Bab 3: Selamat

Maelon mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi dan menyerang dengan segenap tenaga yang tersisa. Ia menusuk, menebas, mengayun berulang kali, meski matanya sudah diburamkan darah dan keringat. Tubuhnya gemetar, napasnya putus-putus. Tapi tidak ada satu pun luka yang tertoreh di kulit makhluk itu.

Tidak ada darah. Tidak ada reaksi. Hanya keheningan dingin yang membentur tekadnya seperti tembok baja.

Makhluk berkepala tiga itu menatapnya. Ketiga pasang mata itu bergantian menelusuri wajah Maelon, lalu lidah salah satu dari mereka mendesis ringan, seperti mengecap rasa pahit.

“Hanya itu?”

“Mengecewakan.”

Cakar makhluk itu melesat cepat, menggenggam leher Maelon dalam satu gerakan. Tubuh kurus itu terangkat dari tanah seperti boneka kain yang koyak. Udara lenyap dari paru-parunya. Kakinya menendang angin. Matanya melotot, bukan karena takut… tapi karena kesadaran akan akhir.

Dalam cekikan itu, di ambang kematian, pikirannya kembali pada tempat yang paling ingin ia lupakan—panti asuhan Gema Harapan.

Suara jeritan anak-anak, bau besi, dan bunyi uang koin yang dilemparkan di lantai batu kembali menghantui benaknya. Ia teringat bagaimana ia mencuri waktu agar anak-anak lain bisa tidur lebih lama, bagaimana ia diam-diam membagi makanannya, bagaimana ia melindungi Nalaya meskipun tak pernah mendapat ucapan terima kasih.

Dan sekarang, ia menyadari sesuatu.

Setidaknya, dalam hidupnya yang hina ini,

ia telah berbuat baik. Sekali saja. Dan itu cukup.

Ia tersenyum.

Bukan senyum kemenangan. Bukan senyum bahagia.

Tapi senyum yang pasrah, tenang, dan tak lagi membutuhkan pengakuan dunia.

Makhluk itu berhenti.

Cengkeramannya tak menguat, tak juga melemah. Ketiga wajahnya menegang, saling menoleh satu sama lain seperti tak memahami.

“Apa…?”

“Kenapa kau… tersenyum bodoh seperti itu?”

“Kenapa kau tidak menderita?!”

Suara mereka bercampur dalam kebingungan dan kekecewaan. Bukan karena Maelon melawan, bukan karena ia kuat—tapi karena ia tidak takut, dan lebih dari itu… ia tidak patah.

Makhluk itu melempar Maelon ke tanah. Ia tergeletak, menggeliat kesakitan, tapi masih hidup. Masih tersenyum.

“Kau… benar-benar menjijikkan.”

“Jadilah lebih kuat.”

“Agar nanti… aku bisa membunuhmu dengan puas.”

Tanpa peringatan, makhluk itu mundur ke dalam kabut, tubuhnya menghilang seperti uap yang dibawa angin malam.

Dan Maelon tetap tergeletak di tanah, berdarah, terluka, tapi tidak hancur. Tak ada yang menyelamatkannya. Tak ada sorak kemenangan. Hanya sepotong senyum yang tertinggal, dalam dunia yang tak pernah peduli.

Kabut belum sepenuhnya menghilang ketika dua sosok muncul di atas tembok luar kota—struktur raksasa yang selama ini memisahkan manusia dari dunia di luar sana.

Seorang pria berdiri diam, mengenakan jas hitam rapi yang tampak tak tergoyahkan oleh angin. Di dadanya tergantung lencana berbentuk bulat dengan ukiran rumit, memancarkan cahaya samar keemasan, simbol otoritas tertinggi di lapisan pertama. Matanya tajam, nyaris tanpa emosi, namun menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran.

Di sampingnya, seorang wanita berseragam resmi berdiri dengan wajah yang diliputi keterkejutan. Tangannya gemetar sedikit saat ia mengangkat teropong ke mata, lalu menurunkannya perlahan. Nafasnya tercekat.

“Itu... tidak mungkin,” bisiknya.

