Bab 3

Dengan cepat, Liana melangkah menyusuri sisi klinik menuju jendela depan, yang setengah terbuka. Ia membekap napasnya, berusaha mendengarkan percakapan di dalam. Suara pria yang memimpin kelompok itu, begitu familiar dan menakutkan, terdengar jelas. Ia bisa mendengar nada suara pria itu yang penuh keyakinan, menggema di dalam klinik.

"Dia tahu sesuatu," ujar pria itu. "Dan jika dia tidak mau mengatakannya, kita harus memaksanya."

Liana menggigit bibir, perlahan mendekat, bersembunyi di balik tirai. Matanya menyipit, mencoba melihat ke dalam.

Di sudut ruangan, Rafael terlihat terbaring lemah. Darah segar mengalir dari luka tembaknya, dan tubuhnya gemetar. Matanya terpejam, namun wajahnya tampak berusaha keras menahan rasa sakit. Di depan Rafael, seorang pria bertubuh besar, dengan wajah tertutup bayangan, berdiri menghadapnya, pistol di tangan.

"Berikan aku jawaban, Moretti," suara pria itu mengintimidasi.

Rafael tidak menjawab. Matanya tetap terpejam, dan bibirnya hanya terkatup rapat, meskipun keringat dingin membasahi dahi dan tubuhnya. Liana merasa hatinya nyaris berhenti berdetak. Jika ia tidak segera bergerak, Rafael tidak akan bisa bertahan lebih lama.

Dengan gerakan cepat, Liana meraih tas medis yang tergeletak di dekat pintu belakang dan memeriksa isinya. Ada beberapa alat yang bisa digunakan untuk mengecohkan mereka. Namun, ia butuh lebih dari sekadar peralatan medis—ia butuh otaknya untuk menyelamatkan mereka berdua.

Liana menatap sekeliling, menemukan botol alkohol yang ada di meja. Dalam sekejap, ia mendapat ide. Ia menyusuri ruang belakang dan menemukan beberapa kotak kosong yang bisa ia gunakan untuk suara. Kemudian, ia meraih tumpukan kain kasa, menggulungnya, dan menekannya dengan kuat di dalam kotak.

Setelah menyiapkan semuanya, ia mengambil botol alkohol dan menusukkan ujung kain kasa ke dalamnya, membasahi seluruh permukaan kain. Suara derap langkah kaki terdengar semakin dekat. Mereka semakin dekat ke pintu depan. Liana mengintip lewat celah jendela, memastikan posisi para pria itu.

Dengan ketelitian yang luar biasa, ia menyusun rencananya. Tanpa ragu, ia mendorong kotak-kotak tersebut dengan cepat, menyebabkan beberapa dari mereka jatuh berisik. Suara keras dari kotak yang jatuh itu memecah kesunyian malam.

"Ada apa itu?" salah satu pria yang sedang mengawasi Rafael bertanya, terkejut.

Liana tidak menunggu lebih lama. Ia cepat menyulut ujung kain kasa yang telah dibasahi alkohol dengan korek api kecil. Api yang menyala menyebar dengan cepat, menghasilkan asap tebal yang memenuhi ruangan dengan bau hangus. Beberapa pria di luar berteriak dan panik, mengira ada sesuatu yang terbakar di dalam.

"Api! Ada kebakaran!" salah satu dari mereka berteriak.

Liana memanfaatkan kebingungannya itu. Dengan gerakan cepat, ia menyusup ke dalam dan menuju tempat Rafael. Ia meraih bahu Rafael dan mengguncangnya pelan. "Rafael, kita harus pergi sekarang!" bisiknya dengan nada panik.

Rafael mengerjap, matanya yang lelah terbuka perlahan. Ia tampak bingung sejenak, kemudian melihat Liana di sampingnya. Senyum kecil muncul di wajahnya yang pucat. "Kau kembali?" tanyanya, suara serak.

"Kita tidak punya waktu untuk bicara. Mereka hampir menemukan kita," jawab Liana dengan cepat, menariknya berdiri meski Rafael tampak kesulitan. Namun, ia berhasil menyandarkan tubuhnya ke tubuh Liana.

Liana menggenggam tangan Rafael dengan erat, memastikan dia tidak jatuh. "Ikuti aku, Rafael. Kita keluar lewat pintu belakang."

Namun, saat mereka berjalan menuju pintu belakang, mereka mendengar suara langkah kaki berat. Salah satu dari pria tersebut berdiri di depan pintu, memperhatikan asap yang keluar dari jendela.

"Ada yang tidak beres!" teriak pria itu.

Liana menahan napas. Mereka tidak punya waktu lagi.

"Tunggu di sini!" teriak pria itu kepada yang lain, sebelum ia mulai bergerak menuju pintu belakang.

Liana dan Rafael hanya bisa menatap pintu yang semakin mendekat. Mereka hanya punya satu kesempatan untuk melarikan diri.

Tiba-tiba, terdengar suara tembakan—satu tembakan yang memecah keheningan malam.

Rafael terhuyung, dan Liana merasakan darah segar mengalir di lengannya. "Liana!" suara Rafael hampir tenggelam dalam rasa sakitnya.

Mata Liana terbelalak. "Tidak!"

Di depan mereka, pria besar itu berdiri dengan pistol terarah ke arah mereka. Tembakan itu membuat dunia Liana seakan berhenti berputar. Namun, ada sesuatu yang lebih buruk lagi.

Di belakang pria itu, ada bayangan lain yang lebih gelap. Bayangan yang membawa maut.

"Lari, Liana!" teriak Rafael, namun tubuhnya sudah terjatuh lemah.

Liana tak punya pilihan. Ia harus bertindak cepat.

Namun, ketika ia hendak berlari, sebuah suara berat terdengar di telinganya—"Kau tidak bisa lari dariku."

Dan semua menjadi gelap.

Tepat ketika semuanya tampak hilang, suara seseorang terdengar, dan Liana merasa dunia berputar kembali...

Terpopuler

Comments

jii

jii

setelah baca sampai bab ini bener-bener suka banget sama gaya penulisannya, rapi dan apik sekali kak, bisa bikin kita seolah-olah ikut merasakan dan ada di situasi yang dialami Rafael dan Liana 😭👐🏻

2025-04-08

2

Sri Siyamsih

Sri Siyamsih

blm bisa comen apa" tp sptnya semakin seru next lanjut k.

2025-04-03

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!