuatan, tidak pula keberanian yang dipoles waktu. Tapi di hadapan kematian yang menyeringai padanya, ia menolak mati sambil berlutut.

Dan karena itu, untuk pertama kalinya…

ia maju.

Terpopuler

Comments

Aisyah Christine

Aisyah Christine

lebih baik mencoba sesuatu dr mati sia²😂

2025-04-26

1

angin kelana

angin kelana

survival..

2025-04-26

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Teralis
2 Bab 2: Dibuang ke Luar Tembok
3 Bab 3: Selamat
4 Bab 4: Sekutu?
5 Bab 5: Tanda
6 Bab 6: Kejatuhan Calvereth Aetheron
7 Bab 7: Kekuatan Baru
8 Bab 8: Kenangan Pemilik Sebelumnya
9 Bab 9: Reruntuhan Misterius
10 Bab 10: Ritual Peningkatan Lapsus
11 Bab 11: Tingkat 1 - Reah (Retakan)
12 Bab 12: Tawaran Yang Mencurigakan
13 Bab 13: Misi
14 Bab 14: Pabrik Terbengkalai
15 Bab 15: Menyerang
16 Bab 16: Pertarungan Tanpa Harapan
17 Bab 17: Penyelamat (Savior)
18 Bab 18: Jeffrie Nova
19 Bab 19: Perjalanan Jauh
20 Bab 20: Penjelasan Doctrina
21 Bab 21: Penjelasan Lebih Lanjut
22 Bab 22: Desa Ordo Nirakarna
23 Bab 23: Anak Baru
24 Bab 24: Latihan
25 Bab 25: Dunia Lapisan Pertama
26 Bab 26: Latihan Stamina
27 Bab 27: Ritual Nullis
28 Bab 28: Masih Latihan
29 Bab 29: Latihan Diluar
30 Bab 30: Pengalamannya Nyata
31 Bab 31: Menuju Tingkat 2
32 Bab 32: Eksplorasi
33 Bab 33: Tingkat 2 Lapsus - Drelm (Getaran)
34 Bab 34: Gerakan Mencurigakan
35 Bab 35: Tugas Patroli
36 Bab 36: Masa Lalu
37 Bab 37: Melawan
38 Bab 38: Persiapan
39 Bab 39: Perang
40 Bab 40: Kekuatan Roy Terungkap
41 Bab 41: Pertarungan Berakhir
42 Bab 42: Menjelajah
43 Bab 43: Menjelajah (2)
44 Bab 44: Menemukan Senjata Terkutuk
45 Bab 45: Vivi Meningkat
46 Bab 46: Kembali Ke Teralis
47 Bab 47: Menyusup Masuk Kota
48 Bab 48: Bertemu Kembali
49 Bab 49: Nalaya
50 Bab 50: Mother Creator
51 Bab 51: Mimpi
52 Bab 52: Dilema
53 Bab 53: Terkepung
54 Bab 54: Artefak Dewa
55 Bab 55: Kekuatan Aetheron
56 Bab 56: Rahim Iblis Yang Melahirkan Anak-Anak Penderitaan
57 Bab 57: Neraka?
58 Bab 58: Kehampaan Dalam Pembalasan
59 Bab 59: Kematian Bu Rantini
60 Bab 60: Mengakhiri
61 Bab 61: Menyelamatkan
62 Bab 62: Mimpi Aneh, Maelon Bangun.
63 Bab 63: Sejarah Ordo Nirakarna
64 Bab 64: Naif
65 Bab 65: Perasaan (1)
66 Bab 66: Perasaan (2)
67 Bab 67: Perasaan (3)
68 Bab 68: Volume 1 Tamat Judul Lapisan Satu
69 Bab 69: Dunia Pecahan Waktu — Fractura Temporum
70 Bab 70: Paradoxians
71 Bab 71: Desa Waktu Mati
72 Bab 72: Penunda
73 Bab 73: Mirare Tenebris
74 Bab 74: Vorem Chronis
75 Bab 75: Chronovarion
76 Bab 76: Siklus Looping
77 Bab 77: Penjaga Terakhir
78 Bab 78: Portal Lapisan ke-3
79 Bab 79: Lapisan Ke 3 Karnastra
Episodes