Pria itu tetap membisu. Sorot matanya terkunci pada satu titik di bawah sana—sosok kurus bersimbah darah yang kini terbaring di tanah berlumpur, masih hidup, meskipun nyaris tak bergerak.

Sosok itu adalah Maelon.

Dan di sekelilingnya, tanah penuh dengan jejak pertempuran, cakar makhluk, dan keheningan yang belum menguap sepenuhnya.

“Entitas itu… kelas-X,” lanjut petugas wanita, suaranya mulai terdengar gentar. “Tidak pernah ada yang kembali hidup dari pertemuan dengan makhluk sejenis itu. Bahkan… tidak pernah ada mayat yang utuh.”

Pria berjas hitam akhirnya bicara. Suaranya tenang, dalam, seperti batu yang jatuh ke dalam sumur kosong.

“Kita saksikan sejarah malam ini.”

Ia melangkah mundur dari tepian tembok. Petugas wanita masih menatap ke bawah, ke arah anak laki-laki yang bahkan tidak tahu bahwa kini ada mata yang memperhatikannya.

“Apa yang akan kita lakukan terhadapnya?” tanyanya pelan.

Pria itu tak menoleh saat menjawab.

“Belum sekarang.”

Dan dengan langkah yang teratur, pria itu menghilang di balik gerbang pengamatan. Meninggalkan malam yang belum selesai, dan seorang anak yang seharusnya telah mati… tapi tidak.

Sinar fajar belum menembus kabut saat Maelon membuka matanya perlahan. Napasnya berat, tubuhnya terasa seperti bongkahan daging yang diseret di atas batu. Darah masih menetes dari luka di pinggangnya, hangat dan lengket.

Dengan tangan gemetar, ia meraih sepotong kain kusam yang diselipkan di sakunya sebelum ia dibuang keluar gerbang—kain itu diberikan oleh seorang penjaga wanita yang diam-diam memberinya secercah simpati di tengah malam.

Sekarang, kain itu menjadi satu-satunya yang bisa ia andalkan.

Ia merobek bagian tengahnya, membungkus luka di pinggang dan mengikatnya erat meskipun rasa perih membuatnya nyaris pingsan. Ujung kain itu basah oleh darah, namun perlahan alirannya melambat. Dengan napas berat, Maelon berdiri. Lututnya bergetar. Setiap langkah seperti pertarungan melawan tubuhnya sendiri. Tapi ia tetap berjalan.

"Aku masih hidup," bisiknya. "Setidaknya… kota itu masih aman."

Kabut telah menipis saat ia mulai menapaki jalan kembali ke gerbang timur. Bebatuan kasar melukai telapak kakinya yang telanjang, tapi ia tak peduli. Ia percaya bahwa setelah apa yang ia hadapi, mereka akan mengizinkannya kembali.

Namun harapan itu dipatahkan begitu cepat.

Gerbang itu tetap tertutup. Para penjaga memandangnya dari atas menara seperti melihat sesuatu yang asing, kotor, dan tak layak dikenali. Seorang pria berjubah besi mengangkat tangannya, memberi isyarat agar pasukan tidak membuka pintu.

“Maelon Herlambang, kau telah tercemar,” suaranya menggema dari atas, tanpa emosi.

“Kami mencium sisa-sisa aura dari entitas kelas-X. Kau berpotensi membahayakan warga.”

“Kembalimu... tidak diizinkan.”

Maelon menengadah, wajahnya ditimpa bayang tembok tinggi yang dingin dan tidak kenal ampun. Ia membuka mulut, mencoba menjelaskan. Bahwa ia hanya umpan. Bahwa ia telah memancing makhluk itu menjauh. Bahwa ia terluka, dan hanya ingin kembali.

Tapi tak ada jawaban.

Satu per satu, para penjaga pergi dari pos pengamatan. Tidak ada belas kasihan. Tidak ada pintu yang terbuka. Kota yang ia lindungi… bahkan tidak mau mengakuinya.

Dan saat itu juga, Maelon berhenti memohon.

Ia berdiri beberapa lama di hadapan gerbang yang tak pernah benar-benar terbuka untuknya. Matanya kering. Bukan karena tak ingin menangis—tapi karena tak ada air mata yang tersisa untuk kota itu.

