Bab 2

Liana bekerja secepat mungkin. Tangannya yang cekatan menjahit luka di perut Rafael, sementara napas pria itu tersengal di antara erangan tertahan. Kemeja hitamnya sudah ia potong, meninggalkan dada berotot yang dipenuhi luka lama—bekas sayatan, lebam samar, dan luka tembak lain yang sudah sembuh. Seberapa sering pria ini harus bertarung untuk bertahan hidup?

Tetapi Liana tidak punya waktu untuk bertanya. Ia hanya fokus pada pekerjaannya, meskipun di sudut pikirannya, ada kegelisahan yang tak bisa ia abaikan.

Tiba-tiba, di tengah kesunyian yang hanya diisi suara hujan yang mulai reda, telinganya menangkap sesuatu—derap kaki. Banyak. Cepat. Makin mendekat.

Jantungnya seolah berhenti berdetak.

Ia menoleh ke Rafael, yang tampaknya juga menyadarinya. Mata gelap pria itu menegang, rahangnya mengeras. Dengan sisa tenaga, Rafael meraih lengannya, mencengkeramnya erat.

"Dengar baik-baik," suaranya lemah, tapi penuh ketegasan. "Kau harus pergi dari sini. Sekarang."

Liana menelan ludah. "Aku tidak bisa meninggalkanmu dalam kondisi begini! Kau—"

"Liana," Rafael menariknya lebih dekat, dan untuk pertama kalinya, ia mengucapkan namanya setelah melihat Bros nama yang digunakan oleh Liana di bajunya. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuat nyali Liana menciut. "Mereka akan membunuh siapa pun yang ada di sini. Jika kau tetap tinggal, kau akan mati. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi."

Dada Liana naik turun, pikirannya berpacu dengan cepat. Sejak awal ia tahu pria ini membawa bahaya, tapi ia tak pernah membayangkan bakal terlibat sejauh ini.

Suara langkah semakin keras. Beberapa bayangan bergerak di luar jendela klinik. Cahaya lampu jalan memantulkan kilatan logam di tangan mereka. Senjata.

Liana membeku.

Rafael berusaha duduk, tetapi luka di perutnya membuatnya meringis. "Pergilah," desaknya sekali lagi. "Gunakan pintu belakang. Jangan buat suara sekecil apa pun."

Liana menggigit bibirnya. Logikanya berkata ia harus pergi, tetapi nuraninya menolak meninggalkan pria yang baru saja ia selamatkan. Ia meraih peralatan medisnya, ingin melakukan sesuatu, tapi Rafael mencengkeram tangannya lagi. Kali ini lebih kuat.

"Jangan keras kepala. Aku tidak akan mati secepat itu," katanya dengan nada sinis, meski keringat dingin membasahi dahinya. "Aku sudah terlalu sering melewati hal seperti ini. Tapi kau? Kau tidak seharusnya ada di sini."

Liana terdiam. Napasnya berat.

Suara pintu depan didobrak.

Jantungnya melompat ke tenggorokan.

Tatapan Rafael menggelap. Ia mendorong Liana ke arah pintu belakang dengan kasar. "Pergi! Sekarang!"

Liana terhuyung, tetapi ia tidak membantah lagi. Dengan napas tertahan, ia melangkah mundur, lalu berlari ke arah belakang klinik. Tangannya gemetar saat ia meraih gagang pintu, lalu membukanya perlahan.

Di belakangnya, ia bisa mendengar suara berat seseorang melangkah masuk. Lalu suara lain—senjata dikokang. Liana menoleh sebentar, melihat bayangan seorang pria bertubuh besar berdiri di ambang pintu kliniknya.

"Temukan dia," suara dingin itu memerintah.

Liana menggigit bibirnya, lalu menghilang ke dalam kegelapan.

Di dalam klinik, Rafael bersandar pada meja, menatap orang-orang yang masuk dengan ekspresi tenang, meskipun tubuhnya dipenuhi luka dan peluh.

Pria yang memimpin kelompok itu melangkah maju. Wajahnya tertutup bayangan, tetapi suara dan sikapnya menunjukkan bahwa ia bukan orang biasa.

"Kau benar-benar keras kepala, Moretti," katanya sambil tersenyum miring. "Kau seharusnya mati di dermaga tadi."

Rafael mendengus, meski rasa sakit menyiksa tubuhnya. "Maaf mengecewakanmu," katanya dingin.

Pria itu melangkah lebih dekat, menatap luka Rafael dengan tatapan puas. "Katakan di mana dokter itu. Aku tahu ada seseorang yang menyelamatkanmu."

Rafael tidak menunjukkan ekspresi. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan."

Pria itu tertawa pelan. Lalu dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat pistolnya dan mengarahkannya langsung ke kepala Rafael.

"Kalau begitu, aku harus membuatmu bicara."

Rafael hanya tersenyum samar, meskipun kegelapan sudah mulai merayapi penglihatannya.

Di luar, di tempat persembunyiannya, Liana menggigit bibirnya hingga berdarah.

Ia tak bisa meninggalkannya.

Tapi apa yang bisa ia lakukan?

Tangannya meremas kain jas putihnya. Napasnya putus-putus.

Jika ia kembali, ia mungkin akan mati.

Tapi jika ia tetap diam di sini...

Rafael akan mati.

Liana mengepalkan tangannya. Lalu, sebelum pikirannya bisa menghentikannya, ia mulai bergerak.

Ke arah klinik.

Ke arah bahaya.

Terpopuler

Comments

Verlit Ivana

Verlit Ivana

ikut tegang, takut, ngeri. keren author bikin narasi suasana mencekamnya.

2025-04-18

1

Putri Sylvia

Putri Sylvia

suasana tegangnya dapet banget thor,aku jadi dag dig dug bacanya.
moga Liana bisa selamatkan Rafael ya...

2025-04-02

0

Sita Silvara

Sita Silvara

Dokter Liana berani banget mau nolongin Rafael,padahal kan dia bisa mati gara gara musuh Rafael.

2025-04-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!