Bab 4: Sekutu?

Maelon berjalan menyusuri jalan setapak yang tak pernah diberi nama, menembus belukar dan ranting-ranting kering yang menjulur seperti tangan-tangan tulang. Matahari mulai merangkak di balik langit kelabu, cahayanya samar dan dingin, seolah pun enggan menyentuh dunia yang telah lama melupakan kehangatan.

Setiap langkah yang ia ambil terasa berat. Bukan karena tubuhnya yang terluka, tapi karena pertanyaan yang terus berputar di benaknya.

“Kontaminasi?”

“Korupsi aura entitas?”

“Mengada-ada…”

Ia tidak merasa berbeda. Tidak ada suara-suara aneh di kepalanya. Tidak ada dorongan haus darah. Tidak ada kilatan kekuatan asing di matanya. Ia tetap Maelon. Masih lapar. Masih haus. Masih sendirian.

Di pikirannya, para penjaga itu hanya mencari alasan. Alasan untuk membuangnya. Alasan untuk tidak bertanggung jawab atas kesalahan mereka. Dan… mungkin itu benar. Mereka takut. Takut pada sesuatu yang tidak mereka pahami.

Tapi yang tidak Maelon ketahui… adalah bahwa makhluk berkepala tiga itu tidak benar-benar pergi. Ia mundur, ya. Tapi tidak melupakan. Tidak melepaskan.

Di bawah kulit Maelon, di dekat luka bekas cengkeraman cakar itu, ada sesuatu yang tertinggal—tanda samar yang tak bisa dilihat dengan mata manusia. Sebuah simbol yang bukan berasal dari dunia ini, melingkar seperti luka bakar tapi tak meninggalkan rasa sakit. Ia hanya… ada. Diam. Menyala dalam gelombang yang tak terdengar, mengirimkan denyut seperti detak jantung yang menjangkau ruang dan waktu.

Makhluk itu tahu di mana Maelon berada. Setiap saat. Dan tanda itu… adalah janjinya.

“Jadilah lebih kuat.”

“Agar aku bisa membunuhmu sendiri.”

Sementara itu, Maelon melanjutkan perjalanannya. Tubuhnya dibalut debu dan luka, tombak besi panjang di genggaman—senjata sederhana yang ia temukan saat berlari dari kematian. Tidak terlalu tajam. Tidak seimbang. Tapi setidaknya, sesuatu untuk bertahan.

Ia memburu binatang kecil, menebas tanaman liar yang bergetah. Air kotor dari sungai dangkal ia tampung dengan tangan, meminumnya perlahan walau rasanya seperti karat. Saat malam, ia membuat perapian kecil, cukup untuk mengusir hawa dingin, tapi tidak cukup terang untuk menarik perhatian makhluk-makhluk asing.

Dalam diamnya, ia tidak pernah tahu bahwa langit mengawasinya. Bahwa ada entitas yang terus memantau dari kejauhan. Bahwa setiap nyala api kecil yang ia nyalakan, setiap langkah kaki yang ia buat, tak pernah benar-benar luput dari mata yang tak berkedip.

Maelon berpikir ia bebas. Bahwa ia telah meninggalkan semuanya. Namun kenyataannya, ia hanya memasuki babak baru dari permainan yang telah disusun jauh sebelum ia dilahirkan.

Hari keempat. Atau kelima. Maelon tidak yakin lagi. Waktu tidak berjalan dengan cara yang sama di luar tembok. Siang dan malam seakan hanya peralihan warna kabut, bukan sesuatu yang memberi batas atau penghiburan.

Ia duduk di bawah pohon berakar menjulur, mengunyah daging binatang kecil yang dibakarnya semalam. Rasanya getir. Anyir. Tapi perutnya tak mengenal selera—ia hanya tahu lapar. Sementara api kecil di hadapannya mulai padam, ia mendengar suara—tidak dari arah yang jelas, tapi cukup dekat untuk membuatnya menggenggam tombaknya erat.

Langkah kaki. Tiga orang. Pelan, tapi tidak menyembunyikan kehadiran mereka. Satu di antara mereka berbicara, suaranya dalam dan bergetar seperti kerikil di dasar sungai.

“Kau manusia… atau hanya sisa?”

Maelon berdiri perlahan. Tubuhnya masih nyeri. Darah di sisi perutnya mulai mengering, meninggalkan jejak gelap di baju lapuknya. Ia menatap ke arah suara—dan dari kabut, muncul tiga sosok.

Mereka tampak seperti manusia, tapi ada yang ganjil. Cara mereka bergerak—terlalu tenang, terlalu pasti. Yang pertama bertubuh tinggi, mengenakan mantel kulit dengan lambang berbentuk lingkaran terbelah. Wajahnya dipenuhi bekas luka, dan satu matanya ditutup dengan logam berkarat. Yang kedua, seorang wanita berambut pendek dengan topeng yang hanya menutupi mulutnya, membawa dua pisau kecil yang terikat di pinggang. Yang ketiga tampak muda, tapi sorot matanya kosong. Ia menggendong semacam tas besar, kemungkinan berisi perlengkapan dan persediaan.

Mereka tidak menyapa. Hanya berdiri, mengamati Maelon seperti sepotong batu aneh di tengah jalan yang tak seharusnya ada.

“Kau sendiri?” tanya si wanita, matanya menyipit.

Maelon mengangguk. “Dibuang dari dalam tembok.”

“Kelas berapa?”

“Aku… bukan siapa-siapa.”

Hening. Tidak ada tawa, tidak ada belas kasihan. Tapi ada ketertarikan samar di mata mereka. Si pria bertubuh tinggi melangkah maju, memperhatikan tombak Maelon dan luka di pinggangnya.

“Kau masih hidup, setelah keluar dari gerbang timur?”

“Ya.”

“Itu… jarang terjadi.”

Maelon tidak menjawab. Ia tahu pertanyaan itu bukan kekaguman, melainkan semacam penghitungan. Mereka mengukur dirinya—bukan sebagai kawan, tapi kemungkinan. Sebagai nilai tukar, atau ancaman yang belum tumbuh sempurna.

Akhirnya, pria itu membuka mantel kulitnya, memperlihatkan simbol peta kasar yang digoreskan di dada bajunya. Jalur-jalur, titik-titik, nama-nama tempat yang telah dilupakan dunia dalam. Ia menunjuk satu lokasi.

“Kami menuju reruntuhan Arkhal. Jika kau cukup kuat untuk bertahan, ikutlah. Tapi kami tidak melindungi siapa pun.”

Maelon menatap mereka. Ia tahu ini bukan pertolongan. Mereka tidak membawanya karena kasihan. Mereka hanya menerima keberadaannya… untuk sekarang.

Tapi ia tidak punya tempat lain untuk pergi.

Dengan langkah berat, ia berjalan bersama mereka. Menyatu dalam diam dan kabut. Saling menjaga jarak, tapi tetap dalam jangkauan. Ia memperhatikan cara mereka tidur, cara mereka menyimpan makanan, cara mereka menghindari suara-suara di malam hari yang bahkan tak bisa dijelaskan oleh bahasa manusia.

Hari demi hari berlalu. Maelon merasa tubuhnya mulai terbiasa. Luka di pinggang perlahan menutup, meski rasa sakitnya tak pernah benar-benar hilang. Mereka kadang berbincang singkat—tentang jenis makhluk yang mereka temui, tentang reruntuhan tempat artefak bisa dijarah, tentang kota-kota mati yang terkubur di lapisan kabut.

Tapi tidak pernah tentang masa lalu. Tidak pernah tentang asal-usul.

Dan tak satu pun dari mereka bertanya lebih jauh tentang bagaimana Maelon selamat dari entitas kelas-X.

Namun saat malam sunyi menyelimuti hutan, ketika yang terdengar hanyalah suara api yang meletup pelan dan desah angin yang membawa bau logam, Maelon sesekali melihat si wanita bertopeng mengamati punggungnya dari kejauhan. Lama. Tanpa kata. Seperti sedang menghitung sesuatu yang tak bisa dilihat mata biasa.

Sudah tujuh hari Maelon berjalan bersama mereka. Tujuh malam tidur di tanah keras, berbagi api, berbagi cerita seadanya—namun tak pernah benar-benar berbagi kepercayaan.

Pada malam kedelapan, saat mereka mendirikan perkemahan kecil di bawah reruntuhan menara pengamat tua, kabut datang lebih tebal dari biasanya. Tidak ada angin, tidak ada suara burung malam. Hanya keheningan yang menggumpal—dan pandangan yang tak bisa menembus dua langkah ke depan.

Maelon sedang menajamkan ujung tombaknya ketika suara berat pria bermantel kulit menyelinap pelan di belakangnya.

“Punggungmu… ada bekas aneh.”

Maelon menoleh. “Apa maksudmu?”

Pria itu menunjuk dengan dagunya. “Di antara tulang belikatmu. Cahaya samar, kadang berkedip saat malam.”

Terpopuler

Comments

Aisyah Christine

Aisyah Christine

tanda dr makhluk aneh itu

2025-04-26

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Teralis
2 Bab 2: Dibuang ke Luar Tembok
3 Bab 3: Selamat
4 Bab 4: Sekutu?
5 Bab 5: Tanda
6 Bab 6: Kejatuhan Calvereth Aetheron
7 Bab 7: Kekuatan Baru
8 Bab 8: Kenangan Pemilik Sebelumnya
9 Bab 9: Reruntuhan Misterius
10 Bab 10: Ritual Peningkatan Lapsus
11 Bab 11: Tingkat 1 - Reah (Retakan)
12 Bab 12: Tawaran Yang Mencurigakan
13 Bab 13: Misi
14 Bab 14: Pabrik Terbengkalai
15 Bab 15: Menyerang
16 Bab 16: Pertarungan Tanpa Harapan
17 Bab 17: Penyelamat (Savior)
18 Bab 18: Jeffrie Nova
19 Bab 19: Perjalanan Jauh
20 Bab 20: Penjelasan Doctrina
21 Bab 21: Penjelasan Lebih Lanjut
22 Bab 22: Desa Ordo Nirakarna
23 Bab 23: Anak Baru
24 Bab 24: Latihan
25 Bab 25: Dunia Lapisan Pertama
26 Bab 26: Latihan Stamina
27 Bab 27: Ritual Nullis
28 Bab 28: Masih Latihan
29 Bab 29: Latihan Diluar
30 Bab 30: Pengalamannya Nyata
31 Bab 31: Menuju Tingkat 2
32 Bab 32: Eksplorasi
33 Bab 33: Tingkat 2 Lapsus - Drelm (Getaran)
34 Bab 34: Gerakan Mencurigakan
35 Bab 35: Tugas Patroli
36 Bab 36: Masa Lalu
37 Bab 37: Melawan
38 Bab 38: Persiapan
39 Bab 39: Perang
40 Bab 40: Kekuatan Roy Terungkap
41 Bab 41: Pertarungan Berakhir
42 Bab 42: Menjelajah
43 Bab 43: Menjelajah (2)
44 Bab 44: Menemukan Senjata Terkutuk
45 Bab 45: Vivi Meningkat
46 Bab 46: Kembali Ke Teralis
47 Bab 47: Menyusup Masuk Kota
48 Bab 48: Bertemu Kembali
49 Bab 49: Nalaya
50 Bab 50: Mother Creator
51 Bab 51: Mimpi
52 Bab 52: Dilema
53 Bab 53: Terkepung
54 Bab 54: Artefak Dewa
55 Bab 55: Kekuatan Aetheron
56 Bab 56: Rahim Iblis Yang Melahirkan Anak-Anak Penderitaan
57 Bab 57: Neraka?
58 Bab 58: Kehampaan Dalam Pembalasan
59 Bab 59: Kematian Bu Rantini
60 Bab 60: Mengakhiri
61 Bab 61: Menyelamatkan
62 Bab 62: Mimpi Aneh, Maelon Bangun.
63 Bab 63: Sejarah Ordo Nirakarna
64 Bab 64: Naif
65 Bab 65: Perasaan (1)
66 Bab 66: Perasaan (2)
67 Bab 67: Perasaan (3)
68 Bab 68: Volume 1 Tamat Judul Lapisan Satu
69 Bab 69: Dunia Pecahan Waktu — Fractura Temporum
70 Bab 70: Paradoxians
71 Bab 71: Desa Waktu Mati
72 Bab 72: Penunda
73 Bab 73: Mirare Tenebris
74 Bab 74: Vorem Chronis
75 Bab 75: Chronovarion
76 Bab 76: Siklus Looping
77 Bab 77: Penjaga Terakhir
78 Bab 78: Portal Lapisan ke-3
79 Bab 79: Lapisan Ke 3 Karnastra
Episodes

Updated 79 Episodes

1
Bab 1: Teralis
2
Bab 2: Dibuang ke Luar Tembok
3
Bab 3: Selamat
4
Bab 4: Sekutu?
5
Bab 5: Tanda
6
Bab 6: Kejatuhan Calvereth Aetheron
7
Bab 7: Kekuatan Baru
8
Bab 8: Kenangan Pemilik Sebelumnya
9
Bab 9: Reruntuhan Misterius
10
Bab 10: Ritual Peningkatan Lapsus
11
Bab 11: Tingkat 1 - Reah (Retakan)
12
Bab 12: Tawaran Yang Mencurigakan
13
Bab 13: Misi
14
Bab 14: Pabrik Terbengkalai
15
Bab 15: Menyerang
16
Bab 16: Pertarungan Tanpa Harapan
17
Bab 17: Penyelamat (Savior)
18
Bab 18: Jeffrie Nova
19
Bab 19: Perjalanan Jauh
20
Bab 20: Penjelasan Doctrina
21
Bab 21: Penjelasan Lebih Lanjut
22
Bab 22: Desa Ordo Nirakarna
23
Bab 23: Anak Baru
24
Bab 24: Latihan
25
Bab 25: Dunia Lapisan Pertama
26
Bab 26: Latihan Stamina
27
Bab 27: Ritual Nullis
28
Bab 28: Masih Latihan
29
Bab 29: Latihan Diluar
30
Bab 30: Pengalamannya Nyata
31
Bab 31: Menuju Tingkat 2
32
Bab 32: Eksplorasi
33
Bab 33: Tingkat 2 Lapsus - Drelm (Getaran)
34
Bab 34: Gerakan Mencurigakan
35
Bab 35: Tugas Patroli
36
Bab 36: Masa Lalu
37
Bab 37: Melawan
38
Bab 38: Persiapan
39
Bab 39: Perang
40
Bab 40: Kekuatan Roy Terungkap
41
Bab 41: Pertarungan Berakhir
42
Bab 42: Menjelajah
43
Bab 43: Menjelajah (2)
44
Bab 44: Menemukan Senjata Terkutuk
45
Bab 45: Vivi Meningkat
46
Bab 46: Kembali Ke Teralis
47
Bab 47: Menyusup Masuk Kota
48
Bab 48: Bertemu Kembali
49
Bab 49: Nalaya
50
Bab 50: Mother Creator
51
Bab 51: Mimpi
52
Bab 52: Dilema
53
Bab 53: Terkepung
54
Bab 54: Artefak Dewa
55
Bab 55: Kekuatan Aetheron
56
Bab 56: Rahim Iblis Yang Melahirkan Anak-Anak Penderitaan
57
Bab 57: Neraka?
58
Bab 58: Kehampaan Dalam Pembalasan
59
Bab 59: Kematian Bu Rantini
60
Bab 60: Mengakhiri
61
Bab 61: Menyelamatkan
62
Bab 62: Mimpi Aneh, Maelon Bangun.
63
Bab 63: Sejarah Ordo Nirakarna
64
Bab 64: Naif
65
Bab 65: Perasaan (1)
66
Bab 66: Perasaan (2)
67
Bab 67: Perasaan (3)
68
Bab 68: Volume 1 Tamat Judul Lapisan Satu
69
Bab 69: Dunia Pecahan Waktu — Fractura Temporum
70
Bab 70: Paradoxians
71
Bab 71: Desa Waktu Mati
72
Bab 72: Penunda
73
Bab 73: Mirare Tenebris
74
Bab 74: Vorem Chronis
75
Bab 75: Chronovarion
76
Bab 76: Siklus Looping
77
Bab 77: Penjaga Terakhir
78
Bab 78: Portal Lapisan ke-3
79
Bab 79: Lapisan Ke 3 Karnastra

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!