Ia memutar tubuhnya perlahan, lalu mulai berjalan. Tidak ke kanan, tidak ke kiri. Tapi lurus ke arah yang belum pernah ia lewati—jalan sunyi yang membelah hutan belantara dan reruntuhan, di luar batas dunia yang pernah ia kenal.

“Kalau tidak bisa kembali…”

“…maka aku akan terus berjalan.”

Dengan napas berat dan tubuh luka, Maelon menjelajah. Tanpa peta. Tanpa arah.

Tapi untuk pertama kalinya, ia bebas dari tembok. Dan itu berarti, dunia akhirnya terbuka untuknya. Atau setidaknya, bagian tergelap dari dunia yang belum ingin ditemukan siapa pun.

Episodes
1 Bab 1: Teralis
2 Bab 2: Dibuang ke Luar Tembok
3 Bab 3: Selamat
4 Bab 4: Sekutu?
5 Bab 5: Tanda
6 Bab 6: Kejatuhan Calvereth Aetheron
7 Bab 7: Kekuatan Baru
8 Bab 8: Kenangan Pemilik Sebelumnya
9 Bab 9: Reruntuhan Misterius
10 Bab 10: Ritual Peningkatan Lapsus
11 Bab 11: Tingkat 1 - Reah (Retakan)
12 Bab 12: Tawaran Yang Mencurigakan
13 Bab 13: Misi
14 Bab 14: Pabrik Terbengkalai
15 Bab 15: Menyerang
16 Bab 16: Pertarungan Tanpa Harapan
17 Bab 17: Penyelamat (Savior)
18 Bab 18: Jeffrie Nova
19 Bab 19: Perjalanan Jauh
20 Bab 20: Penjelasan Doctrina
21 Bab 21: Penjelasan Lebih Lanjut
22 Bab 22: Desa Ordo Nirakarna
23 Bab 23: Anak Baru
24 Bab 24: Latihan
25 Bab 25: Dunia Lapisan Pertama
26 Bab 26: Latihan Stamina
27 Bab 27: Ritual Nullis
28 Bab 28: Masih Latihan
29 Bab 29: Latihan Diluar
30 Bab 30: Pengalamannya Nyata
31 Bab 31: Menuju Tingkat 2
32 Bab 32: Eksplorasi
33 Bab 33: Tingkat 2 Lapsus - Drelm (Getaran)
34 Bab 34: Gerakan Mencurigakan
35 Bab 35: Tugas Patroli
36 Bab 36: Masa Lalu
37 Bab 37: Melawan
38 Bab 38: Persiapan
39 Bab 39: Perang
40 Bab 40: Kekuatan Roy Terungkap
41 Bab 41: Pertarungan Berakhir
42 Bab 42: Menjelajah
43 Bab 43: Menjelajah (2)
44 Bab 44: Menemukan Senjata Terkutuk
45 Bab 45: Vivi Meningkat
46 Bab 46: Kembali Ke Teralis
47 Bab 47: Menyusup Masuk Kota
48 Bab 48: Bertemu Kembali
49 Bab 49: Nalaya
50 Bab 50: Mother Creator
51 Bab 51: Mimpi
52 Bab 52: Dilema
53 Bab 53: Terkepung
54 Bab 54: Artefak Dewa
55 Bab 55: Kekuatan Aetheron
56 Bab 56: Rahim Iblis Yang Melahirkan Anak-Anak Penderitaan
57 Bab 57: Neraka?
58 Bab 58: Kehampaan Dalam Pembalasan
59 Bab 59: Kematian Bu Rantini
60 Bab 60: Mengakhiri
61 Bab 61: Menyelamatkan
62 Bab 62: Mimpi Aneh, Maelon Bangun.
63 Bab 63: Sejarah Ordo Nirakarna
64 Bab 64: Naif
65 Bab 65: Perasaan (1)
66 Bab 66: Perasaan (2)
67 Bab 67: Perasaan (3)
68 Bab 68: Volume 1 Tamat Judul Lapisan Satu
69 Bab 69: Dunia Pecahan Waktu — Fractura Temporum
70 Bab 70: Paradoxians
71 Bab 71: Desa Waktu Mati
72 Bab 72: Penunda
73 Bab 73: Mirare Tenebris
74 Bab 74: Vorem Chronis
75 Bab 75: Chronovarion
76 Bab 76: Siklus Looping
77 Bab 77: Penjaga Terakhir
78 Bab 78: Portal Lapisan ke-3
79 Bab 79: Lapisan Ke 3 Karnastra
Episodes