Updated 79 Episodes

1
Bab 1: Teralis
2
Bab 2: Dibuang ke Luar Tembok
3
Bab 3: Selamat
4
Bab 4: Sekutu?
5
Bab 5: Tanda
6
Bab 6: Kejatuhan Calvereth Aetheron
7
Bab 7: Kekuatan Baru
8
Bab 8: Kenangan Pemilik Sebelumnya
9
Bab 9: Reruntuhan Misterius
10
Bab 10: Ritual Peningkatan Lapsus
11
Bab 11: Tingkat 1 - Reah (Retakan)
12
Bab 12: Tawaran Yang Mencurigakan
13
Bab 13: Misi
14
Bab 14: Pabrik Terbengkalai
15
Bab 15: Menyerang
16
Bab 16: Pertarungan Tanpa Harapan
17
Bab 17: Penyelamat (Savior)
18
Bab 18: Jeffrie Nova
19
Bab 19: Perjalanan Jauh
20
Bab 20: Penjelasan Doctrina
21
Bab 21: Penjelasan Lebih Lanjut
22
Bab 22: Desa Ordo Nirakarna
23
Bab 23: Anak Baru
24
Bab 24: Latihan
25
Bab 25: Dunia Lapisan Pertama
26
Bab 26: Latihan Stamina
27
Bab 27: Ritual Nullis
28
Bab 28: Masih Latihan
29
Bab 29: Latihan Diluar
30
Bab 30: Pengalamannya Nyata
31
Bab 31: Menuju Tingkat 2
32
Bab 32: Eksplorasi
33
Bab 33: Tingkat 2 Lapsus - Drelm (Getaran)
34
Bab 34: Gerakan Mencurigakan
35
Bab 35: Tugas Patroli
36
Bab 36: Masa Lalu
37
Bab 37: Melawan
38
Bab 38: Persiapan
39
Bab 39: Perang
40
Bab 40: Kekuatan Roy Terungkap
41
Bab 41: Pertarungan Berakhir
42
Bab 42: Menjelajah
43
Bab 43: Menjelajah (2)
44
Bab 44: Menemukan Senjata Terkutuk
45
Bab 45: Vivi Meningkat
46
Bab 46: Kembali Ke Teralis
47
Bab 47: Menyusup Masuk Kota
48
Bab 48: Bertemu Kembali
49
Bab 49: Nalaya
50
Bab 50: Mother Creator
51
Bab 51: Mimpi
52
Bab 52: Dilema
53
Bab 53: Terkepung
54
Bab 54: Artefak Dewa
55
Bab 55: Kekuatan Aetheron
56
Bab 56: Rahim Iblis Yang Melahirkan Anak-Anak Penderitaan
57
Bab 57: Neraka?
58
Bab 58: Kehampaan Dalam Pembalasan
59
Bab 59: Kematian Bu Rantini
60
Bab 60: Mengakhiri
61
Bab 61: Menyelamatkan
62
Bab 62: Mimpi Aneh, Maelon Bangun.
63
Bab 63: Sejarah Ordo Nirakarna
64
Bab 64: Naif
65
Bab 65: Perasaan (1)
66
Bab 66: Perasaan (2)
67
Bab 67: Perasaan (3)
68
Bab 68: Volume 1 Tamat Judul Lapisan Satu
69
Bab 69: Dunia Pecahan Waktu — Fractura Temporum
70
Bab 70: Paradoxians
71
Bab 71: Desa Waktu Mati
72
Bab 72: Penunda
73
Bab 73: Mirare Tenebris
74
Bab 74: Vorem Chronis
75
Bab 75: Chronovarion
76
Bab 76: Siklus Looping
77
Bab 77: Penjaga Terakhir
78
Bab 78: Portal Lapisan ke-3
79
Bab 79: Lapisan Ke 3 Karnastra

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!