Luca bergerak cepat, menarik pistolnya dan mengarahkannya ke Adrian, tetapi pria itu hanya tertawa kecil.
“Jangan bodoh, Luca. Kau tahu kau kalah jumlah.”
Liana menahan napas. Ia bisa merasakan ketegangan di udara, bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berpacu. Rafael, meskipun masih lemah, berdiri tegak di sisinya. Tatapannya tajam, penuh perhitungan.
“Apa maumu, Adrian?” suara Rafael terdengar tenang, tetapi ada nada ancaman di dalamnya.
Adrian melangkah lebih dekat, matanya tertuju pada Rafael. “Kau tahu persis apa yang kumau. Informasi itu. Dan aku tahu seseorang telah menyelamatkanmu.”
Tatapan Adrian beralih ke Liana.
Jantung Liana mencelos.
“Dia tidak ada hubungannya dengan ini,” Rafael berkata cepat, mencoba mengalihkan perhatian Adrian. “Lepaskan dia.”
Adrian terkekeh. “Oh, tapi sekarang dia sudah terlibat, bukan? Dan aku penasaran… Seorang dokter biasa, berani mengambil risiko untuk menyelamatkanmu? Menarik.”
Liana mengepalkan tangannya. Ia tidak akan membiarkan Adrian mengintimidasinya. Ia melangkah ke depan sedikit, menatap Adrian langsung. “Aku tidak tahu siapa kau atau apa yang kau inginkan dari Rafael. Aku hanya melakukan pekerjaanku sebagai dokter.”
Adrian menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum. “Kalau begitu, kau tidak akan keberatan jika aku mengujimu sedikit?”
Dalam satu gerakan cepat, Adrian menarik pistolnya dan menodongkannya ke kepala Liana.
Rafael langsung bereaksi. “Jangan sentuh dia!”
Adrian tersenyum puas. “Begitulah seharusnya.”
Luca, yang sejak tadi diam, bergerak secepat kilat. Dengan gerakan terlatih, ia menarik pisau kecil dari jaketnya dan melemparkannya ke salah satu anak buah Adrian. Pria itu terjatuh dengan erangan, memberi celah bagi mereka untuk bertindak.
Kekacauan pun pecah.
Rafael, meskipun terluka, menggunakan sisa tenaganya untuk menjatuhkan pria terdekat. Liana berlari ke arah meja, mengambil alat medisnya yang tajam dan menusukkannya ke lengan salah satu penyerang. Luca, dengan refleks luar biasa, menembak ke arah Adrian, memaksanya mundur.
“Ke mobil! Sekarang!” teriak Luca.
Mereka bertiga melesat keluar dari klinik. Nafas mereka terengah-engah, jantung berdegup kencang seiring langkah kaki yang tergesa-gesa. Di belakang mereka, teriakan anak buah Adrian menggema, disusul suara tembakan yang mengenai dinding bata dan kaca jendela yang pecah berhamburan.
SUV hitam yang sudah disiapkan anak buah Luca menunggu di ujung gang. Tanpa pikir panjang, Liana membuka pintu belakang dan membantu Rafael masuk, sebelum ia sendiri melompat ke dalam. Luca menyusul di kursi depan, lalu berteriak kepada sopirnya, “Jalan sekarang!”
Ban mobil mencengkeram aspal basah, lalu melaju dengan kecepatan penuh. Klinik yang baru saja menjadi tempat berlindung mereka kini hanya bayangan dalam kegelapan.
Di dalam mobil, Rafael bersandar lemah dengan napas tersengal. Luka di tubuhnya masih berdarah meskipun sudah diperban. Liana meraih kotak P3K yang ada di bawah kursi dan mulai bekerja tanpa bicara. Tangannya gemetar, tetapi ia tetap fokus.
“Kau keras kepala,” gumam Liana sambil membersihkan luka di bahu Rafael. “Aku menyuruhmu tetap diam, tapi kau malah bertarung.”
Rafael menyeringai meskipun matanya berkabut. “Aku tidak bisa hanya duduk diam dan membiarkan mereka menangkapmu.”
Liana terdiam. Hatinya menghangat sejenak sebelum kembali mengingat kenyataan bahwa mereka masih dalam bahaya.
Luca menoleh ke arah Rafael melalui kaca spion. “Kau baik-baik saja, Moretti?”
“Sejauh ini masih bisa bertahan,” Rafael menjawab dengan suara serak.
Luca mendesah, lalu melihat ke luar jendela. “Kita belum sepenuhnya aman. Adrian pasti tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja.”
“Jadi, ke mana kita sekarang?” tanya Liana, matanya penuh kekhawatiran.
“Ada tempat persembunyian di luar kota,” jawab Luca. “Gudang tua yang sudah lama tidak dipakai. Aman untuk sementara.”
Liana mengangguk. Matanya menatap Rafael, yang kini mulai kehilangan kesadaran. Tangannya tanpa sadar menggenggam tangan pria itu, seolah berusaha mempertahankan dirinya di tengah semua kekacauan ini.
Mereka tiba di gudang tua itu dua jam kemudian. Bangunannya terlihat reyot dari luar, tetapi bagian dalamnya cukup luas dan bersih. Beberapa anak buah Luca sudah lebih dulu tiba dan menyiapkan tempat bagi Rafael untuk beristirahat.
Liana membantu membaringkan Rafael di sofa tua yang sudah dilapisi kain bersih. Luka-lukanya semakin parah, tetapi ia masih hidup. Itu sudah lebih dari cukup untuk saat ini.
Luca berdiri di dekat jendela, mengamati sekeliling dengan tatapan tajam. “Kita harus berjaga-jaga. Adrian pasti akan mencari kita.”
“Berapa lama kita bisa bertahan di sini?” tanya Liana, matanya penuh kecemasan.
Luca mengangkat bahu. “Sehari, dua hari paling lama. Setelah itu, kita harus pindah lagi.”
Liana menggigit bibirnya. Hidup dalam pelarian bukanlah sesuatu yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, kini ia tidak punya pilihan selain bertahan.
Tiba-tiba, suara dering ponsel memecah keheningan. Luca mengeluarkan ponselnya dan melihat layar sejenak sebelum mengangkatnya. “Bicara.”
Di sisi lain panggilan, suara yang berat dan penuh ancaman terdengar. Adrian.
“Kalian pikir bisa lari dariku selamanya?” suara Adrian terdengar dingin.
Luca mengepalkan tangan. “Kami tidak lari, Adrian. Kami hanya memberimu waktu untuk berpikir apakah kau benar-benar ingin meneruskan ini.”
Adrian tertawa kecil. “Jangan sok percaya diri, Luca. Aku punya sumber daya lebih dari yang kau bayangkan.”
Sambungan terputus.
Ruangan menjadi sunyi.
Liana menoleh ke Rafael, yang kini membuka matanya perlahan. Tatapan pria itu tidak menunjukkan ketakutan—hanya kemarahan yang membara.
“Adrian tidak akan berhenti,” gumam Rafael. “Kita harus menyerangnya lebih dulu.”
Luca menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
Rafael mengatur napasnya sebelum menjawab, “Aku tahu di mana harus menemukannya.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar gudang. Seseorang telah menemukan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Serenarara
Aku takut sm Adrian yg ini... /Gosh/
2025-04-05
0