Updated 79 Episodes

1
Bab 1: Teralis
2
Bab 2: Dibuang ke Luar Tembok
3
Bab 3: Selamat
4
Bab 4: Sekutu?
5
Bab 5: Tanda
6
Bab 6: Kejatuhan Calvereth Aetheron
7
Bab 7: Kekuatan Baru
8
Bab 8: Kenangan Pemilik Sebelumnya
9
Bab 9: Reruntuhan Misterius
10
Bab 10: Ritual Peningkatan Lapsus
11
Bab 11: Tingkat 1 - Reah (Retakan)
12
Bab 12: Tawaran Yang Mencurigakan
13
Bab 13: Misi
14
Bab 14: Pabrik Terbengkalai
15
Bab 15: Menyerang
16
Bab 16: Pertarungan Tanpa Harapan
17
Bab 17: Penyelamat (Savior)
18
Bab 18: Jeffrie Nova
19
Bab 19: Perjalanan Jauh
20
Bab 20: Penjelasan Doctrina
21
Bab 21: Penjelasan Lebih Lanjut
22
Bab 22: Desa Ordo Nirakarna
23
Bab 23: Anak Baru
24
Bab 24: Latihan
25
Bab 25: Dunia Lapisan Pertama
26
Bab 26: Latihan Stamina
27
Bab 27: Ritual Nullis
28
Bab 28: Masih Latihan
29
Bab 29: Latihan Diluar
30
Bab 30: Pengalamannya Nyata
31
Bab 31: Menuju Tingkat 2
32
Bab 32: Eksplorasi
33
Bab 33: Tingkat 2 Lapsus - Drelm (Getaran)
34
Bab 34: Gerakan Mencurigakan
35
Bab 35: Tugas Patroli
36
Bab 36: Masa Lalu
37
Bab 37: Melawan
38
Bab 38: Persiapan
39
Bab 39: Perang
40
Bab 40: Kekuatan Roy Terungkap
41
Bab 41: Pertarungan Berakhir
42
Bab 42: Menjelajah
43
Bab 43: Menjelajah (2)
44
Bab 44: Menemukan Senjata Terkutuk
45
Bab 45: Vivi Meningkat
46
Bab 46: Kembali Ke Teralis
47
Bab 47: Menyusup Masuk Kota
48
Bab 48: Bertemu Kembali
49
Bab 49: Nalaya
50
Bab 50: Mother Creator
51
Bab 51: Mimpi
52
Bab 52: Dilema
53
Bab 53: Terkepung
54
Bab 54: Artefak Dewa
55
Bab 55: Kekuatan Aetheron
56
Bab 56: Rahim Iblis Yang Melahirkan Anak-Anak Penderitaan
57
Bab 57: Neraka?
58
Bab 58: Kehampaan Dalam Pembalasan
59
Bab 59: Kematian Bu Rantini
60
Bab 60: Mengakhiri
61
Bab 61: Menyelamatkan
62
Bab 62: Mimpi Aneh, Maelon Bangun.
63
Bab 63: Sejarah Ordo Nirakarna
64
Bab 64: Naif
65
Bab 65: Perasaan (1)
66
Bab 66: Perasaan (2)
67
Bab 67: Perasaan (3)
68
Bab 68: Volume 1 Tamat Judul Lapisan Satu
69
Bab 69: Dunia Pecahan Waktu — Fractura Temporum
70
Bab 70: Paradoxians
71
Bab 71: Desa Waktu Mati
72
Bab 72: Penunda
73
Bab 73: Mirare Tenebris
74
Bab 74: Vorem Chronis
75
Bab 75: Chronovarion
76
Bab 76: Siklus Looping
77
Bab 77: Penjaga Terakhir
78
Bab 78: Portal Lapisan ke-3
79
Bab 79: Lapisan Ke 3 Karnastra

